Tuesday, 26 May 2015

THYPOID (TIFUS ABDOMENALIS)

A.  KONSEP TEORI
1.      PENGERTIAN
Tifus Abdominalis (demam tifoid/enteric fever) adalah infeksi yang bersifat akut, yang ditandai dengan bakteremia, perubahan pada sistem RES yang bersifat difus, pembentukan mikroasbes dan ulserasi Nodus Peyer di distal ileum. Infeksi ini  tedapat pada saluran pencernaan dengan gejala demam yang lebih dari satu minggu, gangguan pada saluran pencernaan dan gangguan kesadaran (FKUI, 1985). Tifus abdominalis adalah infeksi yang mengenai usus halus, disebarkan dari kotoran ke mulut melalui makanan dan air minum yang tercemar dan sering timbul dalam wabah. (Markum, 1991). Penyakit ini disebabkan oleh salmonella typhi atau salmonella paratyphi A, B, atau C. Penyakit ini mempunyai tanda-tanda khas berupa perjalanan yang cepat yang berlangsung lebih kurang 3 minggu disertai dengan demam, toksemia, gejala-gejala perut, pembesaran limpa dan erupsi kulit (Soedarto, 1996).

2.      PATOFISIOLOGIS
Penularan salmonella thypi dapat ditularkan melalui berbagai cara, yang dikenal dengan 5 F yaitu Food (makanan), Fingers (jari tangan/kuku), Fomitus (muntah), Fly (lalat), dan melalui Feses.
Pada fase awal demam tifoid biasa ditemukan adanya gejala saluran nafas atas. Kemungkinan sebagian kuman masuk ke dalam peredaran darah melalui jaringan limfoid di faring. Pada tahap awal ini penderita sering mengeluh nyeri telan karena kekeringan mukosa mulut. Lidah tampak kotor,  tertutup lapisan putih sampai kecoklatan yang merupakan sisa makanan, sel epitel mati, di tepi lidah kadang tampak hiperemesis dan tremor. Bila terjadi   infeksi dari nasofaring melalui tuba eustachi ke telinga tengah dapat mengakibatkan Otitis media.
            Kuman salmonella typhosa yang masuk kedalam saluran cerna, bersama makanan dan minuman, sabagian besar akan mati oleh asam lambung (HCL) dengan pH rendah dan sebagian ada yang lolos (hidup), kemudian kuman masuk kedalam usus halus. Di usus halus terdapat dua mechanisme pertahanan tubuh, yaitu motilitas dan flora normal usus. Penurunan motilitas usus karena faktor obat-obatan atau faktor anatomis meningkatkan derajat beratnya penyakit dan timbulnya komplikasi, serta memperpanjang keadaan karier konvalesen. Flora normal usus berada pada lapisan mukus dan akan berkompetisi untuk mendapatkan kebutuhan metabolik.
            Di usus halus, organisme ini dengan cepat mengivasi sel epitel dan tinggal di lamina propia. Di lamina propia mikroorganisme melepaskan endotoksin, yaitu suatu molekul lipopolisakarida yang terdapat pada permukaan luar dinding sel berbagai pathogen usus.
            Di lamina propia organisme mengalami fagositosis dan beberapa berada di dalam sel mononuclear. Mikroorganisme yang sudah berada di dalam sel mononuclear masuk ke folikel limfoid intestine (Nodus peyer) dan mengadakan multiplikasi. Selanjutnya sel yang sudah terinfeksi berjalan melalui nodus limfe intestinal regional dan duktus thorasikus menuju sistem sirkulasi sistemik dan menyebar serta menginfeksi sistem retikulo endothelial di hati dan limpa. Mikro organisme mengalami penyaringan di hati dan limpa serta berkembangbiak di kelenjar getah bening mesenterika dan juga kelenjar limfoid intestinal. Sehingga kedua  kelenjar ini membesar dan melunak karena dipenuhi oleh fagosit. Kelainan patologis paling penting pada demam tifoid disebabkan karena proliferasi sel endotel yang berasal dari sel RES. Akumulasi sel-sel tersebut menyumbat pembuluh darah di daerah tersebut menyebabkan nekrosis lokal dan kerusakan jaringan. Secara patologis di dapatkan infiltrasi sel mononuklear, hyperplasia dan nekrosis lokal di hepar, lien, sumsum tulang, nodus Peyer ileum terminal jejunum dan kelenjar limfe mesenteric. Penderita mengalami hepatomegali, yaitu hepar menjadi hiperemesis, lunak, kekuningan dan sedikit membesar. Secara mikroskopis terdapat infiltrasi sel mononuklear di daerah portal dan terjadi nekrosis sentral. Splenomegali disebabkan karena pembesaran yang bersifat lunak, kemerahan dan kongesti yang berisi nodul tifoid.
