Friday, 22 May 2015

KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas rahmat dan karunia-Nya saya dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “KONSEP-KONSEP KONFLIK”  ini dengan baik.
Dalam penulisan makalah ini saya banyak mendapat bantuan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, saya ingin mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu penulisan makalah ini.
Saya sadar bahwa dalam makalah ini masih jauh dari kesempurnaan, Hal itu di karenakan keterbatasan kemampuan dan pengetahuan saya. Oleh karena itu, saya sangat mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun dari para pembaca. Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kita.
Akhir kata, saya memohon maaf apabila dalam penulisan makalah ini terdapat
banyak kesalahan.


Singaraja,    Maret  2012

Penulis            





DAFTAR ISI
Kata pengantar   ……………………………………………………………..   1
Daftar isi   ……………………………………………………………………   2
BAB  I   PENDAHULUAN
1.1      Latar belakang   ………………………………………………………….   3
1.2      Rumusan masalah   ……………………………………………………..   4
1.3      Tujuan   ………………………………………………………………….   4
BAB   II   PEMBAHASAN
2.1   Pengertian konflik secara umum   ……………………………………..   5
2.2   Pengertian konflik menurut beberapa ahli   …………………………...   5
2.3   Teori konflik   …………………………………………………………..   8
2.4   Penelitian mengenai beberapa konflik   ……………………………….   11
2.5   Jenis-jenis konflik   …………………………………………………….   17
2.6   Faktor penyebab konflik   ……………………………………………...   19
2.7   Akibat dari koflik   ………………………………………………………  21
2.8   Cara mencegah konflik   ……………………………………………….   22
BAB   III   PENUTUP
3.1   Kesimpulan   ……………………………………………………………   26
DAFTAR PUSTAKA   ……………………………………………………….   28







BAB   I
PENDAHULUAN
1.1      Latar belakang
Latar Belakang Masalah Kehidupan bangsa Indonesia dewasa ini tengah menghadapi ancaman serius berkaitan dengan mengerasnya konflik-konflik dalam masyarakat, baik yang bersifat vertikal maupun horizontal. Konflik-konflik itu pada dasarnya merupakan produk dari sistem kekuasaan Orde Baru yang militeristik, sentralistik, dominatif, dan hegemonik. Sistem tersebut telah menumpas kemerdekaan masyarakat untuk mengaktualisasikan dirinya dalam wilayah sosial, ekonomi, politik, maupun kultural. Keajemukan bangsa yang seharusnya dapat kondusif bagi pengembangan demokrasi ditenggelamkan oleh ideologi harmoni sosial yang serba semu, yang tidak lain adalah ideologi keseragaman. Bagi negara kala itu, kemajemukan dianggap sebagai potensi yang dapat mengganggu stabilitas politik.  Karena itu negara perlu menyeragamkan setiap elemen kemajemukan dalam masyarakat sesuai dengan karsanya, tanpa harus merasa telah mengingkari prinsip dasar hidup bersama dalam kepelbagaian. Dengan segala kekuasaan yang ada padanya negara tidak segan-segan untuk menggunakan cara-cara koersif agar masyarakat tunduk pada ideologi negara yang maunya serba seragam, serba tunggal. Perlakuan Negara yang demikian kean diapresiasi dan diinternalisasi oleh masyarakat dalam kesadaran sosial politiknya. Pada gilirannya kesadaran yang bias stateitu mengarahkan sikap dan perilaku sosial masyarakat kepada hal-hal yang bersifat diskriminatif, kekerasan, dan dehumanisasi. Hal itu dapat kita saksikan dari kecenderungan xenophobia dalam masyarakat ketika berhadapan dengan elemen-elemen pluralitas bangsa. Penerimaan mereka terhadappluralitas kurang lebih sama dan sebangun dengan penerimaan negara atas fakta sosiologis-kultural itu. Karena itu, subyektivitas masyarakat kian menonjol dan pada gilirannya menafikan kelompok lain yang dalam alam pikirnya diyakini "berbeda". Dari sinilah konflik-konflik sosial politik memperoleh legitimasi rasionalnya. Tentu saja untuk hal ini kita patut meletakkan negara sebagai faktor dominan yang telah membentuk pola pikir dan kesadaran antidemokrasi di kalangan masyarakat.Ketika negara mengalami defisit otoritas, kesadaran bias state masyarakat semakin menonjol dalam pelbagai pola perilaku sosial dan politik. Munculnya reformasitelah menyediakan ruang yang lebih lebar bagi artikulasi pendapat dan kepentingan masyarakat pada umumnya. Masalahnya, artikulasi pendapat dan kepentingan itu masih belum terlepas dari kesadaran bias state yang mengimplikasikan dehumanisasi. Itulah mengapa kemudian muncul pelbagai bentuk tragedi kemanusiaan yang amat memilukan seperti kita saksikan dewasa ini di Aceh, Ambon, Sambas, Papua, dan beberapa daerah lain. Ironisnya lagi, ternyata ada the powerful invisible hand yangturut bermain dalam menciptakan tragedi kemanusiaan itu.Jadi, reformasi yang tengah kita laksanakan sekarang ini harus mampu membongkaraspek struktural dan kultural yang kedua-duanya saling mempengaruhi kehidupan masyarakat. Kita tidak dapat semata-mata bertumpu kepada aspek struktural atau sistem kekuasaan yang ada, melainkan harus pula melakukan dislearn atas wacana dankonstruksi pemikiran masyarakat.

1.2      Rumusan masalah
Dalam makalah ini akan dibahas beberapa masalah yaitu:
1.      Apa pengertian konflik secara umum?
2.      Apa pengertian konflik menurut beberapa ahli?
3.      Apa teori konflik?
4.      Apa saja penelitian mengenai beberapa konflik?
5.      Apa saja jenis-jenis konflik?
6.      Apa saja factor penyebab konflik?
7.      Apa saja akibat dari konflik?
8.      Apa saja cara mencegah konflik?

1.3      Tujuan
Adapun tujuan yang akan didapat dari pembahasan makalah ini adalah sebagai berikut:
1.      Dapat mengetahui pengertian konflik secara umum.
2.      Dapat mengetahui konflik menurut beberapa ahli.
3.      Dapat mengetahui teori konflik.
4.      Dapat mengetahui penelitian mengenai beberapa konflik.
5.      Dapat mengetahui jenis-jenis konflik.
6.      Dapat mengetahui factor penyebab konflik.
7.      Dapat mengetahui akibat dari konflik.
8.      Dapat mengetahui cara mencegah konflik.



