KATA
PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas
rahmat dan karunia-Nya saya dapat menyelesaikan makalah yang berjudul
“KONSEP-KONSEP KONFLIK” ini dengan baik.
Dalam penulisan makalah ini saya
banyak mendapat bantuan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, saya ingin
mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu penulisan
makalah ini.
Saya sadar bahwa dalam makalah ini
masih jauh dari kesempurnaan, Hal itu di karenakan keterbatasan kemampuan dan
pengetahuan saya. Oleh karena itu, saya sangat mengharapkan kritik dan saran
yang bersifat membangun dari para pembaca. Semoga makalah ini dapat bermanfaat
bagi kita.
Akhir kata, saya memohon maaf apabila dalam penulisan
makalah ini terdapat
banyak
kesalahan.
Singaraja, Maret
2012
Penulis
DAFTAR
ISI
Kata pengantar …………………………………………………………….. 1
Daftar isi …………………………………………………………………… 2
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar
belakang …………………………………………………………. 3
1.2 Rumusan
masalah …………………………………………………….. 4
1.3 Tujuan …………………………………………………………………. 4
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian konflik secara umum …………………………………….. 5
2.2 Pengertian konflik menurut beberapa ahli …………………………... 5
2.3 Teori konflik ………………………………………………………….. 8
2.4 Penelitian mengenai beberapa konflik ………………………………. 11
2.5 Jenis-jenis konflik ……………………………………………………. 17
2.6 Faktor penyebab konflik ……………………………………………... 19
2.7 Akibat
dari koflik ……………………………………………………… 21
2.8 Cara mencegah konflik ………………………………………………. 22
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
…………………………………………………………… 26
DAFTAR PUSTAKA ………………………………………………………. 28
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar
belakang
Latar Belakang Masalah Kehidupan bangsa Indonesia dewasa ini
tengah menghadapi ancaman serius berkaitan dengan mengerasnya konflik-konflik
dalam masyarakat, baik yang bersifat vertikal maupun horizontal.
Konflik-konflik itu pada dasarnya merupakan produk dari sistem kekuasaan Orde
Baru yang militeristik, sentralistik, dominatif, dan hegemonik. Sistem tersebut
telah menumpas kemerdekaan masyarakat untuk mengaktualisasikan dirinya dalam
wilayah sosial, ekonomi, politik, maupun kultural. Keajemukan bangsa yang seharusnya
dapat kondusif bagi pengembangan demokrasi ditenggelamkan oleh ideologi harmoni
sosial yang serba semu, yang tidak lain adalah ideologi keseragaman. Bagi
negara kala itu, kemajemukan dianggap sebagai potensi yang dapat mengganggu
stabilitas politik. Karena itu negara
perlu menyeragamkan setiap elemen kemajemukan dalam masyarakat sesuai dengan
karsanya, tanpa harus merasa telah mengingkari prinsip dasar hidup bersama
dalam kepelbagaian. Dengan segala kekuasaan yang ada padanya negara tidak
segan-segan untuk menggunakan cara-cara koersif agar masyarakat tunduk pada
ideologi negara yang maunya serba seragam, serba tunggal. Perlakuan Negara yang
demikian kean diapresiasi dan diinternalisasi oleh masyarakat dalam kesadaran
sosial politiknya. Pada gilirannya kesadaran yang bias stateitu mengarahkan
sikap dan perilaku sosial masyarakat kepada hal-hal yang bersifat
diskriminatif, kekerasan, dan dehumanisasi. Hal itu dapat kita saksikan dari
kecenderungan xenophobia dalam masyarakat ketika berhadapan dengan elemen-elemen
pluralitas bangsa. Penerimaan mereka terhadappluralitas kurang lebih sama dan
sebangun dengan penerimaan negara atas fakta sosiologis-kultural itu. Karena
itu, subyektivitas masyarakat kian menonjol dan pada gilirannya menafikan
kelompok lain yang dalam alam pikirnya diyakini "berbeda". Dari
sinilah konflik-konflik sosial politik memperoleh legitimasi rasionalnya. Tentu
saja untuk hal ini kita patut meletakkan negara sebagai faktor dominan yang
telah membentuk pola pikir dan kesadaran antidemokrasi di kalangan
masyarakat.Ketika negara mengalami defisit otoritas, kesadaran bias state
masyarakat semakin menonjol dalam pelbagai pola perilaku sosial dan politik.
Munculnya reformasitelah menyediakan ruang yang lebih lebar bagi artikulasi
pendapat dan kepentingan masyarakat pada umumnya. Masalahnya, artikulasi
pendapat dan kepentingan itu masih belum terlepas dari kesadaran bias state
yang mengimplikasikan dehumanisasi. Itulah mengapa kemudian muncul pelbagai
bentuk tragedi kemanusiaan yang amat memilukan seperti kita saksikan dewasa ini
di Aceh, Ambon, Sambas, Papua, dan beberapa daerah lain. Ironisnya lagi,
ternyata ada the powerful invisible hand yangturut bermain dalam menciptakan
tragedi kemanusiaan itu.Jadi, reformasi yang tengah kita laksanakan sekarang
ini harus mampu membongkaraspek struktural dan kultural yang kedua-duanya
saling mempengaruhi kehidupan masyarakat. Kita tidak dapat semata-mata bertumpu
kepada aspek struktural atau sistem kekuasaan yang ada, melainkan harus pula
melakukan dislearn atas wacana dankonstruksi pemikiran masyarakat.
1.2 Rumusan masalah
Dalam makalah ini akan dibahas
beberapa masalah yaitu:
1. Apa pengertian konflik secara umum?
2. Apa pengertian konflik menurut
beberapa ahli?
3. Apa teori konflik?
4. Apa saja penelitian mengenai beberapa
konflik?
5. Apa saja jenis-jenis konflik?
6. Apa saja factor penyebab konflik?
7. Apa saja akibat dari konflik?
8. Apa saja cara mencegah konflik?
1.3
Tujuan
Adapun
tujuan yang akan didapat dari pembahasan makalah ini adalah sebagai berikut:
1.
Dapat mengetahui pengertian konflik secara
umum.
2.
Dapat mengetahui konflik menurut beberapa
ahli.
3.
Dapat mengetahui teori konflik.
4.
Dapat mengetahui penelitian mengenai beberapa
konflik.
5.
Dapat mengetahui jenis-jenis konflik.
6.
Dapat mengetahui factor penyebab konflik.
7.
Dapat mengetahui akibat dari konflik.
8.
Dapat mengetahui cara mencegah konflik.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian konflik secara umum
Konflik berasal dari kata kerja Latin configere yang berarti saling
memukul. Secara sosiologis, konflik diartikan sebagai suatu proses sosial
antara dua orang atau lebih (bisa juga kelompok) dimana salah satu pihak
berusaha menyingkirkan pihak lain dengan menghancurkannya atau membuatnya tidak
berdaya.
Tidak
satu masyarakat pun yang tidak pernah mengalami konflik antar anggotanya atau
dengan kelompok masyarakat lainnya, konflik hanya akan hilang bersamaan dengan
hilangnya masyarakat itu sendiri.
Konflik dilator belakangi oleh perbedaan ciri-ciri yang
dibawa individu dalam suatu interaksi.
perbedaan-perbedaan tersebut diantaranya adalah menyangkut ciri fisik,
kepandaian, pengetahuan, adat istiadat, keyakinan, dan lain sebagainya. Dengan
dibawasertanya ciri-ciri individual dalam interaksi sosial, konflik merupakan
situasi yang wajar dalam setiap masyarakat
dan tidak satu masyarakat pun yang tidak pernah mengalami konflik antar
anggotanya atau dengan kelompok masyarakat lainnya, konflik hanya akan hilang
bersamaan dengan hilangnya masyarakat itu sendiri.
Konflik bertentangan dengan integrasi. Konflik
dan Integrasi berjalan sebagai sebuah siklus di masyarakat. Konflik yang
terkontrol akan menghasilkan integrasi. sebaliknya, integrasi yang tidak
sempurna dapat menciptakan konflik.