            Adanya perubahan pada nodus Peyer menyebabkan penderitta mengalami gejala intestinal, yaitu nyeri perut, diare, perdarahan dan perforasi. Diare merupakan gambaran khas yang timbul pada minggu kedua. Karena respon imunologi yang terlibat dalam pathogenesis demam tifoid adalah sel mononuklear maka keterlibatan sel PMN hanya sedikit dan umumnya tidak terjadi pelepasan prostaglandin sehingga tidak terjadi aktivasi adenil siklase.
            Nyeri perut pada demam tifoid dapat bersifat menyebar atau terlokalisir di kanan bawah daerah ileum terminalis. Nyeri disebabkan karena mediator yang dihasilkan pada proses inflamasi (histamine, bradikinin dan serotonin) merangsang ujung saraf sehingga menimbulkan nyeri. Selaiin itu juga disebabkan oleh peregangan kapsul yang membungkus hati dan limfa karena organ tersebut membesar.
            Perdarahan terjadi bila proses bila proses nekrosis mengenai lapisan mukosa dan submukosa sehingga terjadi erosi pembuluh darah. Ulkus biasanya sembuh sendiri tanpa meninggalkan jaringan parut, tetapi ulkus dapat menembus lapisan serosa sehingga terjadi perforasi.Pada tahap ini tampak adanya distensi abdomen yang di tandai dengan meteorismus atau timpani yang disebabkan oleh konstipasi dan penumpukan tinja atau berkurangnya tonus lapisan otot intestinal lambung dan teraba doughy pada palpasi dinding perut. Pada kasus berat dapat tejadidegenerasi sel beberapa organ, seperti ginjal, jantung dan paru-paru.
            Gambaran klinis yang khas pada demam tifoid merupakan interaksi antara Salmonella typhi dan Makrofag di hati, limpa, kelenjar limfoid intestinal dan mesenterika. Makrofag dirangsang oleh endotoksin untuk melepaskan produknya secara lokal menyebabkan nekrosis intestine maupun sel hati dan secara sistemik menyebabkan gejala klinis tifoid. Endotoksin yang dilepas dalam sistem sirkulasi berperan sebagai zat pirogen, tetapi bila dilepas dan terkonsentrasi di suatu tempat akan bertindak sebagai mediator pada proses inflamasi lokal. Beberapa penelitian melaporkan bahwa pirogen endogen dapat mengakibatkan demam baik langsung maupun tidak langsung dengan merangsang pelepasan sitokin dari sel fagosit.
            Sitokin yang dilepas oleh makrofag berhubungan dengan terjadinya respon imun seluler. Beberapa macam sitokin, yaitu interleukin-1 (IL-1) dan tumor necrosing factor beta (TNFa-b) mempunyai efek lokal pada endotel, lekosit dan fibroblast maupun efek sistemik dengan merangsang terjadinya reaksi fase akut. Efek IL-1 dan TNF pada aktivasi endotel, yaitu dengan meningkatkan adhesi molekul, sekresi sitokin dan growth factor, produksi metabolit asam arakidonat (eikosanoid) dan nitric oxide. TNF juga menyebabkan terjadinya agregasi dan aktivasi neuttofil, pelepasan enzim proteolitik dari sel mesenkim sehingga terjadi nekrosis  jaringan. Selain efek lokal, IL-1 dan TNF juga merangsang reaksi fase akut yang bersifat sistemik sebagai respon terhadap infeksi, yaitu demam, letargi, penurunan nafsu makan, peningkatan sintesa protein di hati, kaheksia, pelepasan neutrofil dari sumsum tulang ke sirkulasi dan pelepasan hormone adenokortikotropik.