BAB   II  
PEMBAHASAN

2.1   Pengertian konflik secara umum
            Konflik berasal dari kata kerja Latin configere yang berarti saling memukul. Secara sosiologis, konflik diartikan sebagai suatu proses sosial antara dua orang atau lebih (bisa juga kelompok) dimana salah satu pihak berusaha menyingkirkan pihak lain dengan menghancurkannya atau membuatnya tidak berdaya.
Tidak satu masyarakat pun yang tidak pernah mengalami konflik antar anggotanya atau dengan kelompok masyarakat lainnya, konflik hanya akan hilang bersamaan dengan hilangnya masyarakat itu sendiri.
Konflik dilator belakangi oleh perbedaan ciri-ciri yang dibawa individu dalam suatu interaksi. perbedaan-perbedaan tersebut diantaranya adalah menyangkut ciri fisik, kepandaian, pengetahuan, adat istiadat, keyakinan, dan lain sebagainya. Dengan dibawasertanya ciri-ciri individual dalam interaksi sosial, konflik merupakan situasi yang wajar dalam setiap masyarakat dan tidak satu masyarakat pun yang tidak pernah mengalami konflik antar anggotanya atau dengan kelompok masyarakat lainnya, konflik hanya akan hilang bersamaan dengan hilangnya masyarakat itu sendiri.
Konflik bertentangan dengan integrasi. Konflik dan Integrasi berjalan sebagai sebuah siklus di masyarakat. Konflik yang terkontrol akan menghasilkan integrasi. sebaliknya, integrasi yang tidak sempurna dapat menciptakan konflik.
2.2   Pengertian konflik menurut beberapa ahli
A.   Konflik menurut Robbin (1996:431)
Robbin (1996: 431) mengatakan konflik dalam organisasi disebut sebagai The Conflict Paradoks, yaitu pandangan bahwa di sisi konflik dianggap dapat meningkatkan kinerja kelompok, tetapi di sisi lain kebanyakan kelompok dan organisasi berusaha untuk meminimalisasikan konflik. Pandangan ini dibagi menjadi tiga bagian, antara lain:
  1. Pandangan tradisional (The Traditional View). Pandangan ini menyatakan bahwa konflik itu hal yang buruk, sesuatu yang negatif, merugikan, dan harus dihindari. Konflik disinonimkan dengan istilah violence, destruction, dan irrationality. Konflik ini merupakan suatu hasil disfungsional akibat komunikasi yang buruk, kurang kepercayaan, keterbukaan di antara orang – orang, dan kegagalaan manajer untuk tanggap terhadap kebutuhan dan aspirasi karyawan.
  2. Pandangan hubungan manusia (The Human Relation View). Pandangan ini menyatakan bahwa konflik dianggap sebagai suatu peristiwa yang wajar terjadi di dalam kelompok atau organisasi. Konflik dianggap sebagai sesuatu yang tidak dapat dihindari karena di dalam kelompok atau organisasi pasti terjadi perbedaan pandangan atau pendapat antar anggota. Oleh karena itu, konflik harus dijadikan sebagai suatu hal yang bermanfaat guna mendorong peningkatan kinerja organisasi. Dengan kata lain, konflik harus dijadikan sebagai motivasi untuk melakukan inovasi atau perubahan di dalam tubuh kelompok atau organisasi.
  3. Pandangan interaksionis (The Interactionist View). Pandangan ini cenderung mendorong suatu kelompok atau organisasi terjadinya konflik. Hal ini disebabkan suatu organisasi yang kooperatif, tenang, damai, dan serasi cenderung menjadi statis, apatis, tidak aspiratif, dan tidak inovatif. Oleh karena itu, menurut pandangan ini, konflik perlu dipertahankan pada tingkat minimum secara berkelanjutan sehingga tiap anggota di dalam kelompok tersebut tetap semangat, kritis – diri, dan kreatif.
B.  Konflik Menurut Stoner dan Freeman
Stoner dan Freeman(1989:392) membagi pandangan menjadi dua bagian, yaitu pandangan tradisional (Old view) dan pandangan modern (Current View):
  1. Pandangan tradisional. Pandangan tradisional menganggap bahwa konflik dapat dihindari. Hal ini disebabkan konflik dapat mengacaukan organisasi dan mencegah pencapaian tujuan yang optimal. Oleh karena itu, untuk mencapai tujuan yang optimal, konflik harus dihilangkan. Konflik biasanya disebabkan oleh kesalahan manajer dalam merancang dan memimpin organisasi. Dikarenakan kesalahan ini, manajer sebagai pihak manajemen bertugas meminimalisasikan konflik.
  2. Pandangan modern. Konflik tidak dapat dihindari. Hal ini disebabkan banyak faktor, antara lain struktur organisasi, perbedaan tujuan, persepsi, nilai – nilai, dan sebagainya. Konflik dapat mengurangi kinerja organisasi dalam berbagai tingkatan. Jika terjadi konflik, manajer sebagai pihak manajemen bertugas mengelola konflik sehingga tercipta kinerja yang optimal untuk mencapai tujuan bersama.
C.   Konflik Menurut Myers
            Selain pandangan menurut Robbin dan Stoner dan Freeman, konflik dipahami berdasarkan dua sudut pandang, yaitu: tradisional dan kontemporer (Myers, 1993:234)
  1. Dalam pandangan tradisional, konflik dianggap sebagai sesuatu yang buruk yang harus dihindari. Pandangan ini sangat menghindari adanya konflik karena dinilai sebagai faktor penyebab pecahnya suatu kelompok atau organisasi. Bahkan seringkali konflik dikaitkan dengan kemarahan, agresivitas, dan pertentangan baik secara fisik maupun dengan kata-kata kasar. Apabila telah terjadi konflik, pasti akan menimbulkan sikap emosi dari tiap orang di kelompok atau organisasi itu sehingga akan menimbulkan konflik yang lebih besar. Oleh karena itu, menurut pandangan tradisional, konflik haruslah dihindari.
  2. Pandangan kontemporer mengenai konflik didasarkan pada anggapan bahwa konflik merupakan sesuatu yang tidak dapat dielakkan sebagai konsekuensi logis interaksi manusia. Namun, yang menjadi persoalan adalah bukan bagaimana meredam konflik, tapi bagaimana menanganinya secara tepat sehingga tidak merusak hubungan antarpribadi bahkan merusak tujuan organisasi. Konflik dianggap sebagai suatu hal yang wajar di dalam organisasi. Konflik bukan dijadikan suatu hal yang destruktif, melainkan harus dijadikan suatu hal konstruktif untuk membangun organisasi tersebut, misalnnya bagaimana cara peningkatan kinerja organisasi.
D.   Konflik Menurut Peneliti Lainnya
  1. Konflik terjadi karena adanya interaksi yang disebut komunikasi. Hal ini dimaksudkan apabila kita ingin mengetahui konflik berarti kita harus mengetahui kemampuan dan perilaku komunikasi. Semua konflik mengandung komunikasi, tapi tidak semua konflik berakar pada komunikasi yang buruk. Menurut Myers, Jika komunikasi adalah suatu proses transaksi yang berupaya mempertemukan perbedaan individu secara bersama-sama untuk mencari kesamaan makna, maka dalam proses itu, pasti ada konflik (1982: 234). Konflik pun tidak hanya diungkapkan secara verbal tapi juga diungkapkan secara nonverbal seperti dalam bentuk raut muka, gerak badan, yang mengekspresikan pertentangan (Stewart & Logan, 1993:341). Konflik tidak selalu diidentifikasikan sebagai terjadinya saling baku hantam antara dua pihak yang berseteru, tetapi juga diidentifikasikan sebagai ‘perang dingin’ antara dua pihak karena tidak diekspresikan langsung melalui kata – kata yang mengandung amarah.
  2. Konflik tidak selamanya berkonotasi buruk, tapi bisa menjadi sumber pengalaman positif (Stewart & Logan, 1993:342). Hal ini dimaksudkan bahwa konflik dapat menjadi sarana pembelajaran dalam memanajemen suatu kelompok atau organisasi. Konflik tidak selamanya membawa dampak buruk, tetapi juga memberikan pelajaran dan hikmah di balik adanya perseteruan pihak – pihak yang terkait. Pelajaran itu dapat berupa bagaimana cara menghindari konflik yang sama supaya tidak terulang kembali di masa yang akan datang dan bagaimana cara mengatasi konflik yang sama apabila sewaktu – waktu terjadi kembali.