2.2 Pengertian konflik menurut beberapa
ahli
A. Konflik menurut Robbin (1996:431)
Robbin (1996: 431) mengatakan konflik dalam organisasi
disebut sebagai The Conflict Paradoks,
yaitu pandangan bahwa di sisi konflik dianggap dapat meningkatkan kinerja
kelompok, tetapi di sisi lain kebanyakan kelompok dan organisasi berusaha untuk
meminimalisasikan konflik. Pandangan ini dibagi menjadi tiga bagian, antara
lain:
- Pandangan
tradisional (The Traditional View). Pandangan ini menyatakan bahwa konflik
itu hal yang buruk, sesuatu yang negatif, merugikan, dan harus dihindari. Konflik
disinonimkan dengan istilah violence, destruction, dan irrationality.
Konflik ini merupakan suatu hasil disfungsional akibat komunikasi yang
buruk, kurang kepercayaan, keterbukaan di antara orang – orang, dan
kegagalaan manajer untuk tanggap terhadap kebutuhan dan aspirasi karyawan.
- Pandangan
hubungan manusia (The Human Relation View). Pandangan ini menyatakan bahwa
konflik dianggap sebagai suatu peristiwa yang wajar terjadi di dalam
kelompok atau organisasi. Konflik dianggap sebagai sesuatu yang tidak
dapat dihindari karena di dalam kelompok atau organisasi pasti terjadi
perbedaan pandangan atau pendapat antar anggota. Oleh karena itu, konflik
harus dijadikan sebagai suatu hal yang bermanfaat guna mendorong
peningkatan kinerja organisasi. Dengan kata lain, konflik harus dijadikan
sebagai motivasi untuk melakukan inovasi atau perubahan di dalam tubuh
kelompok atau organisasi.
- Pandangan
interaksionis (The Interactionist View). Pandangan ini cenderung mendorong
suatu kelompok atau organisasi terjadinya konflik. Hal ini disebabkan
suatu organisasi yang kooperatif, tenang, damai, dan serasi cenderung
menjadi statis, apatis, tidak aspiratif, dan tidak inovatif. Oleh karena
itu, menurut pandangan ini, konflik perlu dipertahankan pada tingkat
minimum secara berkelanjutan sehingga tiap anggota di dalam kelompok
tersebut tetap semangat, kritis – diri, dan kreatif.
B. Konflik
Menurut Stoner dan Freeman
Stoner dan Freeman(1989:392) membagi pandangan menjadi dua
bagian, yaitu pandangan tradisional (Old view) dan pandangan modern (Current
View):
- Pandangan
tradisional. Pandangan tradisional menganggap bahwa konflik dapat
dihindari. Hal ini disebabkan konflik dapat mengacaukan organisasi dan
mencegah pencapaian tujuan yang optimal. Oleh karena itu, untuk mencapai
tujuan yang optimal, konflik harus dihilangkan. Konflik biasanya
disebabkan oleh kesalahan manajer dalam merancang dan memimpin organisasi.
Dikarenakan kesalahan ini, manajer sebagai pihak manajemen bertugas
meminimalisasikan konflik.
- Pandangan
modern. Konflik tidak dapat dihindari. Hal ini disebabkan banyak faktor,
antara lain struktur organisasi, perbedaan tujuan, persepsi, nilai –
nilai, dan sebagainya. Konflik dapat mengurangi kinerja organisasi dalam
berbagai tingkatan. Jika terjadi konflik, manajer sebagai pihak manajemen
bertugas mengelola konflik sehingga tercipta kinerja yang optimal untuk
mencapai tujuan bersama.
C. Konflik
Menurut Myers
Selain pandangan menurut Robbin dan
Stoner dan Freeman, konflik dipahami berdasarkan dua sudut pandang, yaitu: tradisional
dan kontemporer (Myers, 1993:234)
- Dalam
pandangan tradisional, konflik dianggap sebagai sesuatu yang buruk yang
harus dihindari. Pandangan ini sangat menghindari adanya konflik karena
dinilai sebagai faktor penyebab pecahnya suatu kelompok atau organisasi.
Bahkan seringkali konflik dikaitkan dengan kemarahan, agresivitas, dan
pertentangan baik secara fisik maupun dengan kata-kata kasar. Apabila
telah terjadi konflik, pasti akan menimbulkan sikap emosi dari tiap orang
di kelompok atau organisasi itu sehingga akan menimbulkan konflik yang
lebih besar. Oleh karena itu, menurut pandangan tradisional, konflik
haruslah dihindari.
- Pandangan
kontemporer mengenai konflik didasarkan pada anggapan bahwa konflik
merupakan sesuatu yang tidak dapat dielakkan sebagai konsekuensi logis
interaksi manusia. Namun, yang menjadi persoalan adalah bukan bagaimana
meredam konflik, tapi bagaimana menanganinya secara tepat sehingga tidak
merusak hubungan antarpribadi bahkan merusak tujuan organisasi. Konflik
dianggap sebagai suatu hal yang wajar di dalam organisasi. Konflik bukan
dijadikan suatu hal yang destruktif, melainkan harus dijadikan suatu hal
konstruktif untuk membangun organisasi tersebut, misalnnya bagaimana cara
peningkatan kinerja organisasi.
D. Konflik
Menurut Peneliti Lainnya
- Konflik
terjadi karena adanya interaksi yang disebut komunikasi. Hal ini
dimaksudkan apabila kita ingin mengetahui konflik berarti kita harus
mengetahui kemampuan dan perilaku komunikasi. Semua konflik mengandung
komunikasi, tapi tidak semua konflik berakar pada komunikasi yang buruk.
Menurut Myers, Jika komunikasi adalah suatu proses transaksi yang berupaya
mempertemukan perbedaan individu secara bersama-sama untuk mencari
kesamaan makna, maka dalam proses itu, pasti ada konflik (1982: 234).
Konflik pun tidak hanya diungkapkan secara verbal tapi juga diungkapkan
secara nonverbal seperti dalam bentuk raut muka, gerak badan, yang
mengekspresikan pertentangan (Stewart & Logan, 1993:341). Konflik
tidak selalu diidentifikasikan sebagai terjadinya saling baku hantam
antara dua pihak yang berseteru, tetapi juga diidentifikasikan sebagai
‘perang dingin’ antara dua pihak karena tidak diekspresikan langsung
melalui kata – kata yang mengandung amarah.
- Konflik
tidak selamanya berkonotasi buruk, tapi bisa menjadi sumber pengalaman
positif (Stewart & Logan, 1993:342). Hal ini dimaksudkan bahwa konflik
dapat menjadi sarana pembelajaran dalam memanajemen suatu kelompok atau
organisasi. Konflik tidak selamanya membawa dampak buruk, tetapi juga memberikan
pelajaran dan hikmah di balik adanya perseteruan pihak – pihak yang
terkait. Pelajaran itu dapat berupa bagaimana cara menghindari konflik
yang sama supaya tidak terulang kembali di masa yang akan datang dan
bagaimana cara mengatasi konflik yang sama apabila sewaktu – waktu terjadi
kembali.
2.3 Teori konflik
pendekatan konflik, bukanlah
kepentingan di dalam yang bersifat “ subyektif “ sebagaimanadirasakan oleh
orang – orang, melainkan kepentingan yang secara “ obyektif “ melekat di dalam kedudukan
sosial tertentu. Karena kepentingan yang demikian tidak selalu disadari adanya,
maka disebut sebagai
kepentingan
– kepentingan yang bersifat laten (latent
interest) sementara mereka yang
memilikinya disebut sebagai kelompok semu (quasi-groups).
Sekalipun berbeda darikelompok yang sesungguhnya, kelompok
semu tidak memiliki hubungan sosial yang disadari, tetapianggotanya memiliki kepentingan dan mode tingkah
laku yang sama dan dapat berkembangmenjadi kelompok yang biasa disebut
sebagai kelompok kepentingan (interest group)
Dengan demikian kelompok semu merupakan
sumber dari para anggota kelompok kepentingan berasal atau direcruit.