Tyfus abdominalis disebabkan oleh salmonella typhosa, basil gram negatif, bergerak dengan bulu getar, tidak berspora, bakteri ini secara morfologi identik dengan Escherichia coli. Walaupun pathogen kuat, kuman ini tidak bersifat piogenik, malahan bersifat menekan pertumbuhan sel polimorfonuklear dan eosinofil. Kuman ini memiliki beberapa antigen yang penting dalam diagnosis imunologis, yaitu antigen O (somatic terdiri dari zat komplek lipopolisakarida), antigen H (flagella), antigen Vi (virulensi) dan OMP (outer membrane protein).
a.       Antigen dinding sel (O) yang merupakan lipopolisakarida dan bersifat spesifik group.
b.      Antigen Flagella (H) yang merupakan komponen protein berada dalam flagella dan bersifat spesifik spesies.
c.       Antigen Virulen (Vi) merupakan polisakarida dan berada di kapsul yang melindungi seluruh permukaan sel. Antigen Vi dapat menghambat proses aglutinasi antigen O oleh anti O serum dan melindungi antigen O dari  proses fagositosis. Antigen Vi berhubungan dengan daya invasife bakteri dan efektivitas vaksin. Salmonella typhi menghasilkan endotoksin yang merupakan bagian terluar dari dinding sel, terdiri dari antigen O yang sudah dilepaskan, lipopolisakarida dan lipid A. Ketiga antigen tersebut di dalam tubuh akan membentuk antibody aglutinin.
d.      Outer Membrane Protein (OMP) merupakan bagian dari dinding sel terluar yang terletak di luar membrane sitoplasma dan lapisan peptidoglikan yang membatasi sel dengan lingkungan sekitar. OMP berfungsi sebagai barier fisik yang mengendalikan masuknya zat dan cairan ke dalam membrane sitoplasma. Selain itu, OMP juga berfungsi sebagai reseptor untuk bakteriofag dan bakteriosin. OMP sebagian besar terdiri dari protein purin, berperan dalam pathogenesis demam tifoid dan merupakan antigen yang penting dalam mekanisme respon imun penjamu. Sedangkan protein nonpurin hingga kini fungsinya belum diketahui secara pasti.
Salmonella typhi hanya dapat hidup pada tubuh manusia. Sumber penularan berasal dari tinja dan urin karier, dari penderita pada fase akut dan penderita pada fase penyembuhan.

Gejala klinis yang pertama timbul disebabkan oleh bakteremia yang menyebabkan gejala toksik umum, seperti letargi, sakit kepala, demam dan bradikardia. Beberapa factor yang mempengaruhi manifestasi klinis dan beratnya penyakit, yaitu strain S. typhi, jumlah  mikro ororganisme yang tertelan, keadaan umum dan status nutrisi, status imunologis dan factor genetik. Gejala disebabkan oleh gangguan sistem retikuloendotelial, seperti kelainan hematologis, gangguan faal hati dan nyeri perut.
Masa tunas biasanya lima sampai empat belas hari, tetapi juga bisa sampai lima minggu. Penyakit timbul berangsur, mulai dengan tanda malaise, anoreksia, nyeri kepala, nyeri badan, letargi dan demam (tidak selalu khhas, mirip influenza).
Pada minggu pertama terdapat demam remiten yang berangsur makin tinggi dan hampir selalu disertai dengan nyeri kepala. Biasanya terdapat batuk kering dan tidak jarang ditemukan epistaksis. Hampir selalu ada rasa tidak enak atau nyeri pada perut, konstipasi serta diare. Kelainan makulopapular berupa roseola berdiameter 2-5 mm terdapat pada kulit perut bagian atas dan dada bagian bawah, tampak selama dua sampai empat hari pada minggu pertama.
            Pada minggu kedua, demam umumnya menetap tinggi (demam kontinu) mencapai 38,30C-39,40C. Keadaan umum penderita makin menurun, apatis, bingung, kehilangan kontak dengan orang sekitar, tidak bisa istirahat atau tidur. Lidah tertutup selaput tebal dan kehilangan nafsu makan serta minum. Penderita tampak sakit berat, perut tampak distensi dengan daerah yang meteorismus/timpani karena konstipasi, penumpukan tinja dan berkurangnya tonus lapisan otot intestine dan lambung.
            Memasuki minggu ketiga penderita mecapai tahap typhoid state yang ditandai dengan disorientasi, insomnia, bingung, lesu dan tidak bersemangat. Penderita tampak suram, tanpa ekspresi, kelopak mata setengah terbuka, dilatasi pupil, slack jaw, mulut dan bibir kering. Nafas cepat dan dangkal dengan nada stagnasi di basal paru. Abdomen tampak lebih distensi dari sebelumnya. Nodus Peyer mungkin mengalami nekrotik dan ulserasi sehingga dapat timbul perdarahan dan perforasi sewaktu-waktu. Saat ini penderita mengalami berak lembek berwarna coklat tua atau kehijauan dan berbau, yang dikenal dengan pea-soup diarrhoea, tetapi penderita mungkin masih mengalami konstipasi. Pada akhir minggu ketiga suhu menurun secara lisis dan mencapai normal pada minggu berikutnya.
            Tifus abdomenalis dapat kambuh satu sampai dua minggu setelah demam hilang. Kambuhan ini terjadi ringan ataupun berat dan mungkin terjadi dua atau tiga kali.
Gangguan pada saluran pencernaan seperti lidah kotor yaitu ditutupi selaput kecoklatan kotor, ujung dan tepi kemerahan, jarang disertai tremor. Hati dan limpa membesar yang nyeri pada perabaan, terdapat konstipasi atau diare.  Gangguan kesadaran. Kesadaran yaitu apatis sampai  somnolen. Gejala lain “ROSEOLA” (bintik-bintik kemerahan karena emboli hasil dalam kapiler kulit) (Rahmad Juwono, 1996).