2.3   Teori konflik
pendekatan konflik, bukanlah kepentingan di dalam yang bersifat “ subyektif “ sebagaimanadirasakan oleh orang – orang, melainkan kepentingan yang secara “ obyektif “ melekat di dalam kedudukan sosial tertentu. Karena kepentingan yang demikian tidak selalu disadari adanya, maka disebut sebagai
kepentingan – kepentingan yang bersifat laten (latent interest) sementara mereka yang memilikinya disebut sebagai kelompok semu (quasi-groups).
Sekalipun berbeda darikelompok yang sesungguhnya, kelompok semu tidak memiliki hubungan sosial yang disadari, tetapianggotanya memiliki kepentingan dan mode tingkah laku yang sama dan dapat berkembangmenjadi kelompok yang biasa disebut sebagai kelompok kepentingan (interest group)
Dengan demikian kelompok semu merupakan sumber dari para anggota kelompok kepentingan berasal atau direcruit.
Karena kepentingan masing – masing kelompok tersebut berlawanan satu sama lain, maka kelompok – kelompok itupun secara potensial selalu beradadalam kondisi konflik pula. Sementara itu suatu kelompok semu tidaklah dengan sendirinyamenjelma menjadi kelompok kepentingan.
Dahrendorf menyebutkan tiga macam prasyarat yang bersifat kondisional yang memungkinkan suatu kelompok semu dapat terorganisir ke dalamkelompok kepentingan .Tiga macam prasayarat tersebut adalah :
1. Kondisi – kondisi teknis dari suatu organisasi (technical condition of organization).
Yaitu munculnya sejumlah orang tertentu yang mampu merumuskan dan mengorganisir 
latent interest  dari suatu kelompok semu menjadi manifest interest berupa kebutuhan yang secara sadar ingindicapai orang. Tanpa kondisi – kondisi teknis semacam itu suatu kelompok semu tetap tidak akanterorganisir menjadi kelompok kepentingan.
2. Kondisi – kondisi politis dari suatu organisasi (political conditions of organization).
Yaitu ada tidaknya kebebasan politik untuk berorganisasi yang diberikan oleh masyarakat. Bagaimanapun matangnya kondisi – kondisi teknis dari suatu organisasi, namun tanpa kebebasan untuk  berorganisasi, kelompok semu tetap tidak akan dapat terorganisir ke dalam bentuk kelompok kepentingan. Tanpa kebebasan berorganisasi, maka munculnya kelompok kepentingan hanyaakan bersifat potensial.
3. Kondisi – kondisi sosial dari suatu organisasi (  social   conditions of organization). Yaitu adanyasistem komunikasi yang memungkinkan para anggota dari suatu kelompok semu berkomunikasisatu sama lain dengan mudah.

Tanpa kondisi sosial yang demikian, maka tersedianya para pemimpin, ideologi, dan kebebasan berorganisasi belum cukup menjamin bahwa para anggota kelompok kepentingan akan dapat direkrut dengan mudah. Dengan demikian munculnyakelompok kepentingan menuntut tumbuhnya mekanisme recruitment yang lunak. Ketiga kondisi tersebut secara bersama – sama menjadi intervening variable bagimunculnya kelompok kepentingan yang disebutkan selalu berada di dalam situasi konflik. Bentuk  pengendalian konflik – konflik sosial yang pertama dan yang paling penting adalah apa yang disebut konsiliasi (conciliation). Pengendalian semacam itu terwujud melalui lembaga tertentu yangmemungkinkan tumbuhnya pola diskusi dan pengambilan keputusan diantara pihak yang berlawanan mengenai persoalan yang mereka pertentangkan.
Agar lembaga tersebut dapat berfungsisecara efektif, lembaga yang dimaksud harus memenuhi sedikitnya empat hal berikut :
1. Lembaga tersebut harus merupakan lembaga yang bersifat otonom.
2. Kedudukan lembaga tersebut di dalam masyarakat yang bersangkutan harus bersifatmonopolistis.
3. Peranan lembaga tersebut haruslah sedemikian rupa sehingga kepentingan yang berlawanan satusama lain itu akan merasa terikat kepada lembaga tersebut.
4. Lembaga tersebut harus bersifat demokratis.

Tanpa hadirnya keempat hal tersebut, maka konflik – konflik yang terjadi di antara berbagai kekuatan sosial akan menyelinap ke bawah permukaan, yang pada saatnya tanpa dapatdiduga sebelumnya akan meledak ke dalam bentuk kekerasan.

Namun demikian, semuanya itu hanya dapat dilakukan apabila kelompok yang saling bertentangan itu sendiri dapat memenuhi tigamacam prasyarat berikut :
1. Masing – masing kelompok menyadari akan adanya situasi konflik diantara mereka, karena itu perlunya dilaksanakan prinsip – prinsip keadilan secara jujur bagi semua pihak.
2. Pengendalian konflik – konflik tersebut hanya mungkin dilakukan apabila berbagai kekuatansosial yang saling bertentangan itu terorganisir dengan jelas.
3.Setiap kelompok yang terlibat di dalam konflik harus mematuhi aturan permainan tertentu.
Tanpa semuanya itu, maka lembaga diskusi macam apa pun tidak akan dapat berfungsidengan baik. Sebaliknya, konflik justru akan menjadi semakin parah. Dalam keadaan yangdemikian maka dibutuhkan suatu cara pengendalian yang lain yang disebut mediasi (mediation),yaitu kedua belah pihak yang bersengketa bersama – sama bersepakat untuk menunjuk pihak ketigayang akan memberikan “nasihat – nasihat”-nya tentang bagaimana mereka sebaiknya
menyelesaikan pertentangan mereka.Apabila cara pengendalian inipun masih tidak cukup efektif, maka suatu cara pengendalianyang ketiga, yaitu perwasitan (arbitration), mungkin sekali akan timbul. Di dalam hal ini kedua belah pihak yang bertentangan bersepakat untuk menerima atau “terpaksa” menerima hadirnya pihak ketiga yang akan memberikan “keputusan – keputusan” tertentu untuk menyelesaikan konflik yang terjadi diantara mereka. Di dalam bentuk mediasi, kedua belah pihak yang bertentanganmenyetujui untuk menerima pihak ketiga sebagai wasit akan tetapi mereka bebas untuk menerimaatau menolak keputusan – keputusan wasit. Lebih daripada mediasi, sebaliknya, suatu perwasitan menempatkan kedua belah pihak yang bertentangan pada kedudukan untuk harus menerimakeputusan – keputusan yang diambil wasit. Ketiga jenis pengendalian konflik tersebut diatas, baik dipandang sebagai cara – cara pengendalian konflik yang bertingkat – tingkat maupun dipandang sebagai cara – cara yang berdirisendiri – sendiri, memiliki daya kemampuan untuk mengurangi atau menghindarkan kemungkinan – kemungkinan timbulnya ledakan sosial dalam bentuk kekerasan. Dengan perkataan lain, melalui mekanisme pengendalian konflik – konflik sosial di antara berbagai kelompok kepentingan justruakan menjadi kekuatan yang mendorong terjadinya perubahan – perubahan sosial yang tidak akan mengenal akhi.


2.4  Penelitian mengenai beberapa konflik
            Ada beberapa konflik yang kami amati di Indonesia melauli media massa dan situs internet yaitu:
Penelitian konflik Dayak dan Madura
Konflik antaretnik dapat dikatakan sebagai suatu bentuk pertentangan alamiah yang dihasilkan oleh individu atau kelompok yang berbeda etnik, karena diantara mereka memiliki perbedaan dalam sikap, kepercayaan, nilai, atau kebutuhan (Liliweri, 2005:146).
Sebuah penelitian mengenai konflik antara Suku Dayak dan Suku Madura pernah dilakukan oleh Yohanes Bahari pada tahun 2005, penelitian tersebut berjudul Resolusi Konflik berbasis Pranata Adat Pamabakng dan Pati Nyawa pada Masyarakat Dayak Kanayatn di Kalimantan Barat. Hasil penelitian tersebut salah satunya menyebutkan bahwa konflik-konflik kekerasan yang terjadi antara Suku Dayak dan Suku Madura disebabkan oleh faktor-faktor struktural yang dilandasi oleh faktor faktor kultural; apabila faktor-faktor struktural dan kultural ini tidak diatasi dengan tuntas dan sepanjang resoluasi konflik tidak mengedepankan resolusi yang berbasis pada budaya dan kepercayaan masyarakat maka konflik kekerasan diperkirakan akan terus berulang (2005 : vi).
Yohanes juga menyebutkan bahwa konflik kekerasan antara Suku Dayak dan Suku Madura di Kalimantan Barat selama ini memang tidak terlepas dari adanya tradisi kekerasan dalam Suku Dayak, namun sebenarnya bukan tradisi ini yang menjadi penyebab utama konflik melainkan lebih sebagai akibat dari adanya pemanfaatan oleh pihak-pihak lain yang menginginkan kekerasan terjadi di Kalimantan Barat. Selain itu, oleh mereka sendiri kekerasan tidak pernah dikaitkan dengan isu-isu keagamaan (2005:312-313).
Di sisi Suku Madura, perilaku dan tindakan orang Madura yang tinggal di Kalimantan Barat, baik yang sudah lama maupun masih baru tidak banyak berbeda dengan perilaku dan tindakan mereka di tempat asalnya di pulau Madura. Orang Madura biasanya akan merespon amarah atau kekerasan berupa tindakan resistensi yang cenderung berupa kekerasan pula (Yohanes Bahari, 2002:314). Karena itu, kecenderungan kekerasan ini pulalah yang mudah dipicu untuk menimbulkan konflik dengan suku lain.
Penelitian lainnya yang peneliti angkat sebagai referensi untuk penelitian ini adalah yang dilakukan oleh Julia Magdalena Wuysang. Wuysang (2003) melakukan penelitian yang berjudul Pengaruh Stereotip etnik, Prasangka Sosial dan Kecenderungan Berperilaku terhadap Jarak Sosial Antaretnik Melayu dan Etnik Madura di Kota Pontianak. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa dalam interaksi antara Etnik Melayu dan Etnik Madura, salah satu pesan yang disampaikan yakni ciri, sifat, dan atribut negatif yang dilekatkan pada suatu etnik tertentu. Perasaan negatif terhadap etnik lain ini merupakan prasangka yang akan menjadi penghambat komunikasi. Padahal, perasaan negatif tersebut sebenarnya muncul dari perbedaan persepsi karena perbedaan penafsiran pesan yang dibawa komunikator dan komunikan hingga akhirnya memperbesar jarak sosial.
Wuysang juga menemukan bahwa individu dari kedua etnik itu memiliki kecenderungan berperilaku diskriminatif dalam mereaksi pesan dari etnik lain, misalnya etnik Melayu cenderung berperilaku diskriminatif terhadap etnik Madura, atau sebaliknya. Hal tersebut dilakukan dengan kecenderungan untuk tidak menerima komunikator etnik lain dengan berbagai cara.
Dalam kesimpulannya, Wuysang meyatakan bahwa stereotip etnik, prasangka sosial dan kecenderungan berperilaku diskriminatif yang ada di antara etnik akan memperbesar jarak sosial antaretnik. Sedangkan faktor-faktor lain yang diduga mempengaruhi jarak sosial antara kedua etnik itu adalah : faktor budaya asal, orang tua, kelompok pergaulan dan guru, kepribadian individu, tingkat pendidikan, pekerjaan, perkawinan, media massa, tempat tinggal, pemukiman dan lama tinggal, serta pola-pola interaksi intraetnik dan antaretnik. Dari penelitian tersebut, Wuysang memperoleh beberapa konsep, yakni :
1.      Perbedaan karakteristik etnik merupakan hal yang alami, esensinya adalah mencari dan mengembangkan persamaan di dalam hubungan antar etnik;
2.      Mengenali hambatan di dalam komunikasi antarbudaya dapat mengeliminir akibat yang ditimbulkannya.
Selain penelitian yang berkaitan dengan penyebab konflik, peneliti juga melakukan kajian pustaka terhadap kondisi setelah konflik. Salah satu yang menarik dan sangat relevan dengan penelitian ini adalah penelitian yang dilakukan oleh Agus Sikwan pada tahun 2003. Penelitian tersebut berjudul Model Program Pemberdayaan Dalam Rangka Meningkatkan Kesejahteraan Hidup Pengungsi Etnik Madura Asal Sambas di Kota Pontianak, Kalimantan Barat (Empowerment Program Model to Increase The Welfare of Madurese Refugees from sambas In Pontianak, West Kalimantan). Dalam penelitian ini ditemukan bahwa pelaksanaan program pemberdayaan masyarakat pengungsi Etnik Madura asal Sambas yang selama ini dilaksanakan oleh pemerintah setempat (aparat birokrasi) tidak melibatkan partisipasi aktif seluruh masyarakat pengungsi secara luas dalam setiap kegiatan program pemberdayaan. Padahal, pembangunan masyarakat (dalam hal ini adalah pengungsi) adalah proses yang dirancang untuk menciptakan kondisi sosial ekonomi yang lebih maju dan sehat bagi seluruh masyarakat melalui partisipasi aktif mereka, serta berdasarkan kepercayaan yang penuh terhadap prakarsa mereka sendiri. Jadi, pemerintah membuat program tanpa meminta masukan dari pengungsi, hingga akhirnya program-program tersebut tidak relevan bagi pengungsi.
Penelitian Sikwan ini secara tersirat menunjukkan bahwa pada akhirnya pengungsi etnik Madura harus memutuskan sendiri hal-hal apa yang harus mereka lakukan baik secara sosial maupun ekonomi untuk dapat kembali kepada kehidupan yang normal. Bagi saya, hasil penelitian Sikwan ini menyiratkan bahwa dalam berkomunikasi dan menjalin kembali hubungan dengan etnik lain, khususnya Dayak dan Melayu, pengungsi Etnik Madura ternyata tidak dibimbing dan dibina oleh aparat pemerintah sebagai pelaksana program pemberdayaan. Etnik Madura bergerak atas prakarsa dan kemauan mereka sendiri, karena program-program yang dilakukan pemerintah tidak mencakup bagaimana mereka dapat kembali bersosialisasi dengan etnik lain.

Kastaisme, Persoalan Pelik di Bali

Liburan semester. Gus Eka, seorang lajang berkasta brahmana yang kuliah di Jawa, mengajak seorang temannya liburan di rumahnya di Bali. Sebut saja nama temannya itu Andika, seorang asal Malang.
Di rumah Gus Eka, Andika dan Gus Eka terlibat sebuah obrolan asyik dengan kedua orangtua Gus Eka, ditemani suguhan kopi Bali. Andika yang kelelahan tidak kuasa melanjutkan obrolan itu, kemudian permisi istirahat. Gus Eka masih asyik mengobrol dengan kedua orangtuanya karena ia memang jarang pulang sejak kuliah di Jawa empat tahun lalu.
Di tengah obrolan itu Gus Eka dengan santai meminum kopi sisa Andika, karena kopinya sendiri sudah habis. Betapa tercengangnya kedua orangtua Gus Eka melihat hal itu. Mata kedua orang yang menginjak usia empat puluh lima itu membelalak tajam ke arah Gus Eka.
“Béh, nak suba biasa tiang kéné di Jawa. Yén sing kéné, sing idup apa ben ngoyong di désan anak. Ngajeng magibung krana sing ngelah pipis nak suba biasa,” kata Gus Eka kepada kedua orangtuanya, sambil menyeruput lagi kopi sisa temannya untuk kedua kalinya.
Entahlah, kedua orangtua Gus Eka bisa menerima alasan itu atau tidak. Barangkali mereka masih shock melihat anaknya memakan carikan seorang Jawa, yang menurut mereka berkasta lebih rendah.
Memang, dalam pola pikir kedua orangtua Gus Eka, orang luar Bali itu punya kasta lebih rendah dibandingkan kasta paling rendah yang ada di Bali. Mereka sering wanti-wanti menasihati Gus Eka agar dalam mencari pasangan hidup nantinya bisa memilih.
“Eda ngalih kurenan nak beténan (maksudnya yang berkasta lebih rendah – pen.), apa buin nak Jawa. Ajinin raga gigis dadi nak Brahmana,” begitu nasihat mereka.
Kasta menjelma menjadi “doktrin” kuat yang berhasil merambah begitu banyak ruang dalam kehidupan beberapa (garisbawahi: beberapa!) orang Bali – dari zaman kemunculannya hingga kini. “Doktrin” ini menguasai sasarannya (orang Bali) sehingga pada suatu titik penguasaan ia berhasil menjadi “isme” yang berakar mulai dari wilayah abstrak manusia – pikiran dan emosi – hingga ke wilayah perilaku keseharian yang terindera.
Jika dihubungkan dengan konsep yang konon mendasari dan menjadi struktur seragam desa-desa adat di Bali, yaitu Tri Hita Karana, kasta bukan hanya telah menyentuh pawongan, namun juga palemahan, dan bahkan parhyangan. Dalam tiga ranah konsep ini, kasta adalah salah satu “mesin” konflik. Malahan, yang paling keras memunculkan berbagai konflik justru pada tataran parhyangan, yang notabene merupakan ranah konsep hubungan vertikal manusia dengan Tuhan.
Pandangan terhadap orang lain, terutama orang berkasta bawah dan orang luar Bali, yang ditunjukkan kedua orangtua Gus Eka pada ilustrasi di atas agaknya cukup jelas memberi contoh pada tataran pawongan. Bahkan bukan rahasia umum lagi di Bali kalau kasta sering kali menjelma jadi masalah yang pelik, diposisikan begitu urgen, sakral, dikultuskan, elitis, sehingga menghalangi integrasi antarindividu.
Seorang petinggi daerah di Bali yang berkasta Brahmana dikenal memberlakukan “sistem 2D” dalam perekrutan PNS. Sistem yang tentu saja tak resmi dan nepotis ini mengutamakan orang yang “2D”, yaitu Da Bagus (Ida Bagus) dan Dayu (Ida Ayu).
Pada tataran palemahan, pada titik tertentu, kasta menghalangi – atau paling tidak melatarbelakangi pola pikir dan laku yang menghalangi – integrasi antarkelompok sosial. Ada beberapa kasus pemisahan atau perceraian atau pemecahan sebuah wilayah kelompok sosial menjadi dua atau lebih wilayah kelompok yang dilatarbelakangi oleh perbedaan kasta antarkelompok.
Perbedaan kasta antara kelompok satu dengan yang lainnya melahirkan keyakinan dan paham yang berbeda pula di antara mereka. Tidak ada lagi kemandirian pola pikir. Yang ada adalah “kolektivitas sempit”, suryak siu. Lihatlah kasus Tusan, Klungkung, saat Nyepi tahun 2007 kemarin.
Salah satu contoh konflik berlatar kasta yang telah merambah tataran parhyangan adalah konfrontasi antara konsep Tri Sadaka dan Sarwa Sadaka. Sebagaimana diketahui, konflik ini memuncak menjelang pelaksanaan ritual Panca Wali Krama di Pura Besakih, Maret 1999. Dari tulisan I Gde Pitana (2003), saya memperoleh informasi bahwa ini adalah masalah tentang siapa yang seharusnya muput karya.
Sebelumnya, ritual-ritual di Pura Besakih dipuput oleh Tri Sadaka, yaitu pandita dari Warga Brahmana Siwa (Pedanda Siwa), pandita Warga Brahmana Bhoda (Pedanda Bhoda) serta pandita dari Warga Bhujangga Waisnawa (Jero Gede). Sebuah proses panjang, alot, penuh intrik dan politik akhirnya mencapai keputusan penggunaan Sarwa Sadaka, yaitu pandita dari berbagai kelompok warga yang ada di Bali pada Panca Wali Krama Maret 1999 ini, “… walau dalam suasana tegang,” tulis Pitana.
Bayangkan! Sebuah ritual keagamaan, sebuah peristiwa kudus penghadapan mahluk bernama manusia kepada Sang Pencipta, dalam suasana yang tegang! Yang membuat ketegangan malah bukan hal di luar lembaga ritual, seperti perang atau persengketaan antar warga, namun justru elemen dalam lembaga agama sendiri.
Konflik antara dua kubu di atas, pendukung Tri Sadaka di satu sisi dan pendukung Sarwa Sadaka di sisi lainnya, mengetengahkan beberapa wacana serta argumen yang absurd. Pitana menyebut kasus ini tidak lain adalah perang perebutan kekuasaan dan status. Tentu saja kuasa dan status ini adalah dalam lingkup sosiokultural di Bali, namun dengan menggunakan ranah parhyangan sebagai alatnya.
Sekali lagi, kasta di Bali memang telah menjadi isme tersendiri yang spesifik. Masing-masing kasta di Bali agaknya memiliki para penganut – bukan lagi sekadar pewarisan – yang fanatik, layaknya fanatisme terhadap partai politik tertentu. Para penganut fanatis ini bergerak dengan fundamentalisme pandangan terhadap kastanya.
Sejarah kemunculan kasta di Bali, yang menurut beberapa sumber diawali pada masa dinasti Sri Kresna Kepakisan, di mana kemudian ada pembedaan antara keturunan Sri Kresna Kepakisan, Danghyang Nirartha dan Danghyang Aspataka dengan keturunan di luar ketiganya, diapresiasi dengan pengkultusan terhadap sejarah itu.
Sebagaimana isme yang lain, kasta juga punya pengaruh terhadap segi kehidupan lain, sehingga tidak menutup kemungkinan dalam berbagai segi itu tertanam – atau sengaja ditanamkan – berbagai kepentingan, baik yang bersifat individu maupun kelompok sempit. Dan perlu dicatat, kepentingan di zaman mutakhir, sebagaimana terjadi dalam dunia politik praktis, tidak jauh dari kuasa dan uang.
Kalau dirunut dari sejarah kasta di Bali, kemunculannya memang tidak jauh dari itu semua: politik kekuasaan, dengan perang sebagai salah satu aksi riilnya. Jadi sebenarnya tidak terlalu mengherankan jika kondisi mutakhir konflik kasta di Bali menyajikan atmosfer yang menegangkan semacam suasana dalam perang fisik

2.5   Jenis-jenis konflik
Menurut James A.F. Stoner dan Charles Wankel dikenal ada empat jenis konflik yaitu konflik intrapersonal, konflik interpersonal, konflik antar individu dan kelompok, konflik antar kelompok dan konflik antar organisasi.,
1) Konflik Intrapersonal
Konflik intrapersonal adalah konflik seseorang dengan dirinya sendiri. Konflik terjadi bila pada waktu yang sama seseorang memiliki dua keinginan yang tidak mungkin dipenuhi sekaligus.
Sebagaimana diketahui bahwa dalam diri seseorang itu biasanya terdapat hal-hal sebagai berikut:
§ Sejumlah kebutuhan-kebutuhan dan peranan-peranan yang bersaing
§ Beraneka macam cara yang berbeda yang mendorong peranan-peranan dan kebutuhan-kebutuhan itu terlahirkan.
§ Banyaknya bentuk halangan-halangan yang bisa terjadi di antara dorongan dan tujuan
§ Terdapatnya baik aspek yang positif maupun negatif yang menghalangi tujuantujuan yang diinginkan.

Ada tiga macam bentuk konflik intrapersonal yaitu :
a) Konflik pendekatan-pendekatan, contohnya orang yang dihadapkan pada dua pilihan yang sama-sama menarik.
b) Konflik pendekatan – penghindaran, contohnya orang yang dihadapkan pada dua pilihan yang sama menyulitkan.
c) Konflik penghindaran-penghindaran, contohnya orang yang dihadapkan pada satu hal yang mempunyai nilai positif dan negatif sekaligus.

2) Konflik Interpersonal
Konflik Interpersonal adalah pertentangan antar seseorang dengan orang lain karena pertentengan kepentingan atau keinginan. Hal ini sering terjadi antara dua orang yang berbeda status, jabatan, bidang kerja dan lain-lain. Konflik interpersonal ini merupakan suatu dinamika yang amat penting dalam perilaku organisasi. Karena konflik semacam ini akan melibatkan beberapa peranan dari beberapa anggota organisasi yang tidak bisa tidak akan mempngaruhi proses pencapaian tujuan organisasi tersebut.

3) Konflik antar individu-individu dan kelompok-kelompok
Hal ini seringkali berhubungan dengan cara individu menghadapi tekanan-tekanan untuk mencapai konformitas, yang ditekankan kepada mereka oleh kelompok kerja mereka. Sebagai contoh dapat dikatakan bahwa seseorang individu dapat dihukum oleh kelompok kerjanya karena ia tidak dapat mencapai norma-norma produktivitas kelompok dimana ia berada.

4) Konflik interorganisasi
Konflik intergrup merupakan hal yang tidak asing lagi bagi organisasi manapun, dan konflik ini meyebabkan sulitnya koordinasi dan integrasi dari kegiatan yang berkaitan dengan tugas-tugas dan pekerjaan. Dalam setiap kasus, hubungan integrup harus di

manage sebaik mungkin untuk mempertahankan kolaborasi dan menghindari semua konsekuensidisfungsional dari setiap konflik yang mungkin timbul.
Contoh seperti di bidang ekonomi dimana Amerika Serikat dan negara-negara lain dianggap sebagai bentuk konflik, dan konflik ini biasanya disebut dengan persaingan. Konflik ini berdasarkan pengalaman ternyata telah menyebabkan timbulnya pengembangan produk-produk baru, teknologi baru dan servis baru, harga lebih rendah dan pemanfaatan sumber daya secara lebih efisien.
Menurut  Dahrendorf, konflik dibedakan menjadi 4 macam :
  • Konflik antara atau dalam peran sosial (intrapribadi), misalnya antara peranan-peranan dalam keluarga atau profesi (konflik peran (role))
  • Konflik antara kelompok-kelompok sosial (antar keluarga, antar gank).
  • Konflik kelompok terorganisir dan tidak terorganisir (polisi melawan massa).
  • Koonflik antar satuan nasional (kampanye, perang saudara)
  • Konflik antar atau tidak antar agama
  • Konflik antar politik.