Karena kepentingan masing – masing kelompok tersebut berlawanan
satu sama lain, maka kelompok – kelompok itupun secara potensial selalu beradadalam kondisi
konflik pula. Sementara itu suatu kelompok semu tidaklah dengan sendirinyamenjelma
menjadi kelompok kepentingan.
Dahrendorf menyebutkan tiga macam
prasyarat yang bersifat kondisional yang memungkinkan suatu kelompok semu dapat
terorganisir ke dalamkelompok
kepentingan .Tiga macam prasayarat tersebut adalah :
1.
Kondisi – kondisi teknis dari suatu organisasi (technical condition of organization).
Yaitu munculnya sejumlah orang tertentu
yang mampu merumuskan dan mengorganisir
latent
interest dari
suatu kelompok semu menjadi manifest
interest berupa kebutuhan yang secara sadar ingindicapai orang.
Tanpa kondisi – kondisi teknis semacam itu suatu kelompok semu tetap tidak
akanterorganisir menjadi kelompok kepentingan.
2.
Kondisi – kondisi politis dari suatu organisasi (political conditions of organization).
Yaitu ada tidaknya kebebasan politik untuk
berorganisasi yang diberikan oleh masyarakat. Bagaimanapun matangnya kondisi –
kondisi teknis dari suatu organisasi, namun tanpa kebebasan
untuk berorganisasi, kelompok semu tetap tidak akan dapat
terorganisir ke dalam bentuk kelompok kepentingan. Tanpa kebebasan
berorganisasi, maka munculnya kelompok kepentingan hanyaakan bersifat
potensial.
3. Kondisi
– kondisi sosial dari suatu organisasi ( social
conditions of organization). Yaitu
adanyasistem komunikasi yang memungkinkan para anggota dari suatu
kelompok semu berkomunikasisatu sama lain dengan mudah.
Tanpa
kondisi sosial yang demikian, maka tersedianya para pemimpin, ideologi,
dan kebebasan berorganisasi belum cukup menjamin bahwa para anggota kelompok
kepentingan akan dapat direkrut dengan mudah. Dengan demikian munculnyakelompok
kepentingan menuntut tumbuhnya mekanisme recruitment yang
lunak. Ketiga kondisi tersebut secara
bersama – sama menjadi intervening variable bagimunculnya kelompok
kepentingan yang disebutkan selalu berada di dalam situasi konflik.
Bentuk pengendalian konflik –
konflik sosial yang pertama dan yang paling penting adalah apa yang disebut
konsiliasi (conciliation). Pengendalian semacam itu terwujud melalui
lembaga tertentu yangmemungkinkan tumbuhnya
pola diskusi dan pengambilan keputusan diantara pihak yang berlawanan
mengenai persoalan yang mereka pertentangkan.
Agar lembaga tersebut dapat berfungsisecara efektif, lembaga
yang dimaksud harus memenuhi sedikitnya empat hal berikut :
1. Lembaga tersebut harus merupakan lembaga yang bersifat
otonom.
2. Kedudukan
lembaga tersebut di dalam masyarakat yang bersangkutan harus
bersifatmonopolistis.
3. Peranan
lembaga tersebut haruslah sedemikian rupa sehingga kepentingan yang berlawanan
satusama lain itu akan merasa terikat kepada lembaga tersebut.
4. Lembaga tersebut harus bersifat demokratis.
Tanpa hadirnya keempat hal tersebut,
maka konflik – konflik yang terjadi di antara berbagai kekuatan sosial akan
menyelinap ke bawah permukaan, yang pada saatnya tanpa dapatdiduga sebelumnya
akan meledak ke dalam bentuk kekerasan.
Namun demikian, semuanya itu hanya dapat dilakukan apabila
kelompok yang saling bertentangan itu sendiri dapat memenuhi tigamacam
prasyarat berikut :
1. Masing
– masing kelompok menyadari akan adanya situasi konflik diantara mereka, karena
itu perlunya dilaksanakan prinsip – prinsip keadilan secara jujur bagi
semua pihak.
2.
Pengendalian konflik – konflik tersebut hanya mungkin dilakukan apabila
berbagai kekuatansosial yang saling bertentangan itu terorganisir dengan jelas.
3.Setiap
kelompok yang terlibat di dalam konflik harus mematuhi aturan permainan tertentu.
Tanpa semuanya itu, maka lembaga
diskusi macam apa pun tidak akan dapat berfungsidengan baik. Sebaliknya, konflik justru
akan menjadi semakin parah. Dalam keadaan yangdemikian maka dibutuhkan suatu cara
pengendalian yang lain yang disebut mediasi (mediation),yaitu kedua belah pihak yang
bersengketa bersama – sama bersepakat untuk menunjuk pihak ketigayang akan memberikan “nasihat – nasihat”-nya
tentang bagaimana mereka sebaiknya
menyelesaikan
pertentangan mereka.Apabila cara pengendalian inipun masih tidak cukup efektif,
maka suatu cara pengendalianyang ketiga,
yaitu perwasitan (arbitration),
mungkin sekali akan timbul. Di dalam hal ini kedua belah pihak yang
bertentangan bersepakat untuk menerima atau “terpaksa” menerima hadirnya pihak
ketiga yang akan memberikan “keputusan – keputusan” tertentu untuk
menyelesaikan konflik yang terjadi
diantara mereka. Di dalam bentuk mediasi, kedua belah pihak yang bertentanganmenyetujui untuk menerima pihak ketiga sebagai
wasit akan tetapi mereka bebas untuk menerimaatau menolak keputusan – keputusan
wasit. Lebih daripada mediasi, sebaliknya, suatu perwasitan menempatkan kedua belah pihak yang bertentangan
pada kedudukan untuk harus menerimakeputusan – keputusan yang diambil
wasit. Ketiga jenis pengendalian konflik tersebut
diatas, baik dipandang sebagai cara – cara pengendalian konflik
yang bertingkat – tingkat maupun dipandang sebagai cara – cara yang
berdirisendiri – sendiri, memiliki daya kemampuan untuk mengurangi atau
menghindarkan kemungkinan – kemungkinan timbulnya ledakan sosial dalam
bentuk kekerasan. Dengan perkataan lain, melalui mekanisme pengendalian konflik
– konflik sosial di antara berbagai kelompok kepentingan justruakan menjadi
kekuatan yang mendorong terjadinya perubahan – perubahan sosial yang tidak akan
mengenal akhi.
2.4 Penelitian mengenai beberapa konflik
Ada beberapa konflik yang kami amati
di Indonesia melauli media massa dan situs internet yaitu:
Penelitian
konflik Dayak dan Madura
Konflik
antaretnik dapat dikatakan sebagai suatu bentuk pertentangan alamiah yang
dihasilkan oleh individu atau kelompok yang berbeda etnik, karena diantara
mereka memiliki perbedaan dalam sikap, kepercayaan, nilai, atau kebutuhan
(Liliweri, 2005:146).
Sebuah
penelitian mengenai konflik antara Suku Dayak dan Suku Madura pernah dilakukan
oleh Yohanes Bahari pada tahun 2005, penelitian tersebut berjudul Resolusi Konflik berbasis Pranata Adat
Pamabakng dan Pati Nyawa pada Masyarakat Dayak Kanayatn di Kalimantan Barat.
Hasil penelitian tersebut salah satunya menyebutkan bahwa konflik-konflik
kekerasan yang terjadi antara Suku Dayak dan Suku Madura disebabkan oleh
faktor-faktor struktural yang dilandasi oleh faktor faktor kultural; apabila
faktor-faktor struktural dan kultural ini tidak diatasi dengan tuntas dan sepanjang
resoluasi konflik tidak mengedepankan resolusi yang berbasis pada budaya dan
kepercayaan masyarakat maka konflik kekerasan diperkirakan akan terus berulang
(2005 : vi).