3.      PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK/PENUNJANG
            Untuk memastikan diagnosis perlu dilakukan pemeriksaan   laboratorium antara lain sebagai berikut:
a.       Pemeriksaan Darah Lengkap
            Pada penderita tifoid, pemeriksaan darah yang dilakukan sangat bervariasi tergantung pada masa sakit. Awalnya, penderita tidak mengalami anemia tetapi pada pasien yang tidak mendapat antibiotic anemia berkembang dengan cepat dan mencapai titik terendah pada minggu ketiga. Anemia disebabkan karena kombinasi berbagai hal, yaitu hemolisis, penekanan sumsum tulang dan kehilangan darah akibat occult blood loss.
            Penderita thypoid jumlah leukosit bisa normal tapi bervariasi antara 1200-20000 sel/mm3. Lekositosis dapat timbul saat hari ke 7-10, kemudian berkembang menjadi leukopenia (terutama neutropenia) hingga mencapai titik terparah pada minggu ke tiga. Bila terjadi leukositosis bisa berasal dari bakterimia, peritonitis oleh karena perforasi usus/terjadi komplikasi ektraintestinal lainnya. Jumlah leukosit biasanya normal atau bergeser sedikit ke kiri, tergantung dari beratnya infeksi dan efek regenerasi yang lebih besar dari efek degenerasi. Eosinofil dan basofil menghilang diikuti penuruti penurunan limfosit, secara bertahap eusinofil dan basofil muncul kembali diikuti meningkatnya limfosit dan monosit setelah minggu kedua. Pada saat terjadi limfositosis relatif dan eosinofilia dan pergeseran kembali ke normal. Dapat pula terjadi berbagai gangguan sistem hematologi yaitu pendarahan akut, sindroma uremia hemolitik, anemia hemolitik dan DIC. Hook (1985) melaporkan terjadi gangguan pada sistem pembekuan darah yang sesuai dengan keadaan DIC pada sekitar 50% penderita termasuk trombositopenia, hipofibrinogenemia dan peningkatan fibrin degradation product. Walaupun secara laboratoris didapati adanya kelainan, tetapi DIC mungkin hanya tampak sebagai manifestasi subklinis. Tidak didapatkan hubungan antara kelainan tadi dengan perdarahan yang tampak secara klinis dan kelainan pembekuan tadi akan membaik dengan sendirinya sejalan dengan perbaikan klinis.
Beberapa fungsi pemerikasaan yang dilakukan dalam pemeriksaaan darah lengkap, yaitu :
1)      Pemeriksaan Leukosit
Pemeriksaan leukosit pada penderita Thyoid berfungsi untuk :
-           Mengetahui kelainan sel darah putih yang bertanggung jawab terhadap imunitas tubuh
-          Ealuasi infesksi bakteri dan virus
-          Proses metabolik dan keganasan sel darah putih
2)      Pemeriksaan Trombosit
 Pemeriksaan trombosit pada penderita Thyoid berfungsi untuk :
-          Mengetahui proses pembekuan dalam darah
-          Mengetahui gangguan pembekuan darah
-          Pada pemeriksaan Trombosit nilai normalnya 150 – 450 (103/µl)
3)      Pemeriksaan Hematokrit
Pemeriksaan hematokrit pada penderita Thyoid berfungsi untuk :
-          Mengetahui perbandingan antara sel darah merah, sel darah putih dan trombosit dengan plasma
-          Nilai normalnya :
untuk laki – laki = 42 – 52 %
 untuk wanita      = 37 – 47 %
4)      Pemeriksaan Eritrosit
                  Pemeriksaan eritrosit pada penderita Thyoid berfungsi untuk :  
-          Untuk mengetahui fungsi sel darah merah yang membawa oksigen ke seluruh tubuh
-          Nilai normalnya :
Laki – laki = 4,4 -5,9 (106/ µl)
Wanita       = 3,8 – 5,2 (106/ µl)

5)      Pemeriksaan Hemoglobin
      Pemeriksaan hemoglobin pada penderita Thyoid berfungsi untuk :  
-          Untuk mendeteksi adaanya anemia dan penyakit ginjal
-          Nilai normalnya
Laki – laki =  13 mg %
Wanita      =  11,5 mg %