2.6      Faktor penyebab konflik
Ada beberapa factor yang menyebabkan terjadinya konflik, yaitu:
1.      Perbedaan individu, yang meliputi perbedaan pendirian dan perasaan. Setiap manusia adalah individu yang unik. Artinya, setiap orang memiliki pendirian dan perasaan yang berbeda-beda satu dengan lainnya. Perbedaan pendirian dan perasaan akan sesuatu hal atau lingkungan yang nyata ini dapat menjadi faktor penyebab konflik sosial, sebab dalam menjalani hubungan sosial, seseorang tidak selalu sejalan dengan kelompoknya. Misalnya, ketika berlangsung pentas musik di lingkungan pemukiman, tentu perasaan setiap warganya akan berbeda-beda. Ada yang merasa terganggu karena berisik, tetapi ada pula yang merasa terhibur.
2.      Perbedaan latar belakang kebudayaan sehingga membentuk pribadi-pribadi yang berbeda. Seseorang sedikit banyak akan terpengaruh dalam pola-pola pemikiran dan pendirian kelompoknya. Pemikiran dan pendirian yang berbeda itu pada akhitnya akan menghasilkan perbedaan individu yang dapat memicu konflik.
3.      Perbedaan kepentingan antar individu atau kelompok. Manusia memiliki perasaan, pendirian maupun latar belakang kebudayaan yang berbeda. Oleh sebab itu, dalam waktu yang bersamaan, masing-masing orang atau kelompok memiliki kepentingan yang berbeda-beda. Kadang-kadang orang dapat melakukan hal yang sama, tetapi untuk tujuan yang berbeda-beda. Sebagai contoh, misalnya perbedaan kepentingan dalam hal pemanfaatan hutan. Para tokoh masyarakat menanggap hutan sebagai kekayaan budaya yang menjadi bagian dari kebudayaan mereka sehingga harus dijaga dan tidak boleh ditebang. Para petani menbang pohon-pohon karena dianggap sebagai penghalang bagi mereka untuk membuat kebun atau ladang. Bagi para pengusaha kayu, pohon-pohon ditebang dan kemudian kayunya diekspor guna mendapatkan uang dan membuka pekerjaan. Sedangkan bagi pecinta lingkungan, hutan adalah bagian dari lingkungan sehingga harus dilestarikan. Di sini jelas terlihat ada perbedaan kepentingan antara satu kelompok dengan kelompok lainnya sehingga akan mendatangkan konflik sosial di masyarakat. Konflik akibat perbedaan kepentingan ini dapat pula menyangkut bidang politik, ekonomi, sosial, dan budaya. Begitu pula dapat terjadi antar kelompok atau antara kelompok dengan individu, misalnya konflik antara kelompok buruh dengan pengusaha yang terjadi karena perbedaan kepentingan di antara keduanya. Para buruh menginginkan upah yang memadai, sedangkan pengusaha menginginkan pendapatan yang besar untuk dinikmati sendiri dan memperbesar bidang serta volume usaha mereka

4.      Perubahan-perubahan nilai yang cepat dan mendadak dalam masyarakat. 
Perubahan adalah sesuatu yang lazim dan wajar terjadi, tetapi jika perubahan itu berlangsung cepat atau bahkan mendadak, perubahan tersebut dapat memicu terjadinya konflik sosial. Misalnya, pada masyarakat pedesaan yang mengalami proses industrialisasi yang mendadak akan memunculkan konflik sosial sebab nilai-nilai lama pada masyarakat tradisional yang biasanya bercorak pertanian secara cepat berubah menjadi nilai-nilai masyarakat industri. Nilai-nilai yang berubah itu seperti nilai kegotongroyongan berganti menjadi nilai kontrak kerja dengan upah yang disesuaikan menurut jenis pekerjaannya. Hubungan kekerabatan bergeser menjadi hubungan struktural yang disusun dalam organisasi formal perusahaan. Nilai-nilai kebersamaan berubah menjadi individualis dan nilai-nilai tentang pemanfaatan waktu yang cenderung tidak ketat berubah menjadi pembagian waktu yang tegas seperti jadwal kerja dan istirahat dalam dunia industri. Perubahan-perubahan ini, jika terjadi seara cepat atau mendadak, akan membuat kegoncangan proses-proses sosial di masyarakat, bahkan akan terjadi upaya penolakan terhadap semua bentuk perubahan karena dianggap mengacaukan tatanan kehiodupan masyarakat yang telah ada.

2.7      Akibat dari konflik
Mendengar kata konflik mungkin kita sebagai orang awam selalu menganggapnya sebagai pertengkaran,kericuhan maupun hal-hal yang sifatnya cenderung mengarah ke arah yang negatif,namun tidak hanya dari segi negative saja melainkan kita bisa melihan sisi positif juga, inilah hal negatif dan positif  yang dihasilkan dari sebuah konflik :
  • meningkatkan solidaritas sesama anggota kelompok (ingroup) yang mengalami konflik dengan kelompok lain.
  • keretakan hubungan antar kelompok yang bertikai.
  • perubahan kepribadian pada individu, misalnya timbulnya rasa dendam, benci, saling curiga dll.
  • kerusakan harta benda dan hilangnya jiwa manusia.
  • dominasi bahkan penaklukan salah satu pihak yang terlibat dalam konflik.
Para pakar teori telah mengklaim bahwa pihak-pihak yang berkonflik dapat memghasilkan respon terhadap konflik menurut sebuah skema dua-dimensi; pengertian terhadap hasil tujuan kita dan pengertian terhadap hasil tujuan pihak lainnya. Skema ini akan menghasilkan hipotesa sebagai berikut:
  • Pengertian yang tinggi untuk hasil kedua belah pihak akan menghasilkan percobaan untuk mencari jalan keluar yang terbaik.
  • Pengertian yang tinggi untuk hasil kita sendiri hanya akan menghasilkan percobaan untuk "memenangkan" konflik.
  • Pengertian yang tinggi untuk hasil pihak lain hanya akan menghasilkan percobaan yang memberikan "kemenangan" konflik bagi pihak tersebut.
  • Tiada pengertian untuk kedua belah pihak akan menghasilkan percobaan untuk menghindari konflik.
2.8      Cara mencegah konflik
Konflik bisa dialami siapa saja, baik oleh orang dewasa maupun remaja. Pada usia remaja konflik akan sering terjadi karena secara emosi mereka bisa dibilang belum stabil. Oleh sebab itu konflik sering dialami para remaja. Berikut beberapa kiat untuk mengatasi konflik yang sering dialami individu, yaitu :
1.Tetap percaya
Tetap percaya pada seseorang yang mempunyai masalah dengan kita. Dalam suatu hubungan tidak selalu berjalan mulus, untuk itu kita tetap percaya bahwa masing-masing bisa menjaga hubungan agar harmonis.
2.Bicara dari hati kehati
Ketika sedang menghadapi konflik dengan seseorang usahakan agar kamu bisa membicarakannya dengan baik yaitu dari hati ke hati, dengan demikian anda akan mengerti apa yang sebenarnya teman anda inginkan.
3.Curhat yang benar
Curhat memang perlu tapi hati-hati jika curhat dilakukan dalam suasana yang tidak tepat maka itu malah akan menjadi boomerang bagi kalian.
4.Cari tempat yang enak
Untuk menyelesaikan pertentangan yang sedang kamu hadapi dalam membicarakan perlu melihat lingkungan apakah mendukung untuk kamu dapat membicarakannya.
5.Kenang hal-hal yang lucu yang pernah kamu alami dengan temanmu tersebut
6.Beri maaf
Hal-hal yang paling penting adalah memberi maaf pada teman kamu yang sedang bermasalah dengan kamu, sehingga ketika kamu saling memaafkan maka konflik yang
sedang terjadi bisa diatasi.
7.Introspeksi diri
Jangan langsung menyalahkan teman kamu yang menyebabkan konflik terjadi tersebut tetapi usahakan bahwa kamu juga bisa mengoreksi diri siapa tahu kamu yang salah.
8.Jalin komunikasi
Komunikasi sangat diperlukan sehingga kamu akan saling mengerti keinginan masing-masing.

Bertengkar dengan teman adalah hal yang wajar tetapi yang penting adalah bagaimana kamu dapat menyelesaikannya dengan baik.
            Adapun cara lain untuk mencegah terjadinya konflik yaitu:
1. Terjemahkan apa yang sebenarnya Anda inginkan
Saat perdebatan dengan teman, kakak, rekan kerja, atau siapapun, dan suasana makin panas, Anda akan mudah sekali terbawa emosi. Bukan saat yang tepat untuk bernegosiasi untuk mencari solusi bersama. Berhentilah untuk selalu berusaha memecahkan segala macam persoalan. Hentikan perdebatan, lalu mulai tuliskan perasaan Anda, atau cari teman yang dipercaya untuk mendengarkan masalah Anda. Intinya, cara ini membantu Anda memikirkan hasil atau solusi yang paling tepat. Mengambil keputusan saat pikiran dikuasai amarah hanya akan membuat Anda mencari-cari alasan pembenaran dan menyalahkan orang lain.

2. Kumpulkan sebanyak mungkin informasi
Ketika Anda sudah mengontrol pikiran Anda dengan lebih tenang, Anda akan lebih mudah menghadapi orang lain. Jangan sekali-kali berasumsi bahwa Anda tahu betul sumber masalahnya berdasarkan apa yang dikatakan atau dipikirkan orang lain. Cari tahu sumber masalah dengan mengumpulkan sebanyak mungkin data dan fakta sebelum mulai membicarakan solusi. Misalkan, pasangan Anda kesal karena tagihan membludak akibat belanja keperluan rumah tangga. Daripada membalas dengan bentakan dan amarah, lebih baik tanyakan apa yang membuat ia kesal dengan anggaran yang sudah Anda buat. Apakah menurutnya Anda belanja lebih banyak darinya? Apakah Anda harus melakukan pengurangan, atau memang penggunaan uang harus diperketat? Lakukan riset kecil-kecilan, bandingkan dengan pengeluaran rumah tangga pada umumnya (dengan standar tertentu), lalu diskusikan perbandingan tersebut dengan keluhan suami. Berusaha memahami posisi orang lain (lawan bicara) akan memudahkan Anda untuk mencari solusi bersama.

3. Tetapkan bentuk proses negosiasi
Jika pikiran sudah tenang dan terkontrol, tentukan kepada siapa Anda ingin bicara dan menegosiasikan masalah, kapan dan dimana tempat yang paling tepat. Persiapan ini penting untuk menciptakan kenyamanan bagi kedua belah pihak yang berseteru. Siapkan juga alur pembicaraan dan agendanya, sepakati bersama siapa yang memulai pembicaraan. Siapkan waktu khusus untuk menyelesaikan masalah. Hal ini untuk menunjukkan itikad baik Anda.

4. Sampaikan pesan yang tepat
Mulailah berdiskusi untuk mencari solusi dengan memunculkan sejumlah saran dan ide. Tunjukkan bahwa Anda mempunyai niat serius untuk memperbaiki keadaan. Katakan juga bahwa niat baik ini adalah untuk mencari solusi yang bisa disepakati dan dijalankan untuk kebaikan bersama. Tak cukup hanya dengan ucapan, Anda juga harus menyelesaikan masalah dengan menunjukkan perilaku yang mendukung ke arah positif. Sikap tubuh yang keliru, yang menunjukkan emosi, bisa memperkeruh suasana.

5. Negosiasi
Saat Anda memulai bernegosiasi untuk mencari solusi, kontrol diri Anda. Jangan memotong pembicaraan; bicaralah saat sudah giliran Anda. Respons pernyataan lawan bicara dengan tenang. Tarik nafas, dan berikan jeda beberapa detik untuk menjawabnya. Kontrol diri sangat penting agar solusi bisa ditemukan dengan pikiran yang tenang dan bukan emosi.


BAB   III
PENUTUP
3.1   Kesimpulan
         Adapun kesimpulan yang didapat dari pembahasan dalam makalan ini adalah sebagai berikut:
1.      Konflik diartikan sebagai suatu proses social antar dua orang atau lebih (bisa juga kelompok) dimana salah satu pihak menyingkirkan pihak lain dengan menghancurkanya atau membuatnya tidak berdaya.
2.      Menurut beberapa para ahli Konflik terjadi karena adanya interaksi yang disebut komunikasi dan Konflik tidak selamanya berkonotasi buruk, tapi bisa menjadi sumber pengalaman positif.
3.      Pendekatan konflik, bukan kepentingan di dalam yang bersifat subyektif sebagaimana dirasakan oleh orang-orang, melaikan kepentingan yang secara onyektif melekat dalam kedudukan social tertentu. Karena kepentingan yang demikian tidak selalu disadari adanya, maka disebut sebagai kepentingan-kepentingan yang bersifat laten, sementara mereka yang memilikinya disebut sebagai kelompok semu.
4.      Banyak konflik-konflik yang terjadi di Indonesia bahkan diluar negeripun konflik sering terjadi, sehingga kita bisa bercermin dari konflik-konflik yang sudah terjadi tersebut agar di Negara kita pada umumnya dan di wilayah kita khususnya agar konflik tidak terjadi.
5.      Ada beberapa jenis konflik yaitu konflik intrapersonal, konflik interpersonal, konflik antar individu dan kelompok, konflik antar kelompok dan konflik antar organisasi.
6.      Factor penyebab konflik adalah Perbedaan individu, yang meliputi perbedaan pendirian dan perasaan, Perbedaan latar belakang kebudayaan sehingga membentuk pribadi-pribadi yang berbeda, Perbedaan kepentingan antar individu atau kelompok, Perubahan-perubahan nilai yang cepat dan mendadak dalam masyarakat.
7.      Akibat dari konflik adalah keretakan hubungan antar kelompok, kerusakan harta benda , hilangnya jiwa manusia dan lain-lain.
8.      Cara mencegah konflik adalah terjemahkan apa yang sebenarnya anda inginkan, kumpulkan sebanyak mungkin informasi, tetapkan pentuk proses negosiasi, sampaikan pesan yang tepat dan negosiasi.




DAFTAR PUSTAKA
ü   Ibed Surgana Yuga, dalam kategori: Budaya, Opini

ü  WWW.GOOGLE.COM

0 komentar:

Post a Comment

Sample Text

Popular Posts

Recent Posts

SEMOGA BERMANFAAT BUAT PEMBACA

Text Widget