Yohanes juga menyebutkan bahwa konflik kekerasan antara
Suku Dayak dan Suku Madura di Kalimantan Barat selama ini memang tidak terlepas
dari adanya tradisi kekerasan dalam Suku Dayak, namun sebenarnya bukan tradisi
ini yang menjadi penyebab utama konflik melainkan lebih sebagai akibat dari
adanya pemanfaatan oleh pihak-pihak lain yang menginginkan kekerasan terjadi di
Kalimantan Barat. Selain itu, oleh mereka sendiri kekerasan tidak pernah
dikaitkan dengan isu-isu keagamaan (2005:312-313).
Di sisi Suku
Madura, perilaku dan tindakan orang Madura yang tinggal di Kalimantan Barat,
baik yang sudah lama maupun masih baru tidak banyak berbeda dengan perilaku dan
tindakan mereka di tempat asalnya di pulau Madura. Orang Madura biasanya akan
merespon amarah atau kekerasan berupa tindakan resistensi yang cenderung berupa
kekerasan pula (Yohanes Bahari, 2002:314). Karena itu, kecenderungan kekerasan
ini pulalah yang mudah dipicu untuk menimbulkan konflik dengan suku lain.
Penelitian
lainnya yang peneliti angkat sebagai referensi untuk penelitian ini adalah yang
dilakukan oleh Julia Magdalena Wuysang. Wuysang (2003) melakukan penelitian
yang berjudul Pengaruh Stereotip
etnik, Prasangka Sosial dan Kecenderungan Berperilaku terhadap Jarak Sosial
Antaretnik Melayu dan Etnik Madura di Kota Pontianak. Hasil
penelitiannya menunjukkan bahwa dalam interaksi antara Etnik Melayu dan Etnik
Madura, salah satu pesan yang disampaikan yakni ciri, sifat, dan atribut
negatif yang dilekatkan pada suatu etnik tertentu. Perasaan negatif terhadap
etnik lain ini merupakan prasangka yang akan menjadi penghambat komunikasi. Padahal,
perasaan negatif tersebut sebenarnya muncul dari perbedaan persepsi karena
perbedaan penafsiran pesan yang dibawa komunikator dan komunikan hingga
akhirnya memperbesar jarak sosial.
Wuysang juga
menemukan bahwa individu dari kedua etnik itu memiliki kecenderungan
berperilaku diskriminatif dalam mereaksi pesan dari etnik lain, misalnya etnik
Melayu cenderung berperilaku diskriminatif terhadap etnik Madura, atau
sebaliknya. Hal tersebut dilakukan dengan kecenderungan untuk tidak menerima
komunikator etnik lain dengan berbagai cara.
Dalam
kesimpulannya, Wuysang meyatakan bahwa stereotip etnik, prasangka sosial dan
kecenderungan berperilaku diskriminatif yang ada di antara etnik akan
memperbesar jarak sosial antaretnik. Sedangkan faktor-faktor lain yang diduga
mempengaruhi jarak sosial antara kedua etnik itu adalah : faktor budaya asal,
orang tua, kelompok pergaulan dan guru, kepribadian individu, tingkat
pendidikan, pekerjaan, perkawinan, media massa, tempat tinggal, pemukiman dan
lama tinggal, serta pola-pola interaksi intraetnik dan antaretnik. Dari
penelitian tersebut, Wuysang memperoleh beberapa konsep, yakni :
1.
Perbedaan karakteristik etnik merupakan
hal yang alami, esensinya adalah mencari dan mengembangkan persamaan di dalam
hubungan antar etnik;
2.
Mengenali hambatan di dalam komunikasi
antarbudaya dapat mengeliminir akibat yang ditimbulkannya.
Selain
penelitian yang berkaitan dengan penyebab konflik, peneliti juga melakukan
kajian pustaka terhadap kondisi setelah konflik. Salah satu yang menarik dan
sangat relevan dengan penelitian ini adalah penelitian yang dilakukan oleh Agus
Sikwan pada tahun 2003. Penelitian tersebut berjudul Model Program Pemberdayaan Dalam Rangka Meningkatkan Kesejahteraan
Hidup Pengungsi Etnik Madura Asal Sambas di Kota Pontianak, Kalimantan Barat
(Empowerment Program Model to Increase The Welfare of Madurese Refugees from
sambas In Pontianak, West Kalimantan). Dalam penelitian ini ditemukan
bahwa pelaksanaan program pemberdayaan masyarakat pengungsi Etnik Madura asal
Sambas yang selama ini dilaksanakan oleh pemerintah setempat (aparat birokrasi)
tidak melibatkan partisipasi aktif seluruh masyarakat pengungsi secara luas
dalam setiap kegiatan program pemberdayaan. Padahal, pembangunan masyarakat
(dalam hal ini adalah pengungsi) adalah proses yang dirancang untuk menciptakan
kondisi sosial ekonomi yang lebih maju dan sehat bagi seluruh masyarakat
melalui partisipasi aktif mereka, serta berdasarkan kepercayaan yang penuh
terhadap prakarsa mereka sendiri. Jadi, pemerintah membuat program tanpa
meminta masukan dari pengungsi, hingga akhirnya program-program tersebut tidak
relevan bagi pengungsi.
Penelitian Sikwan ini secara tersirat
menunjukkan bahwa pada akhirnya pengungsi etnik Madura harus memutuskan sendiri hal-hal apa yang harus mereka
lakukan baik secara sosial maupun ekonomi untuk dapat kembali kepada kehidupan
yang normal. Bagi saya, hasil penelitian Sikwan ini menyiratkan bahwa dalam
berkomunikasi dan menjalin kembali hubungan dengan etnik lain,
khususnya Dayak dan Melayu, pengungsi Etnik Madura ternyata tidak dibimbing dan
dibina oleh aparat pemerintah sebagai pelaksana program pemberdayaan.
Etnik Madura bergerak atas prakarsa dan kemauan mereka sendiri, karena
program-program yang dilakukan pemerintah tidak mencakup bagaimana mereka dapat
kembali bersosialisasi dengan etnik lain.
Kastaisme,
Persoalan Pelik di Bali
Liburan semester. Gus Eka, seorang
lajang berkasta brahmana yang kuliah di Jawa, mengajak seorang temannya liburan
di rumahnya di Bali. Sebut saja nama temannya itu Andika, seorang asal Malang.
Di rumah Gus Eka, Andika dan Gus
Eka terlibat sebuah obrolan asyik dengan kedua orangtua Gus Eka, ditemani
suguhan kopi Bali. Andika yang kelelahan tidak kuasa melanjutkan obrolan itu,
kemudian permisi istirahat. Gus Eka masih asyik mengobrol dengan kedua
orangtuanya karena ia memang jarang pulang sejak kuliah di Jawa empat tahun
lalu.
Di tengah obrolan itu Gus Eka
dengan santai meminum kopi sisa Andika, karena kopinya sendiri sudah habis.
Betapa tercengangnya kedua orangtua Gus Eka melihat hal itu. Mata kedua orang
yang menginjak usia empat puluh lima itu membelalak tajam ke arah Gus Eka.
“Béh, nak suba biasa tiang kéné
di Jawa. Yén sing kéné, sing idup apa ben ngoyong di désan anak. Ngajeng
magibung krana sing ngelah pipis nak suba biasa,” kata Gus Eka kepada kedua
orangtuanya, sambil menyeruput lagi kopi sisa temannya untuk kedua kalinya.
Entahlah, kedua orangtua Gus Eka
bisa menerima alasan itu atau tidak. Barangkali mereka masih shock melihat
anaknya memakan carikan seorang Jawa, yang menurut mereka berkasta lebih
rendah.
Memang, dalam pola pikir kedua
orangtua Gus Eka, orang luar Bali itu punya kasta lebih rendah dibandingkan
kasta paling rendah yang ada di Bali. Mereka sering wanti-wanti menasihati Gus
Eka agar dalam mencari pasangan hidup nantinya bisa memilih.
“Eda ngalih kurenan nak beténan
(maksudnya yang berkasta lebih rendah – pen.), apa buin nak Jawa. Ajinin raga
gigis dadi nak Brahmana,” begitu nasihat mereka.
Kasta menjelma menjadi “doktrin”
kuat yang berhasil merambah begitu banyak ruang dalam kehidupan beberapa
(garisbawahi: beberapa!) orang Bali – dari zaman kemunculannya hingga kini.
“Doktrin” ini menguasai sasarannya (orang Bali) sehingga pada suatu titik
penguasaan ia berhasil menjadi “isme” yang berakar mulai dari wilayah abstrak
manusia – pikiran dan emosi – hingga ke wilayah perilaku keseharian yang
terindera.
Jika dihubungkan dengan konsep
yang konon mendasari dan menjadi struktur seragam desa-desa adat di Bali, yaitu
Tri Hita Karana, kasta bukan hanya telah menyentuh pawongan, namun juga
palemahan, dan bahkan parhyangan. Dalam tiga ranah konsep ini, kasta adalah
salah satu “mesin” konflik. Malahan, yang paling keras memunculkan berbagai
konflik justru pada tataran parhyangan, yang notabene merupakan ranah konsep
hubungan vertikal manusia dengan Tuhan.
Pandangan terhadap orang lain,
terutama orang berkasta bawah dan orang luar Bali, yang ditunjukkan kedua
orangtua Gus Eka pada ilustrasi di atas agaknya cukup jelas memberi contoh pada
tataran pawongan. Bahkan bukan rahasia umum lagi di Bali kalau kasta sering
kali menjelma jadi masalah yang pelik, diposisikan begitu urgen, sakral,
dikultuskan, elitis, sehingga menghalangi integrasi antarindividu.
Seorang petinggi daerah di Bali
yang berkasta Brahmana dikenal memberlakukan “sistem 2D” dalam perekrutan PNS.
Sistem yang tentu saja tak resmi dan nepotis ini mengutamakan orang yang “2D”,
yaitu Da Bagus (Ida Bagus) dan Dayu (Ida Ayu).
Pada tataran palemahan, pada
titik tertentu, kasta menghalangi – atau paling tidak melatarbelakangi pola
pikir dan laku yang menghalangi – integrasi antarkelompok sosial. Ada beberapa
kasus pemisahan atau perceraian atau pemecahan sebuah wilayah kelompok sosial
menjadi dua atau lebih wilayah kelompok yang dilatarbelakangi oleh perbedaan kasta
antarkelompok.
Perbedaan kasta antara kelompok
satu dengan yang lainnya melahirkan keyakinan dan paham yang berbeda pula di
antara mereka. Tidak ada lagi kemandirian pola pikir. Yang ada adalah
“kolektivitas sempit”, suryak siu. Lihatlah kasus Tusan, Klungkung, saat Nyepi
tahun 2007 kemarin.
Salah satu contoh konflik
berlatar kasta yang telah merambah tataran parhyangan adalah konfrontasi antara
konsep Tri Sadaka dan Sarwa Sadaka. Sebagaimana diketahui, konflik ini memuncak
menjelang pelaksanaan ritual Panca Wali Krama di Pura Besakih, Maret 1999. Dari
tulisan I Gde Pitana (2003), saya memperoleh informasi bahwa ini adalah masalah
tentang siapa yang seharusnya muput karya.
Sebelumnya, ritual-ritual di
Pura Besakih dipuput oleh Tri Sadaka, yaitu pandita dari Warga Brahmana Siwa
(Pedanda Siwa), pandita Warga Brahmana Bhoda (Pedanda Bhoda) serta pandita dari
Warga Bhujangga Waisnawa (Jero Gede). Sebuah proses panjang, alot, penuh intrik
dan politik akhirnya mencapai keputusan penggunaan Sarwa Sadaka, yaitu pandita
dari berbagai kelompok warga yang ada di Bali pada Panca Wali Krama Maret 1999
ini, “… walau dalam suasana tegang,” tulis Pitana.
Bayangkan! Sebuah ritual
keagamaan, sebuah peristiwa kudus penghadapan mahluk bernama manusia kepada
Sang Pencipta, dalam suasana yang tegang! Yang membuat ketegangan malah bukan
hal di luar lembaga ritual, seperti perang atau persengketaan antar warga,
namun justru elemen dalam lembaga agama sendiri.
Konflik antara dua kubu di atas,
pendukung Tri Sadaka di satu sisi dan pendukung Sarwa Sadaka di sisi lainnya,
mengetengahkan beberapa wacana serta argumen yang absurd. Pitana menyebut kasus
ini tidak lain adalah perang perebutan kekuasaan dan status. Tentu saja kuasa
dan status ini adalah dalam lingkup sosiokultural di Bali, namun dengan
menggunakan ranah parhyangan sebagai alatnya.
Sekali lagi, kasta di Bali
memang telah menjadi isme tersendiri yang spesifik. Masing-masing kasta di Bali
agaknya memiliki para penganut – bukan lagi sekadar pewarisan – yang fanatik,
layaknya fanatisme terhadap partai politik tertentu. Para penganut fanatis ini
bergerak dengan fundamentalisme pandangan terhadap kastanya.
Sejarah kemunculan kasta di
Bali, yang menurut beberapa sumber diawali pada masa dinasti Sri Kresna
Kepakisan, di mana kemudian ada pembedaan antara keturunan Sri Kresna
Kepakisan, Danghyang Nirartha dan Danghyang Aspataka dengan keturunan di luar
ketiganya, diapresiasi dengan pengkultusan terhadap sejarah itu.
Sebagaimana isme yang lain,
kasta juga punya pengaruh terhadap segi kehidupan lain, sehingga tidak menutup
kemungkinan dalam berbagai segi itu tertanam – atau sengaja ditanamkan –
berbagai kepentingan, baik yang bersifat individu maupun kelompok sempit. Dan
perlu dicatat, kepentingan di zaman mutakhir, sebagaimana terjadi dalam dunia
politik praktis, tidak jauh dari kuasa dan uang.
Kalau dirunut dari sejarah kasta
di Bali, kemunculannya memang tidak jauh dari itu semua: politik kekuasaan,
dengan perang sebagai salah satu aksi riilnya. Jadi sebenarnya tidak terlalu
mengherankan jika kondisi mutakhir konflik kasta di Bali menyajikan atmosfer
yang menegangkan semacam suasana dalam perang fisik
2.5 Jenis-jenis konflik
Menurut
James A.F. Stoner dan Charles Wankel dikenal ada empat jenis konflik yaitu
konflik intrapersonal, konflik interpersonal, konflik antar individu dan
kelompok, konflik antar kelompok dan konflik antar organisasi.,
1) Konflik Intrapersonal
Konflik intrapersonal adalah konflik seseorang dengan dirinya sendiri. Konflik terjadi bila pada waktu yang sama seseorang memiliki dua keinginan yang tidak mungkin dipenuhi sekaligus.
Sebagaimana diketahui bahwa dalam diri seseorang itu biasanya terdapat hal-hal sebagai berikut:
§ Sejumlah kebutuhan-kebutuhan dan peranan-peranan yang bersaing
§ Beraneka macam cara yang berbeda yang mendorong peranan-peranan dan kebutuhan-kebutuhan itu terlahirkan.
§ Banyaknya bentuk halangan-halangan yang bisa terjadi di antara dorongan dan tujuan
§ Terdapatnya baik aspek yang positif maupun negatif yang menghalangi tujuantujuan yang diinginkan.
Ada tiga macam bentuk konflik intrapersonal yaitu :
a) Konflik pendekatan-pendekatan, contohnya orang yang dihadapkan pada dua pilihan yang sama-sama menarik.
b) Konflik pendekatan – penghindaran, contohnya orang yang dihadapkan pada dua pilihan yang sama menyulitkan.
c) Konflik penghindaran-penghindaran, contohnya orang yang dihadapkan pada satu hal yang mempunyai nilai positif dan negatif sekaligus.
2) Konflik Interpersonal
Konflik Interpersonal adalah pertentangan antar seseorang dengan orang lain karena pertentengan kepentingan atau keinginan. Hal ini sering terjadi antara dua orang yang berbeda status, jabatan, bidang kerja dan lain-lain. Konflik interpersonal ini merupakan suatu dinamika yang amat penting dalam perilaku organisasi. Karena konflik semacam ini akan melibatkan beberapa peranan dari beberapa anggota organisasi yang tidak bisa tidak akan mempngaruhi proses pencapaian tujuan organisasi tersebut.
1) Konflik Intrapersonal
Konflik intrapersonal adalah konflik seseorang dengan dirinya sendiri. Konflik terjadi bila pada waktu yang sama seseorang memiliki dua keinginan yang tidak mungkin dipenuhi sekaligus.
Sebagaimana diketahui bahwa dalam diri seseorang itu biasanya terdapat hal-hal sebagai berikut:
§ Sejumlah kebutuhan-kebutuhan dan peranan-peranan yang bersaing
§ Beraneka macam cara yang berbeda yang mendorong peranan-peranan dan kebutuhan-kebutuhan itu terlahirkan.
§ Banyaknya bentuk halangan-halangan yang bisa terjadi di antara dorongan dan tujuan
§ Terdapatnya baik aspek yang positif maupun negatif yang menghalangi tujuantujuan yang diinginkan.
Ada tiga macam bentuk konflik intrapersonal yaitu :
a) Konflik pendekatan-pendekatan, contohnya orang yang dihadapkan pada dua pilihan yang sama-sama menarik.
b) Konflik pendekatan – penghindaran, contohnya orang yang dihadapkan pada dua pilihan yang sama menyulitkan.
c) Konflik penghindaran-penghindaran, contohnya orang yang dihadapkan pada satu hal yang mempunyai nilai positif dan negatif sekaligus.
2) Konflik Interpersonal
Konflik Interpersonal adalah pertentangan antar seseorang dengan orang lain karena pertentengan kepentingan atau keinginan. Hal ini sering terjadi antara dua orang yang berbeda status, jabatan, bidang kerja dan lain-lain. Konflik interpersonal ini merupakan suatu dinamika yang amat penting dalam perilaku organisasi. Karena konflik semacam ini akan melibatkan beberapa peranan dari beberapa anggota organisasi yang tidak bisa tidak akan mempngaruhi proses pencapaian tujuan organisasi tersebut.
3) Konflik antar individu-individu dan kelompok-kelompok
Hal ini seringkali berhubungan dengan cara individu menghadapi tekanan-tekanan untuk mencapai konformitas, yang ditekankan kepada mereka oleh kelompok kerja mereka. Sebagai contoh dapat dikatakan bahwa seseorang individu dapat dihukum oleh kelompok kerjanya karena ia tidak dapat mencapai norma-norma produktivitas kelompok dimana ia berada.
4) Konflik interorganisasi
Konflik intergrup merupakan hal yang tidak asing lagi bagi organisasi manapun, dan konflik ini meyebabkan sulitnya koordinasi dan integrasi dari kegiatan yang berkaitan dengan tugas-tugas dan pekerjaan. Dalam setiap kasus, hubungan integrup harus di
manage sebaik mungkin untuk mempertahankan kolaborasi dan menghindari semua konsekuensidisfungsional dari setiap konflik yang mungkin timbul.
Contoh seperti di bidang ekonomi dimana Amerika Serikat dan negara-negara lain dianggap sebagai bentuk konflik, dan konflik ini biasanya disebut dengan persaingan. Konflik ini berdasarkan pengalaman ternyata telah menyebabkan timbulnya pengembangan produk-produk baru, teknologi baru dan servis baru, harga lebih rendah dan pemanfaatan sumber daya secara lebih efisien.
- Konflik antara atau dalam peran sosial
(intrapribadi), misalnya antara peranan-peranan dalam keluarga atau
profesi (konflik peran (role))
- Konflik antara
kelompok-kelompok sosial (antar keluarga, antar gank).
- Konflik kelompok terorganisir
dan tidak terorganisir (polisi melawan massa).
- Koonflik antar satuan nasional
(kampanye, perang saudara)
- Konflik antar atau tidak antar
agama
- Konflik antar politik.
2.6
Faktor
penyebab konflik
Ada
beberapa factor yang menyebabkan terjadinya konflik, yaitu:
1. Perbedaan individu, yang meliputi
perbedaan pendirian dan perasaan. Setiap manusia adalah individu yang unik. Artinya, setiap orang memiliki
pendirian dan perasaan yang berbeda-beda satu dengan lainnya. Perbedaan
pendirian dan perasaan akan sesuatu hal atau lingkungan yang nyata ini dapat
menjadi faktor penyebab konflik sosial, sebab dalam menjalani hubungan sosial,
seseorang tidak selalu sejalan dengan kelompoknya. Misalnya, ketika berlangsung
pentas musik di lingkungan pemukiman, tentu perasaan setiap warganya akan
berbeda-beda. Ada yang merasa terganggu karena berisik, tetapi ada pula yang
merasa terhibur.
2. Perbedaan latar belakang kebudayaan
sehingga membentuk pribadi-pribadi yang berbeda. Seseorang sedikit banyak akan
terpengaruh dalam pola-pola pemikiran dan pendirian kelompoknya. Pemikiran dan
pendirian yang berbeda itu pada akhitnya akan menghasilkan perbedaan individu
yang dapat memicu konflik.
3. Perbedaan kepentingan antar individu
atau kelompok. Manusia memiliki perasaan, pendirian maupun latar belakang kebudayaan yang berbeda. Oleh sebab itu, dalam waktu yang bersamaan,
masing-masing orang atau kelompok memiliki kepentingan yang berbeda-beda.
Kadang-kadang orang dapat melakukan hal yang sama, tetapi untuk tujuan yang
berbeda-beda. Sebagai contoh, misalnya perbedaan kepentingan dalam hal
pemanfaatan hutan. Para tokoh masyarakat menanggap hutan sebagai kekayaan budaya yang menjadi bagian
dari kebudayaan mereka sehingga harus dijaga dan tidak boleh ditebang. Para petani menbang pohon-pohon karena dianggap
sebagai penghalang bagi mereka untuk membuat kebun atau ladang. Bagi para pengusaha kayu,
pohon-pohon ditebang dan kemudian kayunya diekspor guna mendapatkan uang dan
membuka pekerjaan. Sedangkan bagi pecinta lingkungan, hutan adalah bagian dari
lingkungan sehingga harus dilestarikan. Di sini jelas terlihat ada perbedaan
kepentingan antara satu kelompok dengan kelompok lainnya sehingga akan
mendatangkan konflik sosial di masyarakat. Konflik akibat perbedaan kepentingan
ini dapat pula menyangkut bidang politik, ekonomi, sosial, dan budaya. Begitu pula dapat terjadi antar kelompok atau
antara kelompok dengan individu, misalnya konflik antara kelompok buruh dengan
pengusaha yang terjadi karena perbedaan kepentingan di antara keduanya. Para
buruh menginginkan upah yang memadai, sedangkan pengusaha menginginkan
pendapatan yang besar untuk dinikmati sendiri dan memperbesar bidang serta
volume usaha mereka
4. Perubahan-perubahan nilai yang cepat
dan mendadak dalam masyarakat.
Perubahan adalah sesuatu yang lazim
dan wajar terjadi, tetapi jika perubahan itu berlangsung cepat atau bahkan
mendadak, perubahan tersebut dapat memicu terjadinya konflik sosial. Misalnya,
pada masyarakat pedesaan yang mengalami proses industrialisasi yang mendadak
akan memunculkan konflik sosial sebab nilai-nilai lama pada masyarakat
tradisional yang biasanya bercorak pertanian secara cepat berubah menjadi
nilai-nilai masyarakat industri. Nilai-nilai yang berubah itu seperti nilai
kegotongroyongan berganti menjadi nilai kontrak kerja dengan upah yang
disesuaikan menurut jenis pekerjaannya. Hubungan kekerabatan bergeser menjadi
hubungan struktural yang disusun dalam organisasi formal perusahaan. Nilai-nilai kebersamaan berubah menjadi individualis dan
nilai-nilai tentang pemanfaatan waktu yang cenderung tidak ketat berubah
menjadi pembagian waktu yang tegas seperti jadwal kerja dan istirahat dalam
dunia industri. Perubahan-perubahan ini, jika terjadi seara cepat atau
mendadak, akan membuat kegoncangan proses-proses sosial di masyarakat, bahkan
akan terjadi upaya penolakan terhadap semua bentuk perubahan karena dianggap
mengacaukan tatanan kehiodupan masyarakat yang telah ada.
2.7 Akibat dari konflik
Mendengar
kata konflik mungkin kita sebagai orang awam selalu menganggapnya sebagai pertengkaran,kericuhan
maupun hal-hal yang sifatnya cenderung mengarah ke arah yang negatif,namun
tidak hanya dari segi negative saja melainkan kita bisa melihan sisi positif
juga, inilah hal negatif dan positif yang dihasilkan dari sebuah konflik
:
- meningkatkan solidaritas sesama
anggota kelompok (ingroup) yang mengalami konflik dengan kelompok
lain.
- keretakan hubungan antar
kelompok yang bertikai.
- perubahan kepribadian pada
individu, misalnya timbulnya rasa dendam, benci, saling curiga dll.
- kerusakan harta benda dan
hilangnya jiwa manusia.
- dominasi bahkan penaklukan
salah satu pihak yang terlibat dalam konflik.
Para
pakar teori telah mengklaim bahwa pihak-pihak yang berkonflik dapat
memghasilkan respon terhadap konflik menurut sebuah skema dua-dimensi;
pengertian terhadap hasil tujuan kita dan pengertian terhadap hasil tujuan
pihak lainnya. Skema ini akan menghasilkan hipotesa sebagai berikut:
- Pengertian yang tinggi untuk
hasil kedua belah pihak akan menghasilkan percobaan untuk mencari jalan
keluar yang terbaik.
- Pengertian yang tinggi untuk
hasil kita sendiri hanya akan menghasilkan percobaan untuk
"memenangkan" konflik.
- Pengertian yang tinggi untuk
hasil pihak lain hanya akan menghasilkan percobaan yang memberikan
"kemenangan" konflik bagi pihak tersebut.
- Tiada pengertian untuk kedua
belah pihak akan menghasilkan percobaan untuk menghindari konflik.
2.8
Cara
mencegah konflik
Konflik
bisa dialami siapa saja, baik oleh orang dewasa maupun remaja. Pada usia remaja
konflik akan sering terjadi karena secara emosi mereka bisa dibilang belum
stabil. Oleh sebab itu konflik sering dialami para remaja. Berikut beberapa
kiat untuk mengatasi konflik yang sering dialami individu, yaitu :
1.Tetap percaya
Tetap percaya pada seseorang yang mempunyai masalah dengan kita. Dalam suatu hubungan tidak selalu berjalan mulus, untuk itu kita tetap percaya bahwa masing-masing bisa menjaga hubungan agar harmonis.
2.Bicara dari hati kehati
Ketika sedang menghadapi konflik dengan seseorang usahakan agar kamu bisa membicarakannya dengan baik yaitu dari hati ke hati, dengan demikian anda akan mengerti apa yang sebenarnya teman anda inginkan.
3.Curhat yang benar
Curhat memang perlu tapi hati-hati jika curhat dilakukan dalam suasana yang tidak tepat maka itu malah akan menjadi boomerang bagi kalian.
4.Cari tempat yang enak
Untuk menyelesaikan pertentangan yang sedang kamu hadapi dalam membicarakan perlu melihat lingkungan apakah mendukung untuk kamu dapat membicarakannya.
5.Kenang hal-hal yang lucu yang pernah kamu alami dengan temanmu tersebut
6.Beri maaf
Hal-hal yang paling penting adalah memberi maaf pada teman kamu yang sedang bermasalah dengan kamu, sehingga ketika kamu saling memaafkan maka konflik yang
sedang terjadi bisa diatasi.
7.Introspeksi diri
Jangan langsung menyalahkan teman kamu yang menyebabkan konflik terjadi tersebut tetapi usahakan bahwa kamu juga bisa mengoreksi diri siapa tahu kamu yang salah.
8.Jalin komunikasi
Komunikasi sangat diperlukan sehingga kamu akan saling mengerti keinginan masing-masing.
1.Tetap percaya
Tetap percaya pada seseorang yang mempunyai masalah dengan kita. Dalam suatu hubungan tidak selalu berjalan mulus, untuk itu kita tetap percaya bahwa masing-masing bisa menjaga hubungan agar harmonis.
2.Bicara dari hati kehati
Ketika sedang menghadapi konflik dengan seseorang usahakan agar kamu bisa membicarakannya dengan baik yaitu dari hati ke hati, dengan demikian anda akan mengerti apa yang sebenarnya teman anda inginkan.
3.Curhat yang benar
Curhat memang perlu tapi hati-hati jika curhat dilakukan dalam suasana yang tidak tepat maka itu malah akan menjadi boomerang bagi kalian.
4.Cari tempat yang enak
Untuk menyelesaikan pertentangan yang sedang kamu hadapi dalam membicarakan perlu melihat lingkungan apakah mendukung untuk kamu dapat membicarakannya.
5.Kenang hal-hal yang lucu yang pernah kamu alami dengan temanmu tersebut
6.Beri maaf
Hal-hal yang paling penting adalah memberi maaf pada teman kamu yang sedang bermasalah dengan kamu, sehingga ketika kamu saling memaafkan maka konflik yang
sedang terjadi bisa diatasi.
7.Introspeksi diri
Jangan langsung menyalahkan teman kamu yang menyebabkan konflik terjadi tersebut tetapi usahakan bahwa kamu juga bisa mengoreksi diri siapa tahu kamu yang salah.
8.Jalin komunikasi
Komunikasi sangat diperlukan sehingga kamu akan saling mengerti keinginan masing-masing.
Bertengkar dengan teman adalah hal yang wajar tetapi yang penting adalah bagaimana kamu dapat menyelesaikannya dengan baik.
Adapun cara lain untuk mencegah terjadinya konflik yaitu:
1. Terjemahkan apa yang
sebenarnya Anda inginkan
Saat perdebatan dengan teman, kakak, rekan kerja, atau siapapun, dan suasana makin panas, Anda akan mudah sekali terbawa emosi. Bukan saat yang tepat untuk bernegosiasi untuk mencari solusi bersama. Berhentilah untuk selalu berusaha memecahkan segala macam persoalan. Hentikan perdebatan, lalu mulai tuliskan perasaan Anda, atau cari teman yang dipercaya untuk mendengarkan masalah Anda. Intinya, cara ini membantu Anda memikirkan hasil atau solusi yang paling tepat. Mengambil keputusan saat pikiran dikuasai amarah hanya akan membuat Anda mencari-cari alasan pembenaran dan menyalahkan orang lain.
2. Kumpulkan sebanyak mungkin informasi
Ketika Anda sudah mengontrol pikiran Anda dengan lebih tenang, Anda akan lebih mudah menghadapi orang lain. Jangan sekali-kali berasumsi bahwa Anda tahu betul sumber masalahnya berdasarkan apa yang dikatakan atau dipikirkan orang lain. Cari tahu sumber masalah dengan mengumpulkan sebanyak mungkin data dan fakta sebelum mulai membicarakan solusi. Misalkan, pasangan Anda kesal karena tagihan membludak akibat belanja keperluan rumah tangga. Daripada membalas dengan bentakan dan amarah, lebih baik tanyakan apa yang membuat ia kesal dengan anggaran yang sudah Anda buat. Apakah menurutnya Anda belanja lebih banyak darinya? Apakah Anda harus melakukan pengurangan, atau memang penggunaan uang harus diperketat? Lakukan riset kecil-kecilan, bandingkan dengan pengeluaran rumah tangga pada umumnya (dengan standar tertentu), lalu diskusikan perbandingan tersebut dengan keluhan suami. Berusaha memahami posisi orang lain (lawan bicara) akan memudahkan Anda untuk mencari solusi bersama.
3. Tetapkan bentuk proses negosiasi
Jika pikiran sudah tenang dan terkontrol, tentukan kepada siapa Anda ingin bicara dan menegosiasikan masalah, kapan dan dimana tempat yang paling tepat. Persiapan ini penting untuk menciptakan kenyamanan bagi kedua belah pihak yang berseteru. Siapkan juga alur pembicaraan dan agendanya, sepakati bersama siapa yang memulai pembicaraan. Siapkan waktu khusus untuk menyelesaikan masalah. Hal ini untuk menunjukkan itikad baik Anda.
4. Sampaikan pesan yang tepat
Mulailah berdiskusi untuk mencari solusi dengan memunculkan sejumlah saran dan ide. Tunjukkan bahwa Anda mempunyai niat serius untuk memperbaiki keadaan. Katakan juga bahwa niat baik ini adalah untuk mencari solusi yang bisa disepakati dan dijalankan untuk kebaikan bersama. Tak cukup hanya dengan ucapan, Anda juga harus menyelesaikan masalah dengan menunjukkan perilaku yang mendukung ke arah positif. Sikap tubuh yang keliru, yang menunjukkan emosi, bisa memperkeruh suasana.
5. Negosiasi
Saat Anda memulai bernegosiasi untuk mencari solusi, kontrol diri Anda. Jangan memotong pembicaraan; bicaralah saat sudah giliran Anda. Respons pernyataan lawan bicara dengan tenang. Tarik nafas, dan berikan jeda beberapa detik untuk menjawabnya. Kontrol diri sangat penting agar solusi bisa ditemukan dengan pikiran yang tenang dan bukan emosi.
Saat perdebatan dengan teman, kakak, rekan kerja, atau siapapun, dan suasana makin panas, Anda akan mudah sekali terbawa emosi. Bukan saat yang tepat untuk bernegosiasi untuk mencari solusi bersama. Berhentilah untuk selalu berusaha memecahkan segala macam persoalan. Hentikan perdebatan, lalu mulai tuliskan perasaan Anda, atau cari teman yang dipercaya untuk mendengarkan masalah Anda. Intinya, cara ini membantu Anda memikirkan hasil atau solusi yang paling tepat. Mengambil keputusan saat pikiran dikuasai amarah hanya akan membuat Anda mencari-cari alasan pembenaran dan menyalahkan orang lain.
2. Kumpulkan sebanyak mungkin informasi
Ketika Anda sudah mengontrol pikiran Anda dengan lebih tenang, Anda akan lebih mudah menghadapi orang lain. Jangan sekali-kali berasumsi bahwa Anda tahu betul sumber masalahnya berdasarkan apa yang dikatakan atau dipikirkan orang lain. Cari tahu sumber masalah dengan mengumpulkan sebanyak mungkin data dan fakta sebelum mulai membicarakan solusi. Misalkan, pasangan Anda kesal karena tagihan membludak akibat belanja keperluan rumah tangga. Daripada membalas dengan bentakan dan amarah, lebih baik tanyakan apa yang membuat ia kesal dengan anggaran yang sudah Anda buat. Apakah menurutnya Anda belanja lebih banyak darinya? Apakah Anda harus melakukan pengurangan, atau memang penggunaan uang harus diperketat? Lakukan riset kecil-kecilan, bandingkan dengan pengeluaran rumah tangga pada umumnya (dengan standar tertentu), lalu diskusikan perbandingan tersebut dengan keluhan suami. Berusaha memahami posisi orang lain (lawan bicara) akan memudahkan Anda untuk mencari solusi bersama.
3. Tetapkan bentuk proses negosiasi
Jika pikiran sudah tenang dan terkontrol, tentukan kepada siapa Anda ingin bicara dan menegosiasikan masalah, kapan dan dimana tempat yang paling tepat. Persiapan ini penting untuk menciptakan kenyamanan bagi kedua belah pihak yang berseteru. Siapkan juga alur pembicaraan dan agendanya, sepakati bersama siapa yang memulai pembicaraan. Siapkan waktu khusus untuk menyelesaikan masalah. Hal ini untuk menunjukkan itikad baik Anda.
4. Sampaikan pesan yang tepat
Mulailah berdiskusi untuk mencari solusi dengan memunculkan sejumlah saran dan ide. Tunjukkan bahwa Anda mempunyai niat serius untuk memperbaiki keadaan. Katakan juga bahwa niat baik ini adalah untuk mencari solusi yang bisa disepakati dan dijalankan untuk kebaikan bersama. Tak cukup hanya dengan ucapan, Anda juga harus menyelesaikan masalah dengan menunjukkan perilaku yang mendukung ke arah positif. Sikap tubuh yang keliru, yang menunjukkan emosi, bisa memperkeruh suasana.
5. Negosiasi
Saat Anda memulai bernegosiasi untuk mencari solusi, kontrol diri Anda. Jangan memotong pembicaraan; bicaralah saat sudah giliran Anda. Respons pernyataan lawan bicara dengan tenang. Tarik nafas, dan berikan jeda beberapa detik untuk menjawabnya. Kontrol diri sangat penting agar solusi bisa ditemukan dengan pikiran yang tenang dan bukan emosi.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Adapun kesimpulan yang didapat dari
pembahasan dalam makalan ini adalah sebagai berikut:
1. Konflik
diartikan sebagai suatu proses social antar dua orang atau lebih (bisa juga
kelompok) dimana salah satu pihak menyingkirkan pihak lain dengan
menghancurkanya atau membuatnya tidak berdaya.
2. Menurut
beberapa para ahli Konflik terjadi karena adanya interaksi yang disebut
komunikasi dan Konflik tidak selamanya berkonotasi buruk, tapi bisa menjadi
sumber pengalaman positif.
3. Pendekatan
konflik, bukan kepentingan di dalam yang bersifat subyektif sebagaimana
dirasakan oleh orang-orang, melaikan kepentingan yang secara onyektif melekat
dalam kedudukan social tertentu. Karena kepentingan yang demikian tidak selalu
disadari adanya, maka disebut sebagai kepentingan-kepentingan yang bersifat
laten, sementara mereka yang memilikinya disebut sebagai kelompok semu.
4. Banyak
konflik-konflik yang terjadi di Indonesia bahkan diluar negeripun konflik
sering terjadi, sehingga kita bisa bercermin dari konflik-konflik yang sudah
terjadi tersebut agar di Negara kita pada umumnya dan di wilayah kita khususnya
agar konflik tidak terjadi.
5. Ada
beberapa jenis konflik yaitu konflik intrapersonal, konflik interpersonal,
konflik antar individu dan kelompok, konflik antar kelompok dan konflik antar
organisasi.
6. Factor
penyebab konflik adalah Perbedaan individu, yang meliputi perbedaan pendirian
dan perasaan, Perbedaan latar belakang kebudayaan sehingga membentuk
pribadi-pribadi yang berbeda, Perbedaan kepentingan antar individu atau
kelompok, Perubahan-perubahan nilai yang cepat dan mendadak dalam masyarakat.
7. Akibat
dari konflik adalah keretakan hubungan antar kelompok, kerusakan harta benda ,
hilangnya jiwa manusia dan lain-lain.
8. Cara
mencegah konflik adalah terjemahkan apa yang sebenarnya anda inginkan,
kumpulkan sebanyak mungkin informasi, tetapkan pentuk proses negosiasi,
sampaikan pesan yang tepat dan negosiasi.
DAFTAR
PUSTAKA
ü WWW.GOOGLE.COM
0 komentar:
Post a Comment