b.        Pemeriksaan Uji Widal
            Pemeriksaan serologi untuk demam tifoid adalah uji Widal yang mengukur antibody aglutinasi antigen O dan H. Uji Widal mempunyai manfaat apabila sensitifitas, spesifikasi dan nilai normal pada orang sehat dan penderita demam non tifoid dari laboratorium yang dipakai sudah diketahui sebelumnya.
            Pada pederita demam tifoid, antibody O merupakan kelas Ig lebih dulu meningkat pada tahap awal dan menunjukkan respon serologis pada fase akut. Antibodi H merupakan respon serologis pada fase akut. Sedangkan antibody H yang merupakan kelas Ig G meningkat kemudian dan bertahan lebih lama. Uji serologis Widal ternyata tidak spesifik karena (1) semua Salmonella group D mempunyai antigen O-9 yang sama dengan Salmonella thypi. Selain itu, Salmonella group A dan B juga mempunyai antigen O-12 yang sama dengan sekitar 60 Salmonella group D termasuk S thypi, (2) semua Salmonella group D mempunyai fase 1-d antigen H yang sama dengan S thypi, (3) titer antibody H masih dalam keadaan tinggi selama periode yang panjang setelah imunisasi atau infeksi. Hasil akhir yang diharapkan pada uji Widal adalah terjadinya reaksi kompleks antigen-antibodi yang dapat dilihat sebagai aglutinasi di bagian bawah tabung. Reaksi silang dapat terjadi apabila antibody yang dihasilkan dari antigen non tifoid bereaksi dengan antigen-tifoid yang spesifik. Beberapa penyakit lain dapat bereaksi silang dengan antigen S thypi, seperti malaria, dengue, tuberculosis meller, endokarditis, penyakit hati kronik, brusellosis dll.
            Pemeriksaan Widal dikatakan mempunyai sensitifitas yang rendah karena sejumlah pasien yang memberi hasil positif pada biakkan S. thypi tidak menunjukkan peningkatan titer antibody, pada penderita yang membentuk antibody seringkali kadar antibody mulai meningkat sebelum munculnya gejala klinis sehingga sulit dideteksi adanya peningkatan titer sebanyak 4 kali.
Titer Widal biasanya angka kelipatan : 1/32, 1/64, 1/160, 1/320, 1/640.
-          Peningkatan titer uji widal 4 kali (selama 2-3 minggu) : dinyatakan positif
-          Titer 1/160 : masih dilihat dalam satu minggu kedepan, apakah ada kenaikan titer. Jika ada, dinyatakan positif
-          Jika satu kali pemeriksaan langsung 1/320 atau 1/640, langsung dinyatakan positif pada pasien dengan gejala klinis khas.
 
c.       Pemeriksaan Isolasi Kuman
            Diagnosis pasti demam tifoid dilakukan dengan isolasi S. thyphi. Isolasi kuman penyebab demam tifoid dapat dilakukan dengan melakukan biakan dari berbagai tempat dalam tubuh.
            Sensitivitas biakan darah yang paling baik adalah selama minggu pertama sakit, dapat positif sampai minggu kedua dan setelah itu kadang-kadang saja ditemukan hasil positif.
            Telah diketahui bahwa berbagai faktor mempengaruhi hasil isolasi kuman. Jumlah kuman yang beredar dalam darah sangat rendah dan kebanyakan berada dalam sel mononuclear. Terdapat faktor serum (antibody, komplemen, dll) yang dapat menghambat atau membunuh kuman. Oleh karena itu, dalam teknik isolasi kuman harus diambil jumlah sampel darah yang cukup (5-10 ml darah), dengan media yang sesuai dan pengenceran yang cukup, sehingga faktor serum kadarnya lebih rendah dari yang diperlukan untuk efek bakterisidal. Selain itu dapat dengan cara membubuhkan bahan yang dapat menetralkan efek inhibisi faktor serum misalnya Liquoid. Bila bahan yang digunakan untuk biakan adalah blood clot, penambahan streptokinase dapat memperbaiki hasil isolasi.
            Penelitian yang dilakukan oleh Lesmana dkk(1992)mengenai isolasi kuman S. typhi dengan blood cell layer culture menyimpulkan bahwa bila sediaan darah disimpan selama < 24 jam sebelum dibiakkan maka hasil dari biakkan blood cell layer sedikit lebih baik sari sedian whole blood. Sedian blood cell layer yang disimpan lebih dulu 24 jam memberikan hasil positif yang lebih rendah (dari 93,8% menjadi 86,9%), hal ini disebabkan karena S.thyphi terpapar lebih lama dengan komponen darah yang bersifat bakterisidal. Sebaliknya dengan biakan dari sediaan whole blood yang disimpan > 24 jam memberi hasil positif yang lebih baik (81,3% menjadi 95,7%). Dalam hal ini S.typhi dapat tetap bertahan karena komponen darah dinaktifasi oleh media empedu. Sensitifitas metoda biakan kuman berkurang dengan penggunaan antibiotika dan perbandingan culture broth terhadap darah yang lebih pekat. Dengan pemeriksaan biakan darah beberapa kali diharapkan didapat hasil yang lebih baik. Laporan dari Afrika Selatan menyatakan bahwa dengan menambahkan streptokinase pada bekuan darah memberi hasil 50% lebih sensitive jika dibandingkan dengan biakan darah yang berasal dari whole blood. Akan tetapi hasil serupa tidak didapatkan dari penelitian serupa di Indonesia.
Keterbatasan teknik biakan yang konvensional adalah lamanya waktu yang dibutuhkan untuk penanaman hingga identifikasi kuman dalam biakan yaitu yang paling sedikit membutuhkan waktu 48-72 jam. Penelitian terbaru dari fraksi sel mononuclear dari darah dengan cara melakukan konsentrasi kuman dengan cara lysis centrifugation. Dengan demikian diharapkan 100% organisme yang dibiakkan dapat diidentifikasi dalam waktu 10 jam.


4.      KOMPLIKASI
Demam tifoid merupakan penyakit yang memberikan gejala lokal sistemik. Selain gambaran klinis yang diuraikan diatas, dapat terjadi gambaran lain yang tidak biasa yang merupakan gambaran demam tifoid atau sering diistilahkan dengan komplikasi. 1). Komplikasi pada demam tifoid ada beberapa macam, yaitu :
a.       Perforasi Usus
Biasanya terjadi pada minggu ketiga tetapi bisa terjadi selama masa sakit. Selain gejala yang biasa ditemukan pada demam tifoid, penderita       mengeluh berforasi nyeri perut hebat di kuadran kanan tapi juga dapat menyebar. Abdomen tampak tegang, dengan nyeri lepas dan hilangnya pekak hati dan bising usus. Perforasi menyebabkan tekanan darah turun, nadi cepat dan timbul nyeri hebat.
b.      Perdarahan Usus
Merupakan perdarahan ringan dan tidak perlu transfusi darah. Pendarahan hebat dapat menyebabkan syok, tetapi biasanya sembuh spontan tanpa pembedahan.
c.       Manifestasi Pulmonal
Pada sebagian kasus didapatkan batuk ringan yang disebabkan oleh bronchitis. Pneumonia bisa merupakan infeksi sekunder dan dapat timbil pada awal sakit atau fase akut lanjut.
d.      Komplikasi Hematologis
Depresi sumsum tulang belakang yang toksik pada penderita dengan manifestasiklinis yang berat, menyebabkan terjadinya anemia, neotropenia, granulositopenia dan trombositopenia. Anemia hemolitik akut bervariasi pada beberapa penderita ditandai dengan penurunan hemoglobin secara tiba-tiba tanpa adanya pendarahan disertai hemoglobinuria dan gambaran          hemolisis pada pemeriksaan darah tepi. Hemolisis akut dijumpai pada pasien G6PD yang menderita demam tifoid dan dipicu dengan pemakaian klorafenikol.
e.       Manifestasi Neuropsikiatri
Manifestasi ini dilaporkan dengan bervariasi gejala, seperti sakit kepala, meningismus sampai gangguan kesadaran (disorientasi sampai delirium, stupor dan koma). Manifesestasi lainnya adalah kejang, thypoid meningitis, ensefalomielitis, transverse myelitis dengan paraplegia, neuritis dan syndrome Guilan Barre. Meningiti kerena Salmonella kebanyakan terjadi pada bayi.
f.       Manifestasi Kardiovaskular
            Myokarditis ditemukan pada beberapa penderita tifoid dengan manifestasi                         klinis bervariasi mulai dari asimptomatik sampai nyeri dada, payah jantung,            aritmia atau syok kardiogenik. Bila muncul pada anak kecil, miokarditis merupakan komplikasi yang serius. Gambaran elektrokardiogram sama seperti gambaran pada miokardium oleh sebab lain.
g.      Manifestasi Hepatobilier
Komplikasi hepatobilier yang biasa ditemukan adalah hepatitis tifofosa yang                      asimptomatik ditandai dengan penigkatan SGOT dan SGPT. Kolesitis akut                        dan ikterus yang tidak atau disertai dengan peningkatan enzim didapatkan                                pada beberapa kasus. Kolesitis akut atau kronis dapat terjadi beberapa bulan                      atau tahun setelah menderita demam tifoid, tapi jarang ditemukan pada anak-                    anak.
h.      Manifestasi Urogenital
                        Sebanyak 25% penderita demam tifoid pernah mengeksresikan S.typhi dalam                    air kemih selam masa sakit. Kelainan yang paling sering ditemukan adalah                   proteinuria yang bersifat sementara. Mnifestasi lain yang mingkin terjadi                                 adalah sindrom nefrotik, sistisis, pielonefritis dan gagal ginjal.

   2). Komplikasi ekstra intestinal.
a. Kegagalan sirkulasi perifer (renjatan Kardiovaskuler : sepsis) miokarditis,     trombosis, dan tromboflebitie.
b. Darah  : anemia hemolitik, tromboritopenia, sindrom uremia hemoliti
c.  Paru    : pneumoni, empiema, pleuritis.
d. Hepar dan kandung empedu : hipertitis dan kolesistitis.
e.Ginjal : glomerulonefritis, pielonefritis, dan perinefritis
f. Tulang : oeteomielitis, periostitis, epondilitis, dan arthritis.
g. Neuropsikiatrik : delirium, meningiemus, meningitie, polineuritie, perifer, sindrom Guillan-Barre, psikosis dan sindrom katatonia.
h. Pada anak-anak dengan demam paratifoid, komplikasi lebih jarang terjadi.
Komplikasi sering terjadi pada keadaan tokremia berat dan kelemahan umum, terutama bila perawatan pasien kurang sempurna (Rahmad Juwono, 1996).

5.      PENATALAKSANAAN MEDIS
Pengobatan/penatalaksaan pada penderita typus abdominalis adalah sebagai berikut:
a.       Isolasi penderita dan desinfeksi pakaian dan ekskreta.
b.      Perawatan yang baik untuk menghindari komplikasi.
c.       Tirah baring total/istirahat selama demam sampai dengan 2 minggu. Seminggu kemudian boleh duduk selanjutnya berdiri dan berjalan.
d.      Diet makanan harus mengandung cukup cairan, kalori dan tinggi protein, tidak boleh mengandung banyak serat, tidak merangsang maupun menimbulkan banyak gas.
e.       Obat Antibiotik, yaitu Kloramfenikol 100mg/kgBB/hari dibagi dalam 4 dosis selama 10 hari. Dosis maksimal klorafenikol 2gr/hari. Klorafenikol tidak boleh diberikan bila jumlah leukosit ≤ 2000/ul. Bila pasien alergi dapat diberikan golongan penisilin (Ampisillin dan Amoksisilin) atau Kontrimoksazol.


6.      PENCEGAHAN
1). Usaha terhadap lingkungan hidup :
a. Penyediaan air minum yang memenuhi
b. Pembuangan kotoran manusia (BAK dan BAB) yang hygiene
c. Pemberantasan lalat.
d. Pengawasan terhadap rumah-rumah dan penjual makanan.
2). Usaha terhadap manusia.
a. Imunisasi
b. Pendidikan kesehatan pada masyarakat : hygiene sanitasi personal hygiene.  (Mansjoer, Arif 1999).


B.           ASUHAN KEPERAWATAN PADA MASALAH THYPOID

1.      PENGKAJIAN
PENGKAJIAN PSIKO - SOSIO - SPIRITUAL
1.    Pandangan pasien dengan kondisi sakitnya.
Pasien menyadari kalau dia berada dirumah sakit dan dia mengetahui bahwa dia sakit dan perlu perawatan tetapi dia masih ketakutan dengan lingkungan barunya.
2.    Hubungan pasien dengan tetangga, keluarga, dan pasien lain.
Hubungan pasien dengan tetangga dan keluarga sangat baik, banyak tetangga dan sanak saudara yang menjenguknya di rumah sakit. Sedangkan hubungan dengan pasien lain tidak begitu akrab.
3.    Apakah pasien terganggu dalam beribadah akibat kondisi sakitnya.
Pasien beragama Hindu, dalam menjalankan ibadahnya pasien dibantu oleh keluarganya. Ibu pasien selalu mengajakya berdoa untuk kesembuhannya.


PEMERIKSAAN FISIK
1.                   Keadaan Umum : pasien tampak lemah.
2.                   Kesadaran : composmentis.
3.                  Kepala : bentuk kepala simetris, rambut hitam, pendek dan lurus dengan penyebaran yang  merata dan tidak ada lesi.
4.                   Mata : letak simetris, konjungtiva tidak anemis, sklera tidak ikterik.
5.                      Hidung : pernapasan tidak menggunakan cuping hidung, tidak ada polip, keadaan bersih.
6.                   Mulut : tidak ada stomatitis, bibir tidak kering.
7.                   Gigi : kotor dan terdapat caries
8.                   Lidah : kotor
9.                   Telinga : pendengaran baik, tidak ada serumen.
10.               Leher : tidak ada pembesaran kelenjar thyroid.
11.               Dada : simetris, pernapasan vesikuler.
12.               Abdomen : nyeri tekan pada epigastrium.
13.              Ekstremitas : ekstremitas atas, tangan kanan terpasang infus dan aktifitasnya dibantu oleh keluarga dan bawah, tidak ada lesi
14.               Anus : tidak ada haemorroid.
15.               Tanda - tanda vital : Tekanan Darah: 120/80 mmHg
         Nadi : 120 x/menit
                                             Suhu : 39° C
         Respirasi : 24 x/menit

16.  Hasil Laboratorium
a. Hematologi
·                     Hb : 11,6 d/dl (14 – 18 d/dl)
·                     Ht : 34,7% (34 – 48%)
·                     Entrosit : 4,11 juta/uI (3,7 – 5,9.106 juta/uI)
·                     VER : 84,5 fl (78 – 90 fl)
·                     KHER : 33,6 g/dl (30 – 37 g/dl)
·                     Leukosit : 12.200 /uI (4,6 – 11.103 /uI)
·                     LED 1 jam : 40 /1 jam (P = 7 – 15 /jam)
2        jam : 80 /1jam (L = 3 -11 /jam)
·                                                                           Trombosit : 232.000 /uI (150 – 400.103 /uI)

Hitung jenis:
·                     Eosinofil : Segmen: 91%
·                     Basofil : Limfosit: 9%
·                     N. Batang : Monosit

b. Bakteriologi Serogi
Widal
·         St - O 1/320
·         St - H 1/160
·         St - AH –
·         Spt - BH 1/320
       c. Urine
·         Phisis = warna: kuning
·         Kimia = PH : agak keruh
·         Protein :- (negatif)
·         Glukosa : - (negatif)
·         Sedimen = epitel : +
·         Lekosit : + (6 – 8)
·         Eritrosit : + (1 -2)
·         Kristal : - (negatif)
·         Silinder : - (negatif)

2.      DIAGNOSA KEPERAWATAN
a.       Hipertermi berhubungan dengan tidak efektifnya termoregulasi sekunder terhadap infeksi/inflamasi
b.      Nyeri akut berhubungan dengan komplikasi pada hepar, yaitu hepatosplenomegali yang diaktifkan oleh S. thypii
c.       Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan berhubungan dengan menurunnya nafsu makan sekunder tehadap mual.
d.      Intoleransi aktivitas berhubungan dengan kelemahan
e.       Kurang pengetahuan orang tua berhubungan dengan kurang informasi tentang penyakit, penyebab penyakit dan pengobatan
f.       Konstipasi berhubungan dengan pemasukkan nutrisi yang tidak adekuat dan imobilisasi
g.      Kekurangan cairan berhubungan dengan perdarahan dan perforasi akibat komplikasi pada usus halus
h.      Penyebaran infeksi berhubungan dengan imunitas tubuh primer menurun






3.      PERENCANAAN KEPERAWATAN
a.       Prioritas Masalah
            Prioritas disusun berdasarkan kebutuhan dasar Maslow dan berat ringannya            masalah yang dapat mengancam jiwa pasien.
1.                   Hipertermi

b.      Rencana Perawatan (Renpra)
1.      Hipertermi
                        Tujuan                         : Suhu tubuh kembali normal
                        Kriteria Evaluasi         :
·         Mengidentifikasi factor-faktor resiko hipertermi
·         Menurunkan factor-faktor resiko hipertermi
·         Mempertahankan suhu tubuh normal


 Intervensi                    :          
Ø  Beri kompres hangat, hindari penggunaan alcohol
R/ menghindari penurunan secara progresif dan mencegah kekeringan kulit
Ø  Anjurkan pasien banyak minum
R/ mengganti cairan tubuh yang hilang akubat evaporasi
Ø  Anjurkan pasien menggunakan pakaian tipis dan mudah menyerap keringat
R/ membantu proses evaporasi dan memberi rasa nyaman
Ø  Observasi intake dan output tiap hari, tanda vital tiap 6 jam/lebih sering
R/ deteksi dini kekurangan cairan dan tanda vital merupakan acuan untuk keadaan umum
Ø  Batasi pengunjung 1-2 orang
R/ sirkulasi yang bagus membantu proses konveksi
Ø  Kolaborasi pemberian cairan intravena dan obat antipiretik sesuai program
R/ memenuhi kebutuhan cairan secara parenteral, obat antipiretik untuk menurunkan suhu tubuh


4.      IMPLEMENTASI

Implementasi adalah tindakan yang dilakukan sesuai dengan rencana asuhan keperawatan yang telah disusun sebelumnya berdasarkan tindakan yang telah dibuat, dimana tindakan yang dilakukan mencangkup tindakan mandiri dan kolaborasi. (Tarwoto & Wartonah,2003).

5.      EVALUASI

Evaluasi perkembangan pasien dapat dilihat dari hasilnya, tujuannya adalah untuk mengetahui sejauh mana tujuan perawatan dicapai dan memberikan umpan balik terhadap asuhan keperawatan yang diberikan. Evaluasi yang bisa diberikan pada pasien thypoid, antara lain :

a.       Suhu tubuh kembali normal
Jika tujuan tidak tercapai, maka perlu dikaji ulang letak kesalahan dan dicari jalan keluarnya kemudian catat yang ditemukan serta apakah perlu dilakukan perubahan intervensi.



0 komentar:

Post a Comment

Sample Text

Popular Posts

Recent Posts

SEMOGA BERMANFAAT BUAT PEMBACA

Text Widget