Wednesday, 20 May 2015

BAB 1
BAB I
PENDAHULUAN

1.1  Latar Belakang
Pembesaran prostat benigna atau lebih dikenal sebagai BPH sering diketemukan pada pria yang menapak usia lanjut. Istilah BPH atau benign prostatic hyperplasia sebenarnya merupakan istilah histopatologis, yaitu terdapat hiperplasia sel-sel stroma dan sel-sel epitel kelenjar prostat. Hiperplasia prostat benigna ini dapat dialami oleh sekitar 70% pria di atas usia 60 tahun. Angka ini akan meningkat hingga 90% pada pria berusia diatas 80 tahun.
Keluhan yang disampaikan oleh pasien BPH seringkali berupa LUTS (lower urinary tract symptoms) yang terdiri atas gejala obstruksi (voiding symptoms) maupun iritasi (storage symptoms) yang meliputi: frekuensi miksi meningkat, urgensi, nokturia, pancaran miksi lemah dan sering terputus-putus (intermitensi), dan merasa tidak puas sehabis miksi, dan tahap selanjutnya terjadi retensi urine. Hubungan antara BPH dengan LUTS sangat kompleks. Tidak semua pasien BPH mengeluhkan gangguan miksi dan sebaliknya tidak semua keluhan miksi disebabkan oleh BPH.
1
 
Beranekaragamnya penyebab dan bervariasinya gejala penyakit, sering menimbulkan kesulitan dalam penatalaksanaan BPH, sehingga pengobatan yang diberikan kadang-kadang tidak tepat sesuai dengan etiologinya. Terapi yang tidak tepat bisa mengakibatkan terjadinya BPH berkepanjangan. Kurangnya kesadaran dan pengetahuan masyarakat juga dapat meningkatkan resiko terjadinya penyakit ini.
Office of Health Economic Inggris telah mengeluarkan proyeksi prevalensi BPH bergejala di Inggris dan Wales beberapa tahun ke depan. Pasien BPH bergejala yang berjumlah sekitar 80.000 pada tahun 1991, diperkirakan akan meningkat menjadi satu setengah kalinya pada tahun 2031 (IAUI, 2008).
Insiden yang pasti dari pembesaran prostat jinak di Indonesia belum pernah diteliti. Tetapi, sebagai gambaran hospital prevalence, di RS Cipto Mangunkusumo ditemukan 423 kasus pembesaran prostat jinak yang dirawat selama tiga tahun (1994-1997) dan di RS Sumber Waras sebanyak 617 kasus dalam periode yang sama (Birowo, Ponco, 2004).
Di RSD Dr. Haryoto sendiri pada tahun 2012 terdapat 72 penderita, terbanyak berumur 60-70 tahun atau sebanyak 45 persen dari jumlah penderita BPH tahun 2012.
Penyebab BPH belum diketahui secara pasti, tetapi sampai saat ini berhubungan dengan proses penuaan yang mengakibatkan penurunan kadar hormon pria, terutama testosteron. Hormon Testosteron dalam kelenjar prostat akan diubah menjadi Dehidrotestosteron (DHT). DHT inilah yang kemudian secara kronis merangsang kelenjar prostat sehingga membesar. Pembentukan nodul pembesaran prostat ini sudah mulai tampak pada usia 25 tahun pada sekitar 25 persen. Pada usia 60 tahun nodul pembesaran prostat tersebut terlihat pada sekitar 60 persen, tetapi gejala baru dikeluhkan pada sekitar 30-40 persen, sedangkan pada usia 80 tahun nodul terlihat pada 90 persen yang sekitar 50 persen di antaranya sudah mulai memberikan gejala-gejalanya.
Faktor lain yang mempengaruhi BPH adalah latar belakang kondisi penderita misalnya usia, riwayat keluarga, obesitas, meningkatnya kadar kolesterol darah, pola makan tinggi lemak hewani, olah raga, merokok, minuman beralkohol, penyakit Diabetes Mellitus, dan aktifitas seksual (Amalia, Rizki, 2007).
Penderita yang mengalami BPH biasanya mengalami hambatan pada saluran air seni atau uretra di dekat pintu masuk kandung kemih seolah-olah tercekik, karena itu secara otomatis pengeluaran air seni terganggu. Penderita sering kencing, terutama pada malam hari, bahkan ada kalanya tidak dapat ditahan. Bila jepitan pada uretra meningkat, keluarnya air seni akan makin sulit dan pancaran air seni melemah, bahkan dapat mendadak berhenti. Akibatnya, timbul rasa nyeri hebat pada perut. Keadaan ini selanjutnya dapat menimbulkan infeksi pada kandung kemih. Kalau sudah terjadi infeksi, aliran air seni berhenti, untuk mengeluarkan air kencing harus menggunakan kateter, yang akibatnya penderita akan mengalami rasa sakit. Jika lebih parah lagi maka dilakukan pemotongan pada kelenjar prostat.
Komplikasi yang mungkin terjadi pada penderita BPH yang dibiarkan tanpa pengobatan adalah pertama, trabekulasi, yaitu terjadi penebalan serat-serat detrusor akibat tekanan intra vesika yang selalu tinggi akibat obstruksi. Kedua, sakulasi, yaitu mukosa buli-buli menerobos di antara serat-serat detrusor. Ketiga, divertikel, bila sakulasi menjadi besar. Komplikasi lain adalah pembentukan batu vesika akibat selalu terdapat sisa urin setelah buang air kecil, sehingga terjadi pengendapan batu. Bila tekanan intra vesika yang selalu tinggi tersebut diteruskan ke ureter dan ginjal, akan terjadi hidroureter dan hidronefrosis yang akan mengakibatkan penurunan fungsi ginjal.
Tahap akhir adalah tahap dekompensasi detrusor yang berakibat buli-buli tidak dapat mengosongkan diri sehingga terjadi retensi urin total. Apabila tidak segera ditolong, akan terjadi overflow incontinence (Amalia, Rizki, 2007).
Pada penderita pembesaran prostat jinak, jika gejalanya masih ringan maka biasanya cukup diobservasi saja. Penderita dinasehatkan  untuk mengurangi minum pada malam hari, hal ini untuk mengurangi nokturia, menghindari obat-obatan dekongestan (parasimpatolitik), mengurangi kopi dan tidak minum-minuman beralkohol agar tidak telalu sering kencing (IAUI, 2008).
Prioritas keperawatan pada klien dengan BPH adalah menghilangkan retensi urine akut, meningkatkan kenyamanan, mencegah komplikasi, membantu pasien untuk menerima masalah psikososial, dan memberikan informasi tentang penyakit/prognosis dan kebutuhan pengobatan (Doenges, E. Marilynn, 2002).
Terjadinya BPH berkaitan erat dengan faktor risiko penderita, makin banyak faktor risiko yang dipunyai makin tinggi kejadian BPH. Peran perawat pada klien meliputi aspek promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif. Secara promotif perawat dapat memberikan penjelasan pada klien tentang penyakit BPH mulai dari penyebab sampai dengan komplikasi yang akan terjadi bila tidak segera ditangani. Kemudian pada aspek preventif perawat memberikan penjelasan bagaimana cara penyebaran penyakit BPH, misalnya cara pembesaran prostat akan menyebabkan obstruksi uretra. Secara kuratif perawat berperan memberikan obat-obatan sebagai tindakan kolaborasi dengan tim dokter. Aspek rehabilitatif meliputi peran perawat dalam memperkenalkan pada anggota  keluarga cara merawat klien dengan BPH dirumah, serta memberikan penyuluhan tentang pentingnya cara berkemih.
Dari fenomena di atas penulis tertarik mengambil judul tentang “Asuhan Keperawatan pada Klien dengan BPH di Ruang Kenanga RSD dr. Haryoto Lumajang”.
1.2  Rumusan Masalah
Bagaimana pelaksanaan asuhan keperawatan pada Tn. Z dengan BPH di Ruang Kenanga RSD dr. Haryoto Lumajang tahun 2013?
1.3  Tujuan Penelitian
1.3.1        Tujuan Umum
Mengidentifikasi asuhan keperawatan pada Tn. Z dengan BPH di Ruang Kenanga RSD dr. Haryoto Lumajang tahun 2013.
1.3.2        Tujuan Khusus
1.3.2.1  Melakukan pengkajian pada Tn. Z dengan BPH di Ruang Kenanga RSD dr. Haryoto Lumajang tahun 2013.
1.3.2.2  Merumuskan diagnosa pada Tn. Z dengan BPH di Ruang Kenanga RSD dr. Haryoto Lumajang tahun 2013.
1.3.2.3  Menyusun intervensi pada Tn. Z dengan BPH di Ruang Kenanga RSD dr. Haryoto Lumajang tahun 2013.
1.3.2.4  Implementasikan rencana pada Tn. Z dengan BPH di Ruang Kenanga RSD dr. Haryoto Lumajang tahun 2013.
1.3.2.5  Mengidentifikasi evaluasi pada Tn. Z dengan BPH di Ruang Kenanga RSD dr. Haryoto Lumajang tahun 2013.



1.4  Manfaat Penelitian
1.4.1        Bagi peneliti
Dari hasil dan proses penelitian diharapkan dapat memberikan pengalaman langsung dalam melakukan asuhan keperawatan pada klien dengan BPH di Ruang Kenanga RSD dr. Haryoto Lumajang.
1.4.2        Bagi instansi terkait
Dari hasil penelitian diharapkan dapat menjadi tambahan informasi kepada instansi yang bergerak dibidang kesehatan lain.
1.4.3        Bagi pendidikan
Untuk memberikan data dan informasi pada peneliti lain dan dari hasil penelitian diharapkan dapat menjadi data untuk penelitian lebih lanjut.
1.4.4        Bagi responden
Dari hasil penelitian diharapkan dapat menambah pengetahuan dan informasi, khususnya dalam perawatan pasien dengan BPH.
1.5  Metode dan teknik pengumpulan data
Dalam penyusunan karya tulis ini penulis menggunakan metode diskriptif dengan tipe pendekatan studi kasus. Untuk mendapat gambaran secara jelas dan terperinci mengenai perawatan terhadap klien dengan BPH pada saat ini berdasarkan fakta yang ada, sedangkan untuk mengumpulkan data, penulis menggunakan teknik :
1.5.1        Wawancara
Metode ini dilakukan dengan menanyakan atau tanya jawab yang berkaitan dengan masalah yang dihadapi oleh klien. Wawancara dapat dilakukan pada klien, keluarga atau tenaga kesehatan lain. Ini bertujuan untuk memperoleh data tentang masalah kesehatan dan keperawatan klien, serta untuk menjalin hubungan antara perawat dengan klien.
1.5.2        Observasi
Metode ini dilakukan dengan mengamati perilaku dan keadaan klien untuk memperoleh data tentang masalah kesehatan dan keperawatan klien. Observasi dilakukan dengan melihat, rabaan, sentuhan dan pendengaran. Ini bertujuan untuk mengumpulkan data tentang masalah yang dihadapi klien melalui alat panca indra.
1.5.3        Dokumenter
Metode dokumenter diperoleh dari catatan-catatan atau laporan tim kesehatan lain, laboratorium, konsultasi, dan pemeriksaan lain yang dapat menunjang masalah kesehatan dan keperawatan klien.

 
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1  Konsep Penyakit
2.1.1        Pengertian
Hipertrofi prostat jinak (benign prostatic hypertrophy, BPH) merupakan kondisi yang belum diketahui penyebabnya, ditandai oleh meningkatnya ukuran zona dalam (kelenjar periuretra) dari kelenjar prostat (Grace, Pierce A, dkk, 2007).
Hiperplasia Prostat Benigna adalah pembesaran progresif dari kelenjar prostat (secara umum pada pria lebih tua dari 50 tahun) menyebabkan berbagai derajat obstruksi uretral dan pembatasan aliran urinarius (Doenges, E. Marilynn, 2002).
2.1.2        Etiologi
Etiologi BPH belum jelas namun terdapat faktor risiko umur dan beberapa hormon androgen. Perubahan mikroskopik pada prostat telah terjadi pada pria usia 30-40 tahun. Bila perubahan mikroskopik ini berkembang, akan terjadi perubahan patologik anatomi yang ada pria usia 50 tahun angka kejadiannya sekitar 50%, usia 80 tahun sekitar 80%, dan usia 90 tahun 100% (Mansjoer, A, 2000).
Faktor resiko terjadinya BPH:
1.        Usia
8
 
Beberapa penelitian telah menunjukkan hubungan antara usia dan tanda pengembangan BPH.

2.        Kerentanan genetik
Riwayat keluarga positif BPH meningkatkan risiko lebih besar terjadinya gejala LUTS. Selain itu, penelitian lain menunjukkan bahwa faktor keturunan adalah faktor penentu yang lebih penting selain dari usia.
3.        Ras
Pria kulit hitam lebih mungkin dibandingkan orang kulit putih untuk memiliki resiko terjadinya gejala LUTS. Sebaliknya, pria Asia memiliki resiko lebih kecil untuk menderita BPH.
4.        Tingkat PSA
Tingkat PSA yang tinggi dapat meningkatkan resiko BPH.
5.        Penyakit jantung
Penyakit jantung juga dapat meningkatkan resiko terjadinya BPH.
6.        Aktifitas fisik
Kurangnya aktivitas fisik dapat meningkatkan resiko BPH.
7.        Peradangan prostat
Penelitian epidemiologi menunjukkan terdapat hubungan yang erat antara prostatitis dengan BPH.
8.        Pengobatan
Penggunaan obat-obatan β-bloker dapat meningkatkan terjadinya penyakit BPH.
9.        Faktor lain
Kondisi seperti hiperinsulin, dislipidemia, tekanan darah tinggi dan kegemukan telah diidentifikasi sebagai faktor terjadinya BPH.
(Sinclair, Alan, 2008)
2.1.3        Patogenesis
2.1.3.1  Teori dehidrotestosteron (DHT)
Telah disepakati bahwa aksis hipofisis testis dan reduksi testosteron menjadi dehidrotestosteron (DHT) dalam sel prostat menjadi faktor terjadinya penetrasi DHT ke dalam inti sel yang dapat menyebabkan inskripsi pada RNA sehingga menyebabkan terjadinya sintesis protein. Proses reduksi ini difasilitasi oleh enzim 5-α-reduktase.
2.1.3.2  Teori hormon
Estrogen berperan pada insiasi dan maintenance pada prostat manusia.
2.1.3.3  Faktor interaksi stroma dan epitel
Hal ini banyak dipengaruhi oleh growth factor. Basic Fibroblast Growth Factor (b-FGF) dapat menstimulasi sel stroma dan ditemukan dengan konsentrasi yang lebih besar pada pasien dengan pembesaran prostat jinak. b-FGF dapat dicetuskan oleh mikrotrauma karena miksi, ejakulasi atau infeksi.
2.1.3.4  Teori kebangkitan kembali (reawakening)
Atau reinduksi dari kemampuan mesenkim sinus urogenital untuk berproliferasi dan membentuk jaringan prostat (Mansjoer, A, 2000).
2.1.4        Patofisiologi
Proses pembesaran prostat terjadi perlahan-lahan sehingga perubahan pada saluran kemih juga terjadi secara perlahan-lahan.
Pada tahap awal setelah terjadi pembesaran prostat, resistensi pada leher buli-buli dan daerah prostat meningkat, serta otot detrusor menebal dan merenggang sehingga timbul sakulasi atau divertikel. Fase penebalan detrusor ini disebut fase kompensasi. Apabila keadaan berlanjut, maka detrusor menjadi lelah dan akhirnya mengalami dekompensasi dan tidak mampu lagi untuk berkontraksi sehingga terjadi retensio urin yang selanjutnya dapat menyebabkan hidronefrosis dan disfungsi saluran kemih atas.
Adapun patofisiologi dari masing-masing gejala adalah :
1)        Penurunan kekuatan dan kaliber aliran yang disebabkan resistensi uretra adalah gambaran awal dan menetap dari BPH.
2)        Hesitancy terjadi karena detrusor membutuhkan waktu yang lama untuk dapat melawan resistensi vena.
3)        Intermittency terjadi karena detrusor tidak dapat mengatasi resistensi uretra sampai akhir miksi. Terminal dribling dan rasa belum puas sehabis miksi terjadi karena jumlah residu urin yang banyak dalam buli-buli.
4)        Nokturia dan frekuensi terjadi karena pengosongan yang tidak lengkap pada tiap miksi sehingga interval antar miksi lebih pendek.
5)        Frekuensi terutama terjadi pada malam hari (nokturia) karena hambatan normal dan korteks berkurang dan tonus sfingter dan uretra berkurang selama tidur.
6)        Urgensi dan disuria jarang terjadi, jika ada di sebabkan oleh ketidak stabilan detrusor sehingga terjadi kontraksi involunter.
7)        Inkontinensia bukan gejala yang khas, walaupun dengan berkembangannya penyakit urin keluar sedikit-sedikit secara berkala karena setelah buli-buli mencapai compliance maksimum, tekanan dalam buli-buli akan cepat naik melebihi tekanan sfingter (Mansjoer, A, 2000). Biasanya gejala-gejala pembesaran prostat jinak, dikenal sebagai Lower Urinary Tract Symptoms (LUTS) dibedakan menjadi gejala iritatif dan obstruktif.
Gejala iritatif yaitu sering miksi (frekuensi), terbangun untuk miksi pada malam hari (nokturia), perasaan ingin miksi yang sangat mendesak (urgensi), dan nyeri pada saat miksi (disuria). Sedangkan gejala obstruktif adalah pancaran melemah, rasa tidak lampias sehabis miksi, kalau mau miksi harus menunggu lama (hesitancy), harus mengedan (straining), kencing terputus-putus (intermittency), dan waktu miksi memanjang yang akhirnya menjadi retensio urin dan inkontinen karena overflow.
Keluhan ini biasanya disusun dalam bentuk skor simtom. Terdapat beberapa jenis klasifikasi yang dapat digunakan untuk membantu diagnosis dan menentukan tingkat beratnya penyakit, di antaranya adalah skor internasional gejala-gejala prostat WHO (International Prostate Symptom Score, IPSS) dan skor Madsen Iversen (Mansjoer, A, 2000).
Tabel 2.1. Skor Madsen-Iversen dalam bahasa Indonesia
Pertanyaan
0
1
2
3
4
Pancaran
Normal
Berubah-ubah

Lemah
Menetes
Mengedan pada saat berkemih
Tidak

Ya


Harus menunggu saat akan kencing
Tidak


Ya

Buang air kecil terputus-putus
Tidak


Ya

Kencing tidak lampias
Tidak tahu
Berubah-ubah
Tidak lampias
1 kali retensi
> 1 kali retensi
Inkontinensia


Ya


Kencing sulit ditunda
Tidak ada
Ringan
Sedang
Berat

Kencing malam hari
0-1
2
3-4
> 4

Kencing siang hari
> 3 jam sekali
Setiap 2-3 jam sekali
Setiap 1-2 jam sekali
< 1 jam sekali


Tabel 2.2. Skor Internasional gejala-gejala prostat WHO (International Prostate Symptom Score, IPSS)
Pertanyaan
Jawaban dan skor
Keluhan pada bulan terakhir
Tidak sama sekali
<1 sampai 5 kali
>5 sampai <15 kali
15 kali
Lebih dari 15 kali
Hampir selalu
Adakah anda merasa buli-buli tidak kosong setelah buang air kecil
0
1
2
3
4
5
Berapa kali anda hendak buang air kecil lagi dalam waktu 2 jam setelah buang air kecil
0
1
2
3
4
5
Berapa kali terjadi air kencing berhenti sewaktu buang air kecil
0
1
2
3
4
5
Berapa kali anda tidak dapat menahan keinginan buang air kecil
0
1
2
3
4
5
Berapa kali arus air seni lemah sekali sewaktu buang air kecil
0
1
2
3
4
5
Berapa kali terjadi anda mengalami kesulitan memulai buang air kecil (harus mengejan)
0
1
2
3
4
5
Berapa kali anda bangun untuk buang air kecil di waktu malam
0
1x
2x
3x
4x
5x
Andaikata hal yang anda alami sekarang akan tetap berlangsung seumur hidup, bagaimana perasaan anda
Sangat senang
Cukup senang
Biasa saja
Agak tidak senang
Tidak menyenangkan
Sangat tidak menyenangkan
Jumlah nilai :
0 = baik sekali
1 = baik
2 = kurang baik
3 = kurang
4 = buruk
5 = buruk sekali

Keadaan pasien BPH dapat digolongkan berdasarkan skor yang diperoleh adalah sebagai berikut:
Skor 0-7          : bergejala ringan
Skor 8-19        : bergejala sedang
Skor 20-35      : bergejala berat
Derajat berat BPH menurut Sjamsuhidajat (2005) dibedakan menjadi 4 stadium:
a)      Stadium I
Ada obstruktif tapi kandung kemih masih mampu mengeluarkan urine sampai habis.
b)      Stadium II
Ada retensi urine tetapi kandung kemih mampu mengeluarkan urine walaupun tidak sampai habis, masih tersisa kira-kira 60-150 cc. Ada rasa ridak enak BAK atau disuria dan menjadi nocturia.
c)      Stadium III
Setiap BAK urine tersisa kira-kira 150 cc.

d)     Stadium IV
Retensi urine total, buli-buli penuh pasien tampak kesakitan, urine menetes secara periodik (over flow inkontinen).    
Gejala dan tanda pada pasien yang telah lanjut penyakitnya, misalnya gagal ginjal, dapat ditemukan uremia, peningkatan tekanan darah, denyut nadi, respirasi, foetor uremik, perikarditis, ujung kuku yang pucat, tanda-tanda penurunan mental serta neuropati perifer. Bila sudah terjadi hidronefrosis, ginjal teraba dan ada nyeri di CVA (Costo Vertebrae Angularis). Buli-buli yang distensi dapat dideteksi dengan palpasi dan perkusi. Pemeriksaan penis dan uretra penting untuk mencari etiologi dan menyingkirkan diagnosis banding seperti striktur, karsinoma, stenosis meatus atau fimosis.
Pada perabaan colok dubur harus diperhatikan konsistensi prostat (pada BPH konsistensinya kenyal), adakah asimetri, adakah nodul pada prostat, apakah batas atas teraba. Kalau batas atas masih dapat teraba secara empiris besar jaringan prostat kurang dari 60 g (Mansjoer, A, 2000).
2.1.6        Penatalaksanaan
2.1.6.1  Observasi (watchfull waiting)
Biasanya dilakukan pada pasien dengan keluhan ringan (skor Madsen Iversen ≤ 9). Nasehat yang diberikan ialah mengurangi minum setelah makan malam untuk mengurangi nokturia, menghindari obat-obat dekongestan (parasimpatolitik), mengurangi minum kopi dan tidak diperbolehkan minum alkohol agar tidak terlalu sering miksi.
Setiap tiga bulan lakukan kontrol keluhan (sistem skor), sisa kencing dan pemeriksaan colok dubur (Mansjoer, A, 2000).
2.1.6.2  Terapi medikamentosa
2.1.6.2.1        Penghambat adrenergik α
Obat-obat yang sering dipakai adalah prazosin, doxazosin, terazosin, afluzosin, atau yang lebih selektif α 1a (tamsulosin). Dosis dimulai 1 mg/hari sedangkan dosis tamsulosin adalah 0,2 - 0,4 mg/hari. Penggunaan antagonis α-1-adrenergik karena secara selektif mengurangi obstruksi pada buli-buli tanpa merusak kontraktilitas detrusor. Obat ini menghambat reseptor-reseptor yang banyak ditemukan pada otot polos di trigonum, leher vesika, prostat dan kapsul prostat sehingga terjadi relaksasi di daerah prostat. Hal ini akan menurunkan tekanan pada urethra pars prostatika sehingga gangguan aliran air seni dan gejala-gejala berkurang. Biasanya pasien mulai merasakan berkurangnya keluhan dalam waktu 1-2 minggu setelah ia mulai memakai obat. Efek samping yang mungkin timbul adalah pusing-pusing (dizziness), capek, sumbatan hidung, dan rasa lemah (Mansjoer, A, 2000).
2.1.6.2.2        Penghambat enzim 5-α reduktase
      Obat yang dipakai adalah finasteride (Proscar) dengan dosis 1 x 5 mg/hari. Obat golongan ini dapat menghambat pembentukan DHT sehingga prostat yang membesar akan mengecil. Namun obat ini bekerja lebih lambat daripada golongan α bloker dan manfaatnya hanya jelas pada prostat yang sangat besar. Efektivitasnya masih diperdebatkan karena baru menunjukkan perbaikan sedikit dari keluhan pasien setelah 6-12 bulan pengobatan bila dimakan terus-menerus. Salah satu efek samping obat ini adalah melemahkan libido, ginekomastia, dan dapat menurunkan nilai PSA (masking effect).

2.1.6.2.3        Fitoterapi
                  Pengobatan fitoterapi yang ada di Indonesia antara lain eviprostat. Substansinya misalnya Pygeum africanum, Saw palmetto, Serenoa repeus, dll. Efeknya diharapkan terjadi setelah pemberian selama 1 – 2 bulan.
2.1.6.3  Terapi bedah
Waktu penanganan untuk tiap pasien bervariasi tergantung beratnya gejala dan komplikasi. Indikasi absolut untuk terapi bedah yaitu:
1.      Retensio urin berulang
2.      Hematuria
3.      Tanda penurunan fungsi ginjal
4.      Infeksi saluran kemih berulang
5.      Tanda-tanda obstruksi berat yaitu divertikel, hidroureter, dan hidronefrosis
6.      Ada batu saluran kemih
Jenis pengobatan ini paling tinggi efektivitasnya. Intervensi bedah yang dapat dilakukan meliputi Transurethral Resection of the Prostate (TUR P), Transurethral Insision of the Prostate (TUIP), prostatektomi terbuka, dan prostatektomi dengan laser dengan Nd-YAG atau Ho-YAG.
TUR P masih merupakan standar emas. Indikasi TUR P ialah gejala-gejala sedang sampai berat, volume prostat kurang dari 90 g dan pasien cukup sehat untuk menjalani operasi. Komplikasi TUR P jangka pendek adalah perdarahan, infeksi, hiponatremia (TUR P), atau retensio oleh karena bekuan darah. Sedangkan komplikasi jangka panjang ialah striktur uretra, ejakulasi retrograd (50-90%), atau impotensi (4-40%).
Bila volume prostat tidak terlalu besar atau ditemukan kontraktur leher vesika atau prostat fibrotik dapat dilakukan Transurethral Incision of the Prostate (TUIP). Indikasi TUIP ialah keluhan sedang atau berat, dengan volume prostat normal/kecil. Komplikasinya bisa ejakulasi retrograde (0-37%).
Karena pembedahan tidak mengobati penyebab BPH, maka biasanya penyakit ini akan timbul kembali 8-10 tahun kemudian (Mansjoer, A, 2000).
2.1.6.4  Terapi invasif minimal
2.1.6.4.1        Transurethral Microwave Thermotherapy (TUMT)
Jenis pengobatan ini hanya dapat dilakukan di beberapa rumah sakit besar. Dilakukan pemanasan prostat dengan gelombang mikro yang disalurkan ke kelenjar prostat melalui suatu transducer yang diletakkan di uretra pars prostatika.
2.1.6.4.2        Dilatasi Balon Transurethral (TUBD)
2.1.6.4.3        High-intensity Focused Ultrasound
2.1.6.4.4        Ablasi Jarum Transuretra (TUNA)
2.1.6.4.5        Stent Prostat
(Mansjoer, A, 2000)
2.1.7        Komplikasi
Apabila buli-buli menjadi dekompensasi, akan terjadi retensio urin. Karena produksi urin terus berlanjut maka pada suatu saat buli-buli tidak mampu lagi menampung urin sehingga tekanan intravesika meningkat, dapat timbul hidroureter, hidronefrosis dan gagal ginjal. Proses kerusakan ginjal dipercepat jika terjadi infeksi.
Karena selalu terdapat sisa urin, dapat terbentuk batu endapan dalam buli-buli. Batu ini dapat menambah keluhan iritasi dan menimbulkan hematuria. Batu tersebut dapat pula menimbulkan sistitis dan bila terjadi refluks dapat terjadi pielonefritis.
Pada waktu miksi pasien harus mengedan sehingga lama-kelamaan dapat menyebabkan hernia atau hemoroid (Mansjoer, A, 2000).
2.2  Asuhan Keperawatan
2.2.1        Pengkajian
Pengkajian keperawatan merupakan salah satu dari komponen dari proses keperawatan yaitu suatu usaha yang dilakukan oleh perawat dalam menggali permasalahan dari klien meliputi usaha pengumpulan data tentang status kesehatan seorang klien secara sistematis, menyeluruh, akurat, singkat, dan berkesinambungan.
Komponen pengkajian keperawatan secara komprehensif yang dilaksanakan perawat secara umum meliputi; anamnesis pada klien, keluarga, dan perawat lainnya, pemeriksaan kesehatan; pengkajian pemeriksaan diagnostik; serta pengkajian penatalaksanaan medis (Muttaqin, Arif, 2010).
2.2.1.1  Identitas klien
Meliputi nama, umur, jenis kelamin, pendidikan, alamat, pekerjaan, asuransi kesehatan, agama, suku bangsa, tanggal dan jam MRS, nomor register, serta diagnosis medis (Muttaqin, Arif, 2010).
2.2.1.2  Keluhan utama
Keluhan utama pada gangguan sistem perkemihan, meliputi keluhan sistemik, antara lain gangguan fungsi ginjal (sesak napas, edema, malaise, pucat, dan uremia) atau demam disertai menggigil akibat infeksi/urosepsis; dan keluhan lokal pada saluran perkemihan antara lain nyeri akibat kelainan pada saluran perkemihan, keluhan miksi (keluhan iritasi dan keluhan obstruksi), hematuria, inkontinensia, disfungsi seksual, atau infertilitas (Muttaqin, Arif, 2010).
2.2.1.2.1        Nyeri prostat
      Nyeri prostat pada umumnya disebabkan karena inflamasi yang mengakibatkan edema kelenjar prostat dan distensi kapsul prostat. Lokasi nyeri akibat inflamasi ini sulit untuk ditentukan, tetapi pada umumnya dapat dirasakan pada abdomen bawah, inguinal, perineal, dan lumbosakral. Seringkali nyeri prostat diikuti dengan keluhan miksi berupa frekuensi, disuria, bahkan retensi urine (Muttaqin, Arif, 2010).
2.2.1.2.2        Keluhan miksi
      Keluhan yang dirasakan oleh klien pada saat miksi meliputi keluhan akibat suatu tanda adanya iritasi, obstruksi, inkontinensia, dan enuresis. Keluhan akibat iritasi meliputi polakisuria, urgensi, nokturia, dan disuria; sedangkan keluhan obstruksi meliputi hesistansi, harus mengejan saat miksi, pancaran urine melemah, intermitensi, dan menetes serta masih terasa ada sisa urine sehabis miksi (Muttaqin, Arif, 2010).
2.2.1.2.3        Gejala iritasi
      Polakisuria adalah frekuensi berkemih yang lebih dari normal, keadaan ini merupakan keluhan yang paling sering dikeluhkan klien yang mengalami gangguan sistem perkemihan.
      Urgensi merupakan suatu keadaan  rasa sangat ingin berkemih sehingga terasa sakit.
      Nokturia adalah polakisuria yang terjadi pada malam hari. Seperti pada polakisuria, pada nokturia mungkin disebabkan karena produksi urine meningkat ataupun karena kapasitas kandung kemih yang menurun.
      Disuria adalah nyeri pada saat miksi dan terutama disebabkan karena inflamasi pada kandung kemih atau uretra.
2.2.1.2.4        Gejala obstruksi
      Hesistansi adalah awal keluarnya urine menjadi lebih lama dan sering kali klien harus mengejan untuk memulai miksi. Setelah urine keluar, sering kali pancarannya menjadi lemah, tidak jauh, dan kecil. Hal ini sering disebabkan oleh obstruksi pada saluran kemih.
      Intermitensi merupakan keluhan miksi di mana pada pertengahan miksi sering kali berhenti dan kemudian memancar lagi; keadaan ini terjadi berulang-ulang.
2.2.1.2.5        Hematuria
      Hematuria merupakan suatu keadaan didapatkannya sel darah merah di dalam urine.
2.2.1.2.6        Inkontinensia urine
      Inkontinensia urine adalah ketidakmampuan seseorang untuk menahan urine yang keluar dari kandung kemih, baik disadari ataupun tidak disadari.
2.2.1.2.7        Keluhan disfungsi seksual
      Disfungsi seksual meliputi libido menurun, kekuatan ereksi menurun, disfungsi ereksi, ejakulasi retrograde (air mani tidak keluar pada saat ejakulasi), tidak pernah merasakan orgasmus, atau ejakulasi dini.

2.2.1.3  Riwayat kesehatan saat ini
Pengkajian ini dilakukan untuk mendukung keluhan utama seperti menanyakan tentang perjalanan sejak timbul keluhan hingga klien meminta pertolongan. Misalnya: sejak kapan keluhan dirasakan, berapa lama dan berapa kali keluhan tersebut terjadi, bagaimana sifat dan hebatnya keluhan, di mana pertama kali keluhan timbul, apa yang sedang dilakukan ketika keluhan ini terjadi, keadaan apa yang memperberat atau memperingan keluhan, adakah usaha mengatasi keluhan ini sebelum meminta pertolongan, berhasil atau tidakkah usaha tersebut, dan sebagainya (Muttaqin, Arif, 2010).
2.2.1.4  Riwayat kesehatan dahulu
Perawat menanyakan tentang penyakit-penyakit yang pernah dialami sebelumnya, terutama yang mendukung atau memperberat kondisi gangguan sistem perkemihan pada klien saat ini seperti pernahkah klien menderita penyakit kencing manis, hipertensi, penyakit kencing batu, kencing berdarah, dan lainnya. Tanyakan: apakah klien pernah dirawat sebelumnya, dengan penyakit apa, apakah pernah mengalami sakit yang berat, dan sebagainya (Muttaqin, Arif, 2010).
2.2.1.5  Riwayat kesehatan keluarga
Riwayat keluarga pada penderita BPH dapat meningkatkan risiko terjadinya kondisi yang sama pada anggota keluarga yang lain. Semakin banyak anggota keluarga yang mengidap penyakit ini, semakin besar risiko anggota keluarga yang lain untuk dapat terkena BPH. Bila satu anggota keluarga mengidap penyakit ini, maka risiko meningkat 2 kali bagi yang lain. Bila 2 anggota keluarga, maka risiko meningkat menjadi 2-5 kali (Amalia, Rizki, 2007).

2.2.1.6  Pengkajian  psikososial
Pengkajian psikologis klien meliputi beberapa dimensi yang memungkinkan perawat untuk memperoleh persepsi yang jelas mengenai status emosi, kognitif, dan perilaku klien. Perawat mengumpulkan pemeriksaan awal klien tentang kapasitas fisik dan intelektual saat ini, yang menentukan tingkat perlunya pengkajian psikososiospiritual yang saksama.
Masalah kesehatan sistem perkemihan yang bersifat kronis akan memberikan respon maladaptif terhadap konsep diri klien sehingga tingkat stres emosional dan mekanisme koping digunakan berbeda-beda. Adanya nyeri dari gangguan saluran kemih akan memberikan stimulus pada kecemasan dan ketakutan pada setiap klien. Peran perawat sangat penting diperlukan untuk menurunkan tingkat kecemasan klien (Muttaqin, Arif, 2010).
2.2.1.7  Pengkajian pola fungsi kesehatan
2.2.1.7.1        Pola persepsi dan tata laksana kesehatan
 Biasanya kasus BPH terjadi pada pasien laki-laki yang sudah tua, dan pasien biasanya tidak memperdulikan hal ini, karena sering mengatakan bahwa sakit yang dideritanya pengaruh umur yang sudah tua. Perawat perlu mengkaji apakah klien mengetahui penyakit apa yang dideritanya dan apa penyebab sakitnya saat ini (Amalia, Rizki, 2007).
2.2.1.7.2        Pola nutrisi dan metabolik
 Terganggunya sistem pemasukan makan dan cairan yaitu karena efek penekanan/nyeri pada abomen (pada pre-operasi), maupun efek dari anastesi pada post-operasi BPH, sehingga terjadi gejala: anoreksia, mual, muntah, penurunan berat badan, tindakan yang perlu dikaji adalah awasi masukan dan pengeluaran baik cairan maupun nutrisinya (Amalia, Rizki, 2007).
2.2.1.7.3        Pola eliminasi
 Gangguan eliminasi merupakan gejala utama yang seringkali dialami oleh pasien dengan pre operasi, perlu dikaji keragu-raguan dalam memulai aliran urin, aliran urin berkurang, pengosongan kandung kemih inkomplit, frekuensi berkemih, nokturia, disuria dan hematuria. Sedangkan pada post-operasi BPH yang terjadi karena tindakan invasif serta prosedur pembedahan sehingga perlu adanya obervasi drainase kateter untuk mengetahui adanya perdarahan dengan mengevaluasi warna urin. Evaluasi warna urin, contoh : merah terang dengan bekuan darah, perdarahan dengan tidak ada bekuan, peningkatan viskositas, warna keruh, gelap dengan bekuan. Selain terjadi gangguan eliminasi urin, juga ada kemugkinan terjadinya konstipasi. Pada post operasi BPH, karena perubahan pola makan dan makanan (Amalia, Rizki, 2007).
2.2.1.7.4        Pola tidur dan istirahat
 Pada pasien dengan BPH biasanya istirahat dan tidurnya terganggu, disebabkan oleh nyeri pinggang dan BAK yang keluar terus menerus dimana hal ini dapat mengganggu kenyamanan klien. Jadi perawat perlu mengkaji berapa lama klien tidur dalam sehari, apakah ada perubahan lama tidur sebelum dan selama sakit/ selama dirawat (Amalia, Rizki, 2007).
2.2.1.7.5        Pola aktivitas dan latihan
Adanya keterbatasan aktivitas karena kondisi klien yang lemah dan terpasang traksi kateter selama 6 – 24 jam. Pada paha yang dilakukan perekatan kateter tidak boleh fleksi selama traksi masih diperlukan, klien juga merasa nyeri pada prostat dan pinggang. Klien dengan BPH aktivitasnya sering dibantu oleh keluarga (Amalia, Rizki, 2007).
2.2.1.7.6        Pola persepsi dan konsep diri
 Pasien dengan kasus penyakit BPH seringkali terganggu integritas egonya karena memikirkan bagaimana akan menghadapi pengobatan yang dapat dilihat dari tanda-tanda seperti kegelisahan, kacau mental, perubahan perilaku (Amalia, Rizki, 2007).
2.2.1.7.7        Pola sensori dan pengetahuan
 Klien BPH umumnya adalah orang tua, maka alat indra klien biasanya terganggu karena pengaruh usia lanjut. Namun tidak semua pasien mengalami hal itu, jadi perawat perlu mengkaji bagaimana alat indra klien, dan bagaimana status neurologis klien (Amalia, Rizki, 2007).
2.2.1.7.8        Pola hubungan interpersonal dan peran
 Pada pasien dengan BPH merasa rendah diri terhadap penyakit yang dideritanya. Sehingga hal ini menyebabkan kurangnya sosialisasi klien dengan lingkungan sekitar. Perawat perlu mengkaji bagaimana hubungan klien dengan keluarga dan masyarakat sekitar, apakah ada perubahan peran selama klien sakit (Amalia, Rizki, 2007).
2.2.1.7.9        Pola reproduksi dan seksual
Pada pasien BPH baik pre-operasi maupun post-operasi terkadang mengalami masalah tentang efek kondisi/terapi pada kemampuan seksualnya, takut inkontinensia/menetes selama hubungan intim, penurunan kekuatan kontraksi saat ejakulasi, dan pembesaran atau nyeri tekan pada prostat (Amalia, Rizki, 2007).
2.2.1.7.10    Pola penanggulangan stres
 Klien dengan BPH mengalami peningkatan stres karena memikirkan pengobatan dan penyakit yang dideritanya menyebabkan klien tidak bisa melakukan aktivitas seksual seperti biasanya, bisa terlihat dari perubahan tingkah laku dan kegelisahan klien. Perawat perlu mengkaji bagaimana klien menghadapi masalah yang dialami, dan apakah klien menggunakan obat-obatan untuk mengurangi stresnya (Amalia, Rizki, 2007).
2.2.1.7.11    Pola tata nilai dan kepercayaan
Pasien BPH mengalami gangguan dalam hal keyakinan, seperti gangguan dalam beribadah shalat, klien tidak bisa melaksanakannya, karena BAK yang sering keluar tanpa disadari. Perawat juga perlu mengkaji apakah ada pantangan dalam agama klien untuk proses pengobatan (Amalia, Rizki, 2007).
2.2.1.8  Pemeriksaan fisik
Colok dubur atau digital rectal examination (DRE) merupakan pemeriksaan yang penting pada pasien BPH, disamping pemeriksaan fisik pada regio suprapubik untuk mencari kemungkinan adanya distensi buli-buli. Dari pemeriksaan colok dubur ini dapat diperkirakan adanya pembesaran prostat, konsistensi prostat, dan adanya nodul yang merupakan salah satu tanda dari keganasan prostat. Mengukur volume prostat dengan DRE cenderung underestimate daripada pengukuran dengan metode lain, sehingga jika prostat teraba besar, hampir pasti bahwa ukuran sebenarnya memang besar. Disamping itu pada DRE diperhatikan pula tonus sfingter ani dan refleks bulbokavernosus yang dapat menunjukkan adanya kelainan pada busur refleks di daerah sakral (IAUI, 2008).
Pada perabaan colok dubur harus diperhatikan konsistensi prostat (pada BPH konsistensinya kenyal), adakah asimetri, adakah nodul pada prostat, apakah batas atas teraba. Kalau batas atas masih dapat teraba secara empiris besar jaringan prostat kurang dari 60 g (Mansjoer, A, 2000).
2.2.1.9  Pemeriksaan penunjang
2.2.1.9.1        Pemeriksaan laboratorium
      Analisis urin dan pemeriksaan mikroskopik urin penting untuk melihat adanya sel leukosit, bakteri, dan infeksi. Bila terdapat hematuria, harus diperhitungkan etiologi lain seperti keganasan pada saluran kemih, batu, infeksi saluran kemih, walaupun BPH sendiri dapat menyebabkan hematuria. Elektrolit, kadar ureum dan kreatinin darah merupakan informasi dasar dari fungsi ginjal dan status metabolik. Pemeriksaan Prostate Spesific Antigen (PSA) dilakukan sebagai dasar penentuan perlunya biopsi atau sebagai deteksi dini keganasan. Bila nilai PSA ˂4 ng/ml tidak perlu biopsi. Sedangkan bila nilai PSA 4-10 ng/ml, hitunglah Prostate Spesific Antigen Density (PSAD) yaitu PSA serum dibagi dengan volume prostat. Bila PSAD ≥ 0,15 maka sebaiknya dilakukan biopsi prostat, demikian pula bila nilai PSA ˃ 10 ng/ml (Mansjoer, A, 2000).
2.2.1.9.2        Pemeriksaan radiologis
      Pemeriksaan yang biasa dilakukan adalah foto polos abdomen, pielografi intravena, USG dan sitoskopi. Tujuan pemeriksaan pencitraan ini adalah untuk memperkirakan volume BPH, menentukan derajat disfungsi buli-buli dan volume residu urin dan mencari kelainan patologi lain, baik yang berhubungan maupun tidak dengan BPH. Dari foto polos dapat dilihat adanya batu pada traktus urinarius, pembesaran ginjal ataunbuli-buli. Dapat juga dilihat lesi osteoblastik sebagai tanda metastasis dari keganasan prostat serta osteoporosis akibat kegagalan ginjal.
      Dari pielografi intravena dapat dilihat supresi komplit dari fungsi renal, hidronefrosis dan hidroureter, fish hook appreance (gambaran ureter berbelok-belok di vesika), indentasi pada dasar buli-buli, divertikel, residu urin, atau filling defect di vesika.
      Dari USG dapat diperkirakan besarnya prostat, memeriksa massa ginjal, mendeteksi residu urin, batu ginjal, divertikulum atau tumor buli-buli (Mansjoer, A, 2000).
2.2.1.10   Daftar masalah keperawatan
Masalah keperawatan yang muncul pada pasien dengan BPH menurut Doenges, E. Marilynn, 2002 dan Wilkinson, Judith, 2011 antara lain :
1)        Retensi urine (akut/kronik)
2)        Nyeri (akut)
3)        Risiko tinggi terhadap kekurangan volume cairan
4)        Ketakutan/ansietas
5)        Kurang pengetahuan (kebutuhan belajar) tentang kondisi, prognosis, dan kebutuhan pengobatan
6)        Perubahan eliminasi urine
7)        Risiko tinggi terhadap infeksi
8)        Risiko tinggi terhadap disfungsi seksual
9)        Gangguan citra tubuh
10)    Hambatan mobilitas fisik

2.2.2        Diagnosa dan Intervensi
2.2.2.1  Diagnosa keperawatan: Retensi urine (akut/kronik)
Dapat dihubungkan dengan: Obstruksi mekanik; pembesaran prostat. Dekompensasi otot destrusor. Ketidakmampuan kandung kemih untuk berkontraksi dengan adekuat.
Kemungkinan dibuktikan oleh: Frekuensi, keragu-raguan, ketidakmampuan mengosongkan kandung kemih dengan lengkap; inkontinensia/menetes. Distensi kandung kemih, residu urine.
Hasil yang diharapkan/kriteria evaluasi, pasien akan:
-       Berkemih dengan jumlah yang cukup, tak teraba distensi kandung kemih.
-       Menunjukkan residu pasca berkemih kurang dari 50 ml; dengan tak adanya tetesan/kelebihan aliran.
Tindakan/intervensi:
Mandiri
1)      Dorong pasien untuk berkemih tiap 2-4 jam dan bila tiba-tiba dirasakan.
Rasional: meminimalkan retensi urine distensi berlebihan pada kandung kemih.
2)      Tanyakan pasien tentang inkontinensia stres.
Rasional: tekanan uretral tinggi menghambat pengosongan kandung kemih atau dapat menghambat berkemih sampai tekanan abdominal meningkat cukup untuk mengeluarkan urine secara tidak sadar.


3)      Observasi aliran urine, perhatikan ukuran dan kekuatan.
Rasional: berguna untuk mengevaluasi obstruksi dan pilihan intervensi.
4)      Awasi dan catat waktu dan jumlah tiap berkemih. Perhatikan penurunan haluaran urine dan perubahan berat jenis.
Rasional: retensi urine meningkatkan tekanan dalam saluran perkemihan atas, yang dapat mempengaruhi fungsi ginjal. Adanya defisit aliran darah ke ginjal mengganggu kemampuannya untuk memfilter dan mengkonsentrasi substansi.
5)      Perkusi/palpasi area suprapubik.
Rasional: distensi kandung kemih dapat dirasakan di area suprapubik.
6)      Dorong masukan cairan sampai 3000 ml sehari, dalam toleransi jantung, bila diindikasikan.
Rasional: peningkatan aliran cairan mempertahankan perfusi ginjal dan membersihkan ginjal dan kandung kemih dari pertumbuhan bakteri.
7)      Awasi tanda vital dengan ketat. Observasi hipertensi, edema perifer/dependen, perubahan mental. Timbang tiap hari. Pertahankan pemasukan dan pengeluaran akurat.
Rasional: kehilangan fungsi ginjal mengakibatkan penurunan eliminasi cairan dan akumulasi sisa toksik; dapat berlanjut ke penurunan ginjal total.
8)      Berikan/dorong kateter lain dan perawatan perineal.
Rasional: menurunkan resiko infeksi asenden.

9)      Berikan rendam duduk sesuai indikasi.
Rasional: meningkatkan relaksasi otot, penurunan edema, dan dapat meningkatkan upaya berkemih.
Kolaborasi
1)      Berikan obat sesuai indikasi: antispasmodik, contoh, oksibutinin klorida (Ditropan).
Rasional: menghilangkan spasme kandung kemih sehubungan dengan iritasi oleh kateter.
Mandiri
1)      Supositoria rektal (B&O).
Rasional: supositoria diabsorpsi dengan mudah melalui mukosa ke dalam jaringan kandung kemih untuk menghasilkan relaksasi otot/menghilangkan spasme.
2)      Antibiotik dan antibakteri.
Rasional: diberikan untuk melawan infeksi. Mungkin digunakan secara profilaksis.
3)      Fenoksibenzamin (Dibenzyline).
Rasional: diberikan untuk membuat berkemih lebih mudah dengan merelaksasikan otot polos prostat dan menurunkan tahanan terhadap aliran urine. Digunakan dengan kewaspadaan karena mengecilkan kelenjar dan mempunyai efek samping tak enak seperti pusing dan kelelahan.

4)      Antagonis alfa-adrenergik contoh prazosin (Minipres), terazosin (Hytrin).
Rasional: penelitian menunjukkan bahwa obat ini mungkin  sama efektifnya dengan Dibenzyline dengan efek samping demam.
5)      Kateterisasi untuk residu urine dan biarkan kateter tak menetap sesuai indikasi.
Rasional: menghilangkan/mencegah retensi urine dan mengesampingkan adanya striktur uretral. Catatan: Dekompensasi kandung kemih harus dilakukan dengan menambah 200 ml untuk mencegah hematuria (ruptur pembuluh darah pada mukosa kandung kemih yang terlalu distensi) dan pingsan (stimulasi otonomik berlebihan). Kateter Coude diperlukan karena ujung lengkung memudahkan pasase selang melalui uretra prostat.
6)      Irigasi kateter sesuai indikasi.
Rasional: mempengaruhi patensi/aliran urine.
7)      Monitor laboratory studies, e.g.: BUN, kreatinin, elektrolit.
Rasional: pembesaran prostat (obstruksi) secara nyata menyebabkan dilatasi saluran perkemihan atas (ureter dan ginjal), berpotensi merusak fungsi ginjal dan menimbulkan uremia.
8)      Urinalisa dan kultur.
Rasional: statis urinaria potensial untuk pertumbuhan bakteri, peningkatan resio ISK.


9)      Siapkan/bantu untuk drainase urine, contoh: sistostomi;
Rasional: diindikasikan untuk mengalirkan kandung kemih selama episode akut dengan azotemia atau bila bedah dikontraindikasikan karena status kesehatan pasien.
10)  Prosedur percobaan, contoh: hipertermia transuretral;
Rasional: pemanasan bagian sentral prostat dengan memasukkan elemen pemanas melalui uretra membuat pengecilan prostat. Tindakan dilakukan 1-2 kali/minggu untuk beberapa minggu untuk meningkatkan hasil yang diinginkan.
11)  Bedah beku;
Rasional: pembekuan kapsul prostat menyebabkan pengelupasan jaringan prostat menghilangkan obstruksi. Prosedur ini tidak seefektif TURP dan dilakukan secara individual yang dipertimbangkan beresiko anestesi buruk.
12)  Balon uretroplasti/dilatasi transuretral prostat.
Rasional: inflasi balon ujung kateter dalam area terobstruksi mengubah letak jaringan prostat, sehingga memperbaiki aliran urine.
(Doenges, E. Marilynn, 2002)
2.2.2.2  Diagnosa keperawatan: Nyeri (akut)
Dapat dihubungkan dengan: iritasi mukosa; distensi kandung kemih, kolik ginjal; infeksi urinaria; terapi radiasi.
Dapat dibuktikan oleh: keluhan nyeri (kandung kemih spasme rektal). Penyempitan fokus; perubahan tonus otot, meringis, perilaku distraksi, gelisah. Respons otonomik.
Hasil yang diharapkan/kriteria evaluasi, pasien akan:
-       Melaporkan nyeri hilang/terkontrol.
-       Tampak rileks.
-       Mampu untuk tidur/istirahat dengan tepat.
            Tindakan/intervensi
            Mandiri
1)   Kaji nyeri, perhatikan lokasi, intensitas (skala 0-10), lamanya.
Rasional: memberikan informasi untuk membantu dalam menentukan pilihan/keefektifan intirevensi.
2)    Plester selang drainase pada paha dan kateter pada abdomen (bila traksi tidak diperlukan).
Rasional: mencegah penarikan kandung kemih dan erosi pertemuan penis-skrotal.
3)    Pertahankan tirah baring bila diindikasikan.
Rasional: tirah baring mungkin diperlukan pada awal selama fase retensi akut. Namun, ambulasi dini dapat memperbaiki pola berkemih normal dan menghilangkan nyeri kolik.
4)    Berikan tindakan kenyamanan, contoh pijatan punggung; membantu pasien melakukan posisi yang nyaman; mendorong penggunaan relaksasi/latihan napas dalam; aktivitas terapeutik.
Rasional: meningkatkan relaksasi, memfokuskan kembali perhatian, dan dapat meningkatkan kemampuan koping.
5)    Dorong menggunakan rendam duduk, sabun hangat untuk perineum.
                  Rasional: meningkatkan relaksasi otot.
            Kolaborasi
1)    Masukkan kateter dan dekatkan untuk melancarkan drainase.
Rasional: pengalihan kandung kemih menurunkan tegangan dan kepekaan kelenjar.
2)    Lakukan masase prostat.
Rasional: membantu dalam evakuasi duktus kelenjar untuk menghilangkan kongesti/inflamasi. Kontraindikasi bila infeksi terjadi.
3)    Berikan obat sesuai indikasi: narkotik, contoh eperidin (Demerol);
Rasional: diberikan untuk menghilangkan nyeri berat, memmberikan relaksas mental dan fisik.
4)    Antibakterial, contoh metenamin hipurat (Hiprex);
Rasional: menurunkan adanya bakteri dalam traktus urinarius juga yang dimasukkan melalui sistem drainase.
5)    Antispasmodik dan sedatif kandung kemih, contoh flakvosat (Urispas); oksibutinin (Ditropan).
Rasional: menghilangkan kepekaan kandung kemih.
(Doenges, E. Marilynn, 2002)
2.2.2.3  Diagnosa keperawatan: Risiko tinggi terhadap kekurangan volume cairan
Faktor resiko meliputi: pasca obstruksi diuresis dari drainase cepat kandung kemih yang terlalu distensi secara kronis. Endokrin, ketidakseimbangan elektrolit (disfungsi ginjal).
Kemungkinan dibuktikan oleh: (Tidak dapat diterapkan; adanya tanda-tanda dan gejala-gejala membuat diagnosa aktual).

Hasil yang diharapkan/kriteria evaluasi, pasien akan:
-       Mempertahankan hidrasi adekuat dibuktikan oleh tanda vital stabil, nadi perifer teraba, pengisian kapiler baik, dan membran mukosa lembab.
Tindakan/intervensi:
Mandiri
1)      Awasi keluaran dengan hati-hati, tiap jam bila diindikasikan. Perhatikan keluaran 100-200 ml/jam.
Rasional: diuresis cepat dapat menyebabkan kekurangan volume total cairan, karena ketidakcukupan jumlah natrium diabsorpsi dalam tubulus ginjal.
2)      Dorong peningkatan pemasukan oral berdasarkan kebutuhan individu.
Rasional: pasien dibatasi pemasukan oral dalam upaya mengontrol gejala urinaria, homeostatik pengurangan cadangan dan peningkatan resiko dehidrasi/hipovolemia.
3)      Awasi TD, nadi dengan sering. Evaluasi pengisian kapilar dan membran mukosa oral.
Rasional: memampukan deteksi dini/intervensi hipovolemik sistemik.
4)      Tingkatkan tirah baring dengan kepala tinggi.
Rasional: menurunkan kerja jantung, memudahkan homeostatis sirkulasi.
Kolaborasi
1)      Awasi elektrolit, khususnya natrium.
Rasional: bila pengumpulan cairan terkumpul dari area ekstraselular, natrium dapat mengikuti perpindahan, menyebabkan hiponatremia.
2)      Berikan cairan IV (garam faal hipertonik) sesuai kebutuhan.
Rasional: menggantikan kehilangan cairan dan natirum untuk mencegah/memperbaiki hipovolemia.
(Doenges, E. Marilynn, 2002)
2.2.2.4  Diagnosa keperawatan: Ketakutan/ansietas
Dapat dihubungkan dengan: Perubahan status kesehatan: kemungkinan prosedur bedah/malignansi. Malu/hilang martabat sehubungan dengan pemajanan genital sebelum, selama, dan  sesudah tindakan; masalah tentang kemampuan seksualitas.
Kemungkinan dibuktikan oleh: Peningkatan tegangan, ketakutan, kekuatiran. Mengekspresikan masalah tentang adanya perubahan. Ketakutan akan konsekuensi tak spesifik.
Hasil yang diharapakan/kriteria evaluasi, pasien akan:
-       Tampak rileks
-       Menyatakan pengetahuan yang akurat tentang situasi.
-       Menunjukkan rentang tepat tentang perasaan dan penurunan rasa takut.
-       Melaporkan ansietas menurun sampai tingkat dapat ditangani.
            Tindakan/intervensi:
            Mandiri
1)      Selalu ada untuk pasien. Buat hubungan saling percaya dengan pasien/orang terdekat.
Rasional: menunjukkan perhatian dan keinginan untuk membantu. Membantu dalam diskusi tentang subjek sensitif.

2)      Berikan informasi tentang prosedur dan tes khusus dan apa yang akan terjadi, contoh kateter, urine berdarah, iritasi kandung kemih. Ketahui seberapa banyak informasi yang diinginkan pasien.
Rasional: membantu pasien memahami tujuan dari apa yang dilakukan, dan mengurangi masalah dari ketidaktahuan, termasuk ketakutan akan kanker. Namun kelebihan informasi tidak membantu dan dapat meningkatkan ansietas.
3)      Pertahankan perilaku nyata dalam melakukan prosedur/menerima pasien. Lindungi privasi pasien.
Rasional: menyatakan penerimaan dan menghilangkan rasa malu pasien.
4)      Dorong pasien/orang terdekat untuk menyatakan masalah/perasaan.
Rasional: mendefinisikan masalah, memberikan kesempatan untuk menjawab pertanyaan, memperjelas kesalahan konsep, dan solusi pemecahan masalah.
5)      Beri penguatan informasi pasien yang telah diberikan sebelumnya.
Rasional: memungkinkan pasien untuk menerima kenyataan dan menguatkan kepercayaan pada pemberi perawatan dan pemberian informasi.
(Doenges, E. Marilynn, 2002)
2.2.2.5  Diagnosa keperawatan: Kurang pengetahuan (kebutuhan belajar) tentang kondisi, prognosis, dan kebutuhan pengobatan
Dapat dihubungkan dengan: kurang terpajan/mengingat, salah interpretasi informasi. Tidak mengenal sumber informasi. Masalah tentang area sensitif.
Kemungkinan dibuktikan oleh: pertanyaan, meminta informasi. Menyatakan masalah/indikator non-verbal. Tidak akurat mengikuti instruksi, terjadinya komplikasi yang dapat dicegah.
Hasil yang diharapkan/kriteria evaluasi, pasien akan:
-       Menyatakan pemahaman proses peyakit/prognosis.
-       Mengidentifikasi hubungan tanda/gejala proses penyakit.
-       Melakukan perubahan pola hidup/perilaku yang perlu.
-       Berpartisipasi dalam program pengobatan.
            Tindakan/intervensi:
1)      Kaji ulang proses penyakit, pengalaman pasien.
Rasional: memberikan dasar pengetahuan dimana pasien dapat membuat pilihan informasi terapi.
2)      Dorong menyatakan rasa takut/perasaan dan perhatian.
Rasional: membantu pasien mengalami perasaan dapat merupakan rehabilitasi vital.
3)      Berikan informasi bahwa kondisi tidak ditularkan secara seksual.
Rasional: mungkin merupakan ketakutan yang tidak dibicarakan.
4)      Anjurkan menghindari makanan berbumbu, kopi, alkohol, mengemudikan mobil lama, pemasukan cairan cepat (terutama alkohol).
Rasional: dapat menyebabkan iritasi prostat dengan masalah kongesti. Peningkatan tiba-tiba pada aliran urine dapat menyebabkan distensi kandung kemih dan dan kehilangan tonus kandung kemih, dapat mengakibatkan episode retensi urinaria akut.
5)      Bicarakan masalah seksual, contoh bahwa selama episode akut protatitis, koitus dihindari tetapi mungkin membantu dalam pengobatan kondisi kronis.
Rasional: aktivitas seksual dapat meningkatkan nyeri selama episode akut tetapi dapat memberikan suatu massase pada adanya penyakit kronis.
6)      Kaji ulang tanda/gejala yang memerlukan evaluasi medik, contoh urine keruh, berbau; penurunan haluaran urine, ketidakmampuan untuk berkemih; adanya demam/menggigil.
Rasional: intervensi cepat dapat mencegah komplikasi lebih serius.
7)      Diskusikan perlunya pemberitahuan pada perawat kesehatan lain tentang diagnosa.
Rasional: menurunkan risiko terapi tidak tepat, contoh penggunaan dekongestan, antiikolinergik, dan dapat mencetuskan episode akut.
8)      Beri penguatan pentingnya evaluasi medik untuk sedikitnya 6 bulan – 1 tahun, termasuk pemeriksaan rektal urinalisa.
Rasional: hipertrofi berulang dan/atau infeksi (disebabkan oleh organisme yang sama atau berbeda) tidak umum dan akan memerlukan perubahan terapi untuk mencegah komplikasi serius.
(Doenges, E. Marilynn, 2002)
2.2.2.6  Risiko tinggi terhadap infeksi
Faktor resiko meliputi: Prosedur invasif: alat selama pembedahan, kateter, irigasi kandung kemih sering. Trauma jaringan, insisi bedah (contoh perineal).
            Kemungkinan dibuktikan oleh: [Tidak dapat diterapkan; adanya tanda-tanda dan gejala-gejala membuat diagnosa aktual].
Hasil yang diharapkan/kriteria evaluasi, pasien akan:
-       Mencapai waktu penyembuhan.
-       Tak mengalami tanda infeksi.
            Tindakan/intervensi:
            Mandiri
1)      Pertahankan sistem kateter steril; berikan perawatan kateter regular dengan sabun dan air, berikan salep antibiotic disekitar sisi kateter.
Rasional: mencegah pemasukan bakteri dan infeksi/sepsis lanjut.
2)      Ambulasi dengan kantung drainase dependen.
Rasional: menghindari reflek balik urine, yang dapat memasukkan bakteri ke dalam kandung kemih.
3)      Awasi tanda vital, perhatikan demam ringan, menggigil, nadi dan pernapasan cepat, gelisah, peka, disorientasi.
Rasional: pasien yang mengalami sistoskopi dan/atau TUR prostat berisiko untuk syok bedah/septik sehubungan dengan manipulasi/instrumentasi.
4)      Observasi drainase dari luka, sekitar kateter suprapubik.
Rasional: adanya drain, insisi suprapubik meningkatkan risiko untuk infeksi, yang diindikasikan dengan eritema, drainase purulen.


5)      Ganti balutan dengan sering (insisi supra/retropubik dan perineal), pembersihan dan pengeringan kulit sepanjang waktu.
Rasional: balutan basah menyebabkan kulit iritasi dan memberikan media untuk pertumbuhan bakteri, peningkatan risiko infeksi luka.
6)      Gunakan pelindung kulit tipe ostomi.
Rasional: memberikan perlindungan untuk kulit sekitar, mencegah ekskoriasi dan menurunkan risiko infeksi.
            Kolaborasi
1)      Berikan antibiotik sesuai indikasi.
Rasional: mungkin diberikan secara profilaktik sehubungan dengan peningkatan risiko infeksi pada prostatektomi.
(Doenges, E. Marilynn, 2002)
2.2.2.7  Risiko tinggi terhadap disfungsi seksual
            Faktor risiko meliputi: Situasi krisis (inkontinensia, kebocoran urine setelah pengangkatan kateter, keterlibatan area genital). Ancaman konsep diri/perubahan status kesehatan.
Kemungkinan dibuktikan oleh: [Tidak dapat diterapkan; adanya tanda-tanda dan gejala-gejala membuat diagnosa aktual].
Hasil yang diharapkan/kriteria evaluasi, pasien akan:
-       Tampak rileks dan melaporkan ansietas menurun sampai tingkat dapat diatasi.
-       Menyatakan pemahaman situasi individual.
-       Menunjukkan keterampilan pemecahan masalah


            Tindakan/intervensi:
            Mandiri
1)      Berikan keterbukaan pada pasien/orang terdekat untuk membicarakan tentang masalah inkontinensia dan fungsi seksual.
Rasional: dapat mengalami ansietas tentang efek bedah dan dapat menyembunyikan pertanyaan yang diperlukan. Ansietas dapat mempengaruhi kemampuan untuk menerima informasi yang diberikan sebelumnya.
2)      Berikan informasi akurat tentang harapan kembalinya fungsi seksual.
Rasional: impotensi fisiologis terjadi bila saraf perineal dipotong selama prosedur radikal; pada pendekatan lain, aktivitas seksual dapat dilakukan seperti biasa dalam 6-8 minggu. Catatan: Prostese penis dapat dianjurkan setelah prosedur perineal radikal.
3)      Diskusikan dasar anatomi. Jujur dalam menjawab pertanyaan pasien.
Rasional: saraf pleksus mengontrol aliran secara posterior ke prostat melalui kapsul prostat, impoten dan sterilitas biasanya tidak menjadi konsekuensi. Prosedur bedah mungkin tidak memberikan pengobatan permanen, dan hipertrofi dapat terulang.
4)      Diskusikan ejakulasi retograd bila pendekatan transuretral/suprapubik digunakan.
Rasional: cairan seminal mengalir kedalam kandung kemih dan disekresikan melalui urine. Ini tidak mempengaruhi fungsi seksual tetapi akan menurunkan kesuburan dan menyebabkan urine keruh.

5)      Instruksikan latihan perineal dan interupsi/kontinu aliran urine.
Rasional: meningkatkan peningkatan kontrol otot kontinensia urinaria dan fungsi seksual.
Kolaborasi
1)      Rujuk ke penasehat seksual sesuai indikasi.
Rasional: masalah menetap/tidak teratasi memerlukan intervensi profesional.
(Doenges, E. Marilynn, 2002)
2.2.2.8  Perubahan eliminasi urine
Dapat dihubungkan dengan: stimulasi kandung kemih oleh batu; iritasi ginjal atau uretral, obstruksi mekanik inflamasi dibuktikan oleh urgensi dan frekuensi; oliguria (retensi), hematuria.
Kemungkinan dibuktikan oleh:
Frekuensi, urgensi, keragu-raguan, disuria, inkontinensia, retensi. Kandung kemih penuh; ketidaknyamanan suprapubik.
Hasil yang diharapkan/kriteria evaluasi, pasien akan:
-       Berkemih dengan jumlah normal dan pola biasanya.
-       Tak mengalami tanda obstruksi.
Tindakan/Intervensi:
1)      Kaji haluaran urine dan sistem kateter/drainase,khususnya selama irigasi kandung kemih
Rasional: retensi dapat terjadi karena edema area bedah, bekuan darah, dan spasme kandung kemih.
2)      Bantu pasien memilih posisi normal untuk berkemih, contoh berdiri,berjalan ke kamar mandi, dengan frekuensi sering setelah kateter dilepas.
Rasional: mendorong pasase urine dan meningkatkan rasa normalitas.
3)      Perhatikan waktu, jumlah berkemih, dan ukuran aliran setelah kateter dilepas. Perhatikan keluhan rasa penuh kandung kemih; ketidakmampuan berkemih, urgensi.
Rasional: kateter biasanya dilepas 2-5 hari setelah bedah, tetapi berkemih dapat berlanjut menjadi masalah untuk beberapa waktu karena edema uretral dan kehilangan tonus. 
4)      Dorong pasien untuk berkemih bila terasa dorongan tetapi tidak lebih dari 2-4 jam per protokol.
Rasional: berkemih dengan dorongan mencegah retensi urine. Katerbatasan berkemih untuk tiap 4 jam (bila ditoleransi) meningkatkan tonus kandung kemih dan membantu latihan ulang kandung kemih.
5)      Ukur volume residu bila ada kateter suprapubik.
Rasional: mengawasi keefektifan pengosongan kandung kemih. Residu lebih dari 50 ml menunjukkan perlunya kontinuitas kateter sampai tonus kandung kemih membaik.



6)      Dorong pemasukan cairan 3000ml sesuai toleransi. Batasi cairan pada malam, setelah kateter dilepas.
Rasional: mempertahankan hidrasi adekuat dan perfusi ginjal untuk aliran urine. “Penjadwalan” masukan cairan menurunkan kebutuhan berkemih/gangguan tidur selama malam hari.
7)      Instruksikan pasien untuk mengencangkan bokong, menghentikan dan memulai aliran urine.
Rasional: membantu meningkatkan kontrol kandung kemih/sfingter urine, meminimalkan inkontinensia.
8)      Anjurkan pasien bahwa “penetesan” diharapkan setelah kateter dilepas dan harus teratasi sesuai kemajuan.
Rasional: informasi membantu pasien untuk menerima masalah. Fungsi normal dapat kembali dalam 2-3 minggu tetapi memerlukan sampai 8 bulan setelah pendekatan perineal.
Kolaborasi:
1)      Pertahankan irigasi kandung kemih kontinu (continuous bladder irrigation [CBI]) sesuai indikasi pada periode pasca operasi dini.
Rasional: mencuci kandung kemih dari bekuan darah dan debris untuk mempertahankan patensi kateter/aliran urine.
(Doenges, E. Marilynn, 2002)
2.2.2.9  Gangguan citra tubuh
Faktor yang berhubungan: pembedahan, depresi, efek samping penanganan (misalnya, impotensi), penampilan ostomi (misal, urostomi)

Batasan karakeristik:
Baik (A) maupun (B) harus ada untuk menegakkan diagnosis Gangguan citra tubuh. Batasan karakteristik yang tersisa harus digunakan untuk memvalidasi adanya (A) atau (B).
(A)             Respons verbal perasaan atau persepsi yang mencerminkan perubahan aktual atau persepsi perubahan struktur, penampilan, atau fungsi tubuh.
(B)              Respons nonverbal terhadap perubahan aktual atau persepsi perubahan struktur, penampilan, atau fungsi tubuh.
Subjektif:
1.    Depersonalisasi bagian (tubuh) atau kehilangan melalui kata gantiretral.
2.    Penekanan pada kekuatan yang tersisa dan pencapaian yang tertinggi
3.    Rasa takut terhadap penolakan atau reaksi dari orang lain
4.    Berfokus pada kekuatan, fungsi atau penampilan di masa lalu\
5.    Perasaan negatif tentang tubuh (misalnya, perasaan putus asa, tidak mampu, atau tidak berdaya)
6.    Personalisasi dari bagian tubuh atau bagian tubuh yang hilang dengan nama
7.    Fokus pada perubahan atau kehilangan
8.    Mengungkapkan secara verbal perubahan gaya hidup
Objektif:
1.    Perubahan aktual pada struktur atau fungsi (tubuh)
2.    Perilaku menghindar, memantau, atau mencari tahu tentang tubuh individu
3.    Perubahan pada kemampuan untuk memperkirakan hubungan spasial tubuh terhadap lingkungan
4.    Perubahan dalam keterlibatan social
5.    Menutupi atau terlalu memperlihatkan bagian tubuh (dengan sengaja ataupun tidak)
6.    Kehilangan bagian tubuh, tidak menyentuh bagian tubuh
       Kriteria evaluasi:
Pasien akan:
-       Mengidentifikasi kekuatan personal
-       Mengenali dampak situasi pada hubungan personal dan gaya hidup
-       Mengenali perubahan aktual pada penampilan tubuh
-       Menunjukkan penerimaan penampilan
-       Menggambarkan perubahan aktual pada fungsi tubuh
-       Bersikap realistik mengenai hubungan antara tubuh dengan lingkungan
-       Mengambil tanggungjawab untuk perawatan diri
-       Memelihara interaksi sosial yang dekat dan hubungan personal
Intervensi:
Mandiri
1)        Bimbingan antisipasi: mempersiapkan pasien terhadap krisis perkembangan atau krisis situasional.
2)        Peningkatan citra tubuh: meningkatkan persepsi sadar dan tak sadar pasien serta sikap terhadap tubuh pasien.
3)        Peningkatan koping: membantu pasien untuk beradaptasi dengan persepsi stresor, perubahan, atau ancaman yang menghambat pemenuhan tuntutan dan peran hidup.
4)        Peningkatan harga diri: membantu pasien untuk meningkatkan penilaian terhadap harga diri.
Kolaborasi
1)        Rujuk ke layanan sosial untuk merencanakan perawatan dengan pasien dan keluarga.
2)        Rujuk ke tim interdisipliner untuk klien yang memiliki kebutuhan kompleks (mis., komplikasi pembedahan).
Aktivitas lain
1)        Dengarkan pasien dan keluarga secara aktif dan akui realitas kekhawatiran terhadap perawatan, kemajuan, dan prognosis.
2)        Beri dorongan kepada pasien dan keluarga untuk mengungkapkan perasaan dan untuk berduka, jika perlu.
3)        Dukung mekanisme koping yang biasa digunakan pasien; sebagai contoh, tidak meminta pasien untuk mengeksplorasi perasaannya jika pasien tampak enggan melakukannya.
4)        Bantu pasien dan keluarga untuk mengidentifikasi dan menggunakan mekanisme koping
5)        Bantu pasien dan keluarga untuk mengidentifikasi kekuatan dan mengenaliketerbatasan mereka
6)        Berikan perawatan dengan cara yang tidak menghakimi, jaga privasi danmartabat pasien
7)        Hati-hati dengan ekspresi wajah anda ketika merawat pasien dengan cacat tubuh,pertahankan ekspresi netral
8)        Bantu pasien dan keluarga untuk secara bertahap menjadi terbiasa dengan perubahan tubuhnya, mungkin menyentuh area yang terganggu sebelum melihatnya
9)        Beri dorongan kepada pasien untuk :
Mempertahankan kebiasaan berhias sehari-hari yang rutin dilakukan
Berpartisipasi dalammegambil keputusan
Mengungkapkan secara verbal kekhawatiran tentang hubungan personal yang dekat dan respons orang lain terhadap perubahan tubuhnya
Mengungkapkan secara verbal konsekuensi perubahan fisik dan emosi yang memengaruhi konsep diri
(Wilkinson, Judith M. 2013)
2.2.2.10    Hambatan mobilitas fisik
            Dapat dihubungkan dengan terapi pembatasan, takut terhadap lepasnya kateter, penurunan kekuatan/tahanan; gangguan muskuloskeletal. Gangguan persepsi kognitif.
            Kemungkinan dubuktikan oleh:
Menolak untuk bergerak, ketidakmampuan untuk bergerak dalam lingkungan fisik. Penurunan massa otot/tonus dan kekuatan. Gangguan koordinasi. Nyeri, tak nyaman.
            Hasil yang diharapkan/kriteria evaluasi, pasien akan:
-       Mempertahankan mobilitas/fungsi optimal.
-       Menunjukkan peningkatan kekuatan dan bebas dari komplikasi (kontraktur, dekubitus)
            Tindakan/Intervensi:
1)      Kaji keterbatasan aktivitas, perhatikan adanya/derajat. keterbatasan/kemampuan.
Rasional: mempengaruhi pilihan intervensi.
2)      Ubah posisi secara sering bila tirah baring
Rasional: menurunkan ketidaknyamanan, meningkatkan sirkulasi, dan mencegah kerusakan kulit.
3)      Pertahankan kebersihan dan kekeringan kulit.
Rasional: mencegah iritasi kulit
4)      Bantu dalam latihan rentang gerak aktif/pasif.
Rasional: mempertahankan kelenturan sendi, mencegah kontraktur, dan membantu dalam menurunkan tegangan otot.
5)      Implementasikan program latihan bila tepat.
Rasional: penelitian menunjukkan bahwa program latihan teratur mempunyai keuntungan pada pasien.
(Doenges, E. Marilynn, 2002)
2.2.3        Implementasi
Implementasi adalah tahap ketika perawat mengaplikasikan rencana asuhan keperawatan ke dalam bentuk intervensi keperawatan guna membantu kien mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Kemampuan yang harus dimiliki perawat pada tahap implementasi adalah kemampuan komunikasi yang efektif, kemampuan untuk menciptakan hubungan saling percaya dan saling bantu, kemampuan melakukan teknik psikomotor, kemampuan melakukan observasi sistematis, kemampuan memberikan pendidikan kesehatan, kemampuan advokasi, dan kemampuan evaluasi.
Implementasi tindakan keperawatan dibedakan menjadi tiga kategori, yaitu independent, interdependent, dan dependen.
1.      Independent, yaitu suatu kegiatan yang dilaksanakan oleh perawat tanpa petunjuk dari dokter atau tenaga kesehatan lainnya. Lingkup tindakan keperawatan independen, antara lain:
a.       Mengkaji klien atau keluarga melalui riwayat keperawatan dan pemeriksaan fisik untuk mengetahui status kesehatan klien.
b.      Merumuskan diagnosis keperawatan sesuai respons klien yang memerlukan intervensi keperawatan.
c.       Mengidentifikasi tindakan keperawatan untuk mempertahankan atau memulihkan kesehatan klien.
d.      Mengevaluasi respons klien terhadap tindakan keperawatan dan medis.
2.      Interdependet, yaitu suatu kegiatan yang memerlukan kerjasama dari tenaga kesehatan lain (mis., ahli gizi, fisioterapi, dan dokter).
3.      Dependen, berhubungan dengan pelaksanaan rencana tindakan medis/instruksi dari tenaga medis.
Hal lain yang tidak kalah penting pada tahap implementasi ini adalah mengevaluasi respons atau hasil dari tindakan keperawatan yang dilakukan terhadap klien serta mendokumentasikan semua tindakan yang telah dilaksanakan berikut respons atau hasilnya.
(Asmadi, 2008)
2.2.4        Evaluasi
Evaluasi adalah tahap akhir dari proses keperawatan yang merupakan perbandingan yang sistematis dan terencana antara hasil akhir yang teramati dan tujuan atau kriteria hasil yang dibuat pada tahap perencanaan. Evaluasi dilakukan secara berkesinambungan dengan melibatkan klien dan tenaga kesehatan lainnya. Jika hasil evaluasi menunjukkan tercapainya tujuan dan kriteria hasil, klien bisa keluar dari siklus proses keperawatan. Jika sebaliknya, klien akan masuk kembali ke dalam siklus tersebut mulai dari pengkajian ulang (reassessment). Secara umum, evaluasi ditujukan untuk:
1.        Melihat dan menilai kemampuan klien dalam mencapai tujuan.
2.        Menentukan apakah tujuan keperawatan telah tercapai atau belum.
3.        Mengkaji penyebab jika tujuan asuhan keperawatan belum tercapai.
Evaluasi terbagi atas dua jenis, yaitu evaluasi formatif dan evaluasi sumatif. Evaluasi formatif berfokus pada aktivitas proses keperawatan dan hasil tindakan keperawatan. Evaluasi formatif ini dilakukan segera setelah perawat mengimplementasikan rencana keperawatan guna menilai keefektifan tindakan keperawatan yang telah dilaksanakan. Perumusan evaluasi formatif ini meliputi empat komponen yang dikenal dengan istilah SOAP, yakni subjektif (data berupa keluhan klien), objektif (data hasil pemeriksaan), analisis data (pembandingan data dengan teori), dan perencanaan.
            Evaluasi sumatif adalah evaluasi yang dilakukan setelah semua aktivitas proses keperawatan selesai dilakukan. Evaluasi sumatif ini bertujuan menilai dan memonitor kualitas asuhan keperawatan yang telah diberikan. Metode yang dapat digunakan pada evaluasi jenis ini adalah melakukan wawancara pada akhir layanan, menanyakan respons klien dan keluarga terkait layanan keperawatan, mengadakan pertemuan pada akhir layanan.
            Ada tiga kemungkinan hasil evaluasi yang terkait dengan pencapaian tujuan keperawatan.
1.      Tujuan tercapai jika klien menunjukkan perubahan sesuai dengan standar yang telah ditentukan.
2.      Tujuan tercapai sebagian atau klien masih dalam proses pencapaian tujuan jika klien menunjukkan perubahan pada sebagian kriteria yang telah ditetapkan.
3.      Tujuan tidak tercapai jika klien hanya menunjukkan sedikit perubahan dan tidak ada kemajuan sama sekali serta dapat timbul masalah baru.
(Asmadi, 2008)




 
BAB 3
TINJAUAN KASUS

3.1  Pengkajian
3.1.1        Identitas klien dan keluarga
Inisial pasien               : Tn. Z
Umur                           : 60 tahun
Alamat                                    : Rowotengah, Sumberbaru - Jember
Jenis kelamin               : Laki-laki
Agama                         : Islam
Pendidikan                  : SD
Pekerjaan                     : Tani
Status                          : Nikah
Golongan darah          : O
Nomer RM                  : 14.54.11

Inisial informan           : Tn. J
Hubungan keluarga     : Istri
Umur                           : 55 tahun
Alamat                                    : Rowotengah, Sumberbaru - Jember
Pekerjaan                     : Swasta
Tanggal MRS/pukul                : 18 Maret 2013 / 07.30 WIB
Tanggal pengkajian/pukul       : 18 Maret 2013 / 13.00 WIB
56
 
 


3.1.2        Riwayat keperawatan dan kesehatan klien
3.1.2.1  Keluhan utama
3.1.2.1.1        Keluhan saat MRS
Klien mengatakan susah buang air kecil sejak 1 bulan yang lalu, sebelum dipasang selang frekuensi kencing sering tapi sedikit-sedikit, sering kambuh pada malam hari, nyeri jika dipaksakan mengejan, tidak keluar darah.
3.1.2.1.2        Keluhan saat ini
Klien mengatakan setelah dipasang selang sudah tidak sakit lagi saat kencing, tetapi klien mengatakan belum siap menjalani operasi. Klien tidak mengeluh sesak.
3.1.2.2  Riwayat penyakit sekarang
Klien mengatakan sulit buang air kecil sejak 1 bulan yang lalu, frekuensi kencing sering tapi sedikit-sedikit, sering kambuh pada malam hari, dan sakit jika dipaksakan mengejan. Kemudian klien memeriksakan ke Puskesmas Tanggul dan dipasang selang. Tanggal 18 Maret 2013 klien memeriksakan ke Poli Bedah RSD dr. Haryoto Lumajang, dan dokter menyarankan agar Tn. Z menjalani rawat inap karena prostatnya bermasalah dan harus dioperasi. Hari itu juga Tn. Z menjalani perawatan di Ruang Kenanga RSD dr. Haryoto Lumajang.
3.1.2.3  Riwayat penyakit masa lalu
Klien mengatakan pernah menderita penyakit yang sama 13 tahun yang lalu tetapi tidak sampai operasi, klien juga mengatakan mempunyai darah tinggi dan tidak mempunyai kencing manis.


3.1.2.4  Riwayat penyakit keluarga
Klien mengatakan anggota keluarganya tidak ada yang menderita penyakit seperti ini, klien mengatakan di keluarganya yang mempunyai penyakit darah tinggi adalah ibunya. Klien mengatakan dirinya dan keluarganya tidak ada yang menderita kencing manis.
3.1.2.5  Pola fungsi kesehatan
3.1.2.5.1        Pola persepsi dan tata laksana kesehatan
Pola persepsi: Klien mengatakan tidak tahu penyakit yang di deritanya dan apa penyebabnya.
Tata laksana kesehatan:
Sebelum MRS: Klien mengatakan jika sakit hanya membeli obat di warung, tapi jika tidak sembuh baru memeriksakan ke Puskesmas. Klien mengatakan tiap kencingnya sulit keluar, klien minum yang banyak supaya lancar, dan biasanya kencingnya berhasil keluar agak banyak.
Selama MRS:  Klien kooperatif dalam menjalani pengobatan penyakitnya.
3.1.2.5.2        Pola nutrisi dan metabolik
Sebelum MRS: Klien mengatakan makan 2-3 kali sehari dengan porsi satu piring habis, lauk sayur, tempe, dan ikan, sebelum memakai selang kadang tidak enak makan karena mual, tetapi tidak sampai muntah. Klien mengatakan minum air putih 5-6 kali sehari (± 1200cc), kadang minum teh dan kopi. Klien mengatakan BB sebelum MRS kira-kira 47 Kg.
Selama MRS: Klien makan teratur 3 kali sehari porsi rumah sakit habis setengahnya dengan diit TKTP. Klien mengatakan rutin minum air mineral 2 botol sehari 3000cc). Klien mengatakan tidak pernah merasakan mual/muntah.
3.1.2.5.3        Pola eliminasi
Sebelum MRS: Klien mengatakan BAB 1x sehari dengan konsistensi lembek, warna kuning kecoklatan, dan BAK sebelum memakai selang ±10 kali sehari (±500cc), warna kuning kecoklatan, bau khas. Klien mengatakan sebelum dipasang selang frekuensi kencing sering tapi sedikit-sedikit, sering kambuh pada malam hari, nyeri jika dipaksakan mengejan, tidak keluar darah. BAK setelah dipasang selang 3-4 kali sehari (±800cc), warna kuning kecoklatan, bau khas (selang dipasang di Puskesmas Tanggul, urobag dilepas sendiri oleh Tn. Z karena dirasakan mengganggu aktivitasnya, kateter diikat).
Selama MRS: Klien mengatakan belum BAB sejak MRS, klien terpasang DC, BAK ±100cc tiap jam warna kuning kemerahan.
3.1.2.5.4        Pola tidur dan istirahat
Sebelum MRS: Klien mengatakan tidur selama 5-7 jam sehari, sebelum dipasang selang klien sering terbangun malam karena merasa ingin kencing, terkadang sampai mengganggu tidurnya karena sulit untuk tidur lagi.
Selama MRS: Klien mengatakan tidurnya cukup 8-10 jam sehari, klien mengatakan sudah jarang terbangun karena dipasang selang kencing.

3.1.2.5.5        Pola aktivitas dan latihan
Sebelum MRS: Klien bekerja sebagai petani, berangkat ke sawah mulai pukul 07.00 sampai pukul 14.00 WIB. Klien mengatakan tidak pernah berolahraga.
Selama MRS: Klien banyak terbaring di tempat tidur, kadang duduk, klien mengatakan sebagian aktifitas seperti ke kamar mandi dibantu keluarga, tidak ada nyeri saat bergerak atau berjalan.
3.1.2.5.6        Pola sensori dan pengetahuan
Pola sensori: Kesadaran klien kompos mentis, penglihatan baik, tidak terjadi penurunan pendengaran, indra pengecap baik.
Pola pengetahuan: Klien mengatakan tidak tahu penyakitnya dan apa penyebabnya. Klien sering bertanya tentang penyebab penyakitnya dan operasi apa yang akan dijalaninya.
3.1.2.5.7        Pola hubungan interpersonal dan peran
Klien mengatakan hubungan dengan keluarga dan tetangganya sangat baik, klien juga mengatakan tidak pernah minder dengan kondisinya. Klien merupakan tulang punggung keluarga selama di rumah, namun sejak MRS klien tidak bisa menjalankan perannya tersebut dengan optimal.
3.1.2.5.8        Pola persepsi dan konsep diri
Pola persepsi: Istri mengatakan bahwa selama MRS klien tidak menunjukkan tanda-tanda terganggunya integritas ego, seperti kacau mental, kegelisahan, dan perubahan perilaku. Klien tampak tegang saat di anamnesa.
Identitas diri: Klien dapat menyebutkan siapa dirinya dengan jelas.
Citra diri: Klien mengatakan tidak ada masalah pada penampilannya meskipun dipasang selang kencing.
Ideal diri: Klien berharap agar cepat sembuh dari penyakitnya.
Harga diri: Klien mengatakan tidak malu dengan penyakitnya.
Peran diri: Klien tidak bisa menjalankan peran dirinya sebagai kepala rumah tangga dan sebagai suami karena sakitnya.
3.1.2.5.9        Pola reproduksi dan seksual
Klien mempunyai 3 orang anak (klien menolak dikaji lebih dalam).
3.1.2.5.10    Pola penanggulangan masalah dan stress
Klien mengatakan jika ada masalah selalu mengatakan kepada istrinya, dan tidak pernah menggunakan obat-obatan untuk mengurangi stresnya.. Klien mengatakan belum siap menjalani operasi karena takut.
3.1.2.5.11    Pola tata nilai dan kepercayaan
Klien mengatakan biasanya rajin shalat jika di rumah, tetapi sejak menderita penyakit ini klien tidak pernah shalat karena memakai selang kencing. Klien percaya pada pengobatan rumah sakit dan penyakitnya akan sembuh.
3.1.3        Pemeriksaan fisik
3.1.3.1  Keadaan/penampilan/kesan umum klien
Klien terlihat lemah, tampak tegang saat dilakukan anamnesa, kesadaran compos mentis, klien terbaring di tempat tidur, sesekali duduk. Terpasang DC, terpasang infus di tangan kiri.
3.1.3.2  Tanda-tanda vital
Suhu tubuh            : 36,5 °C
Denyut nadi           : 75x/menit
Tekanan darah       : 200/90 mmHg
Respirasi                : 20x/menit
TB/BB                   : 163 cm/ 49 kg
3.1.3.3  Pemeriksaan fisik
Kepala                    : Kulit kepala sedikit kotor, tidak ada benjolan dan nyeri tekan, tidak ada deformitas.
Rambut                  : Pendek, tipis, beruban, rapi
Wajah                    : Simetris, tidak ada luka, tidak sianosis
Mata                       :  Simetris, konjungtiva tidak anemis, isokor, reflek cahaya positif, kornea jernih.
Hidung                  :  Sedikit kotor, tidak ada nyeri tekan, tidak ada benjolan, pernapasan cuping hidung tidak ada.
Telinga                   :  Kotor, tidak ada nyeri tekan dan benjolan, posisi sejajar, tidak terjadi penurunan pendengaran.
Mulut& faring       : Mukosa bibir lembab, gigi dan gusi kotor, tidak ada nyeri telan.
Leher                     :  Tidak ada benjolan dan nyeri tekan, tidak ada peningkatan JVP, kaku leher tidak ada.
3.1.3.4  Pemeriksaan integumen/kulit & kuku
Turgor kulit cukup, akral hangat, tidak ada lesi di bagian tubuh, CRT <2 detik, tekstur kulit kasar dan keriput, ikterik tidak ada.
3.1.3.5  Pemeriksaan thoraks/dada
Bentuk dada normochest, pergerakan dada simetris.
3.1.3.6  Pemeriksaan paru
Inspeksi           : Retraksi intercosta tidak ada, jumlah respirasi dalam 1 menit sebanyak 20 kali.
Palpasi             : Gerak dada simetris, vocal fremitus seimbang pada kedua sisi.
Perkusi            : Sonor.
Auskultasi       : Suara napas vesikuler di sebagian besar area paru, Ronkhi tidak ada, Wheezing tidak ada.
3.1.3.7  Pemeriksaan jantung
Inspeksi           : Ictus cordis terlihat.
Palpasi             : Ictus cordis teraba di ICS 5 MCL Sin bergeser 2cm
Perkusi            : Redup, batas atas ICS 2 sinistra, batas bawah ICS 5 sinistra
Auskultasi       : Irama jantung reguler, S1-S2 tunggal, tidak ada gallop, tidak ada murmur.
3.1.3.8  Pemeriksaan abdomen
Inspeksi           : Bentuk abdomen datar, tidak terlihat massa, bayangan vena tidak terlihat.
Auskultasi       : B/U 18 kali per menit
Perkusi            : Redup pada regio 8
Palpasi             : Tidak ada nyeri tekan, tidak teraba massa, tidak ada distensi kandung kemih.
3.1.3.9  Pemeriksaan kelamin dan daerah sekitar
Pemeriksaan genetalia: Kotor, tidak ada lesi dan benjolan, tidak ada nyeri tekan, terpasang DC.
Pemeriksaan anus: Colok dubur menunjukkan pembesaran prostat, batas atas teraba, tidak ada nodul, konsistensi kenyal.
3.1.3.10   Pemeriksaan muskuloskeletal (ekstremitas)
Terpasang infus di tangan kiri, ROM normal.
4
4
4
4
Kekuatan otot


x
x
x
x
Edema


3.1.3.11   Pemeriksaan neurologi
GCS total 15, E4V5M6, paralisis tidak ada.
Reflek fisiologis:        
Bicep               : +/+                            
Tricep              : +/+                
Brachio            : +/+                
Patella             : +/+                
Achiles            : +/+    



 
3.1.4        Pemeriksaan penunjang
3.1.4.1  Laboratorium
Tabel 3.1 Hasil pemeriksaan laboratorium Tn. Z dengan BPH di RSD dr. Haryoto Lumajang tanggal 18 Maret 2013 (15:54 WIB)
NO
JENIS PEMERIKSAAN
HASIL
NILAI NORMAL

HEMATOLOGI
1.
Hemoglobin
12,3
P 13,0-18,0 mg/dl
L 14,0-18,0 mg/dl
2.
Lekosit
6.400
3500-10000/cmm
3.
Eritrosit
5,70
L 4,5-6,5 juta/cmm
P 3,0-6,0 juta/cmm
4.
Laju Endap Darah
50
L 0-5/jam
P 0-7/jam
5.
Hematokrit
37
L 40-54%
P 35-47%
6.
Trombosit
486.000
150000-450000
7.
Diffcount
3/0/0/63/16/8
1-2/0-1/3-5/54-62/25-33/3-7

FAAL HATI
8.
SGOT
44
Up to 37 mU/ml
9.
SGPT
30
Up to 40 mU/ml

ELEKTROLIT ISE
10.
Kalium Serum
4,1
3,5-5,2 mMol/l
11.
Natrium Serum
138
135-148 mMol/l
12.
Clorida Serum
115
94-111 mMol/l

FAAL GINJAL
13.
BUN
20,83
10-20 mg/dl
14.
Serum Creatinin
1,13
P 0,7-1,2 mg/dl
L 0,8-1,5 mg/dl

KADAR GULA DARAH


15.
Gula Darah Acak
83
63-115 mg/dl

FAAL HEMOESTASIS


16.
PTT
13,2 DTK INR 0,82
13,5-20 detik
17.
APTT
30 DTK
27,0-40,0 detik

3.1.4.2  Radiologi
Hasil foto thoraks pada tanggal 18 Maret 2013 : Kardiomegali
USG Urologi : Nefrolithiasis D ±2cm dan BPH


3.2  Analisa Data
Tabel 3.2 Analisa data Tn. Z dengan BPH di Ruang Kenanga RSD dr. Haryoto Lumajang tahun 2013
NO DX
DATA
PENYEBAB
MASALAH
1.
DS: Klien mengatakan susah buang air kecil sejak 1 bulan yang lalu, sebelum dipasang selang frekuensi kencing sering tapi sedikit-sedikit, sering kambuh pada malam hari, nyeri jika dipaksakan mengejan. Klien mengatakan BAK sebelum memakai selang ±10 kali setiap hari (±500cc).
DO: - Klien tampak lemah
        -  Klien terpasang DC
        - BAK setelah dipasang DC ±100cc tiap jam warna kuning kemerahan.
        - Colok dubur menunjukkan pembesaran prostat, batas atas teraba, tidak ada nodul, konsistensi kenyal.
        - USG Urologi : Nefrolithiasis D ±2cm dan BPH
Pembesaran prostat
Retensi urine
2.
DS: Klien mengatakan belum siap menjalani operasi karena takut.
DO: - TD: 200/90 mmHg
       - Nadi: 75x/menit
       - RR: 20x/menit
        - Klien tampak tegang saat berbicara
Perubahan status kesehatan dan prosedur bedah
Ketakutan/ansietas
3.







Lanjutan Tabel 3.2 Analisa data Tn. Z dengan BPH di Ruang Kenanga RSD dr. Haryoto Lumajang tahun 2013
 
 


NO
DX
DS: Klien mengatakan tidak tahu penyakitnya dan apa penyebabnya.
DO: - Klien sering bertanya tentang penyebab penyakitnya dan operasi apa yang akan dijalaninya.



DATA

        - Klien tidak dapat menjawab pertanyaan tentang penyebab penyakitnya.
Kurang informasi










PENYEBAB
Kurang pengetahuan (kebutuhan belajar) tentang kondisi, prognosis, dan kebutuhan pengobatan



MASALAH
4.
DS: Klien mengatakan sebagian aktifitas seperti ke kamar mandi dibantu  keluarga
DO: -  Klien tampak lemah
        -  Klien tampak banyak terbaring di tempat tidur, kadang duduk.
       -  Klien terpasang DC
       -  Kekuatan otot
               4    4
               4    4
Penurunan kekuatan/tahanan
Hambatan mobilitas fisik
5.
DS: Klien mengatakan sudah dipasang selang kencing di Puskesmas Tanggul.
DO: -  Nadi: 75x/menit
       -  Suhu: 36,5 °C
       -  RR: 20x/menit
       -  TD: 200/90 mmHg
       -  Lekosit: 6.400/cmm
       -  Klien terpasang DC
        -  Genetalia tampak kotor, tidak ada lesi/benjolan, tidak ada nyeri tekan .
Pemasangan kateter
Risiko infeksi
6.
DS: Klien tidak mau berterus terang terhadap kondisi seksualnya. Klien mengatakan memakai selang kencing sejak dari puskesmas.
DO: Klien terpasang DC permanen selama 1 bulan
Ancaman konsep diri
Risiko disfungi seksual
7.






Lanjutan Tabel 3.2 Analisa data Tn. Z dengan BPH di Ruang Kenanga RSD dr. Haryoto Lumajang tahun 2013
 
 


NO
DX
DS: Klien mengatakan mempunyai darah tinggi.
DO: - TD: 200/90 mmHg
       - Nadi: 75x/menit
       - RR: 20x/menit
        - Hasil foto thoraks: kardiomegali
       


DATA

        - Akral hangat
        - CRT <2 detik
        - Sesak tidak ada
        - Bunyi jantung S1-S2 tunggal
Perubahan kontraktilitas jantung







MASALAH
Risiko tinggi terhadap penurunan curah jantung






PENYEBAB

3.3  Daftar Masalah Keperawatan
3.3.1        Retensi urine
3.3.2        Ketakutan/ansietas
3.3.3        Kurang pengetahuan
3.3.4        Hambatan mobilitas fisik
3.3.5        Risiko infeksi
3.3.6        Risiko disfungsi seksual
3.3.7        Risiko tinggi penurunan curah jantung
3.4  Prioritas Diagnosa Keperawatan
3.4.1        Retensi urine berhubungan dengan pembesaran prostat ditandai dengan adanya frekuensi, keragu-raguan, ketidakmampuan mengosongkan kandung kemih untuk berkontraksi adekuat.
3.4.2        Ketakutan/ansietas berhubungan dengan perubahan status kesehatan dan prosedur bedah ditandai dengan peningkatan tegangan, klien mengekspresikan masalah tentang ketakutan/ansietas.
3.4.3        Kurang pengetahuan (kebutuhan belajar) tentang kondisi, prognosis, dan kebutuhan pengobatan berhubungan dengan kurang informasi ditandai dengan, klien sering bertanya dan meminta informasi tentang penyakitnya.
3.4.4        Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan penurunan kekuatan/tahanan ditandai dengan sebagian aktifitas klien masih dibantu keluarga.
3.4.5        Risiko infeksi berhubungan dengan pemasangan kateter ditandai dengan klien terpasang DC selama masa perawatan.
3.4.6        Risiko disfungsi seksual berhubungan dengan ancaman konsep diri ditandai dengan klien tidak mau berterus terang terhadap kondisi seksualnya.
3.4.7        Risiko tinggi penurunan curah jantung berhubungan dengan perubahan kontraktilitas jantung ditandai dengan adanya kardiomegali.


3.5  Implementasi
Tabel  3.4  Implementasi   keperawatan   pada  Tn.  Z   dengan  BPH  di  ruang    Kenanga RSD dr. Haryoto Lumajang tahun 2013
TANGGAL
NO DX
JAM
IMPLEMENTASI
18 Maret 2013









































Lanjutan Tabel  3.4 Implementasi  keperawatan  pada  Tn. Z  dengan  BPH di  ruang    Kenanga RSD dr. Haryoto Lumajang tahun 2013

 
 


G
TANGGAL












































Lanjutan Tabel 3.4 Implementasi   keperawatan   pada  Tn. Z  dengan  BPH  di  ruang    Kenanga RSD dr. Haryoto Lumajang tahun 2013

 
 
 


TANGGAL
 



1.
13.30
1.   Membina hubungan saling percaya dengan klien.
Respon: Klien mengatakan “Iya mas, nama saya pak Z”
2.   Menanyakan pada klien tentang proses timbulnya penyakitnya dulu.
Respon: Klien mengatakan “Kalau dulu sebelum dipasang selang ya susah kencingnya mas, sakit kalau dipaksa”
3.   Mencatat jumlah output klien.
Respon: Urine output ±100cc/jam
4.   Melakukan pemeriksaan abdomen (perkusi/palpasi area suprapubik).
Respon: redup regio 8, tidak ada nyeri tekan, tidak teraba massa, tidak ada distensi kandung kemih.
5.   Mengawasi tanda vital.
Respon: TD: 200/90 mmHg, nadi 75x/menit, RR 20x/menit.
2.
13.45
1.   Memberikan informasi tentang prosedur pembedahan, manfaat, resiko, dan apa saja yang perlu dipersiapkan klien.
Respon: Klien mengatakan “Oo..gitu ya mas, jadi saya harus puasa dulu?”
2.   Melindungi privasi klien.
Respon: Klien terlihat nyaman dan tenang saat dilakukan anamnesa dan pemeriksaan fisik
3.   Menganjurkan klien untuk menyatakan masalah dan perasaannya saat ini.
Respon: “Iya mas, sebenarnya saya belum siap, soalnya saya tidak pernah dioperasi”
4.   Memberi penguatan informasi yang telah diberikan pada klien sebelumnya.
Respon: “Sebelum operasi saya harus puasa dulu, dan tidak boleh kepikiran apa-apa”
3.







NO
DX
14.00








JAM
1.   Mengkaji ulang proses penyakit klien, bagaimana terjadinya, dan pengalaman klien selama ini.
Respon: Klien mengatakan “Saya sering merokok dan ngopi mas, kalau sudah kumat rasanya sakit sampai tidak bisa tidur, di



IMPLEMENTASI

rumah tidak beli obat, cuma minum air putih yang banyak.
2.   Menganjurkan klien untuk mengungkapkan rasa takutnya.
Respon: Klien mengatakan “Saya belum siap operasi mas, kalau bisa pakai selang saja”
3.   Memberikan informasi tentang penyakit dan informasi bahwa penyakit ini tidak dapat ditularkan.
Respon: Klien mengatakan “Oo..gitu ya mas..”
4.   Menganjurkan klien untuk menghindari makanan berbumbu, kopi, dan alkohol yang dapat meningkatkan iritasi pada prostatnya.
Respon: Klien mengatakan “Iya mas, saya sudah berhenti merokok seminggu ini, tapi masih minum kopi”
5.   Mengkaji ulang tanda dan gejala penyakit klien.
Respon: Klien mengatakan “Kalau sakitnya sudah hilang mas, tapi harus minum yang banyak biar kencingnya lancar”
4.
14.25
1.   Mengkaji keterbatasan aktivitas klien.
    Respon: rentang gerak bebas
2.   Menganjurkan pada klien untuk mengubah posisi secara sering bila tidur lama.
    Respon: Klien mengatakan “iya mas”
3.   Menganjurkan klien untuk mempertahankan kebersihan dan kekeringan kulit.
    Respon: Klien mengatakan “iya mas, jadi tidak boleh lembab ya”
4.   Mengajarkan klien latihan rentang gerak aktif di atas bed.
    Respon: klien kooperatif, dan bisa melakukan instruksi dengan benar.
5.







NO
DX
14.30








JAM


1.   Mengajarkan perawatan kateter dan menganjurkan klien untuk menjaga kebersihan sekitar genetalia.
    Respon: kateter dan daerah sekitar genetalia bersih, klien mengatakan “iya mas, akan saya bersihkan setiap hari”



IMPLEMENTASI

2.   Mengawasi dan mengukur tanda vital.
    Respon: TD: 200/90 mmHg, nadi 75x/menit, RR 20x/menit.
6.
14.45
1.   Melakukan komunikasi dengan klien tentang masalah inkontinensia dan fungsi seksual yang dialaminya.
Respon: “iya mas”
2.   Memberikan informasi tentang fungsi seksual.
Respon: klien mendengarkan dengan seksama.
3.   Menganjurkan klien untuk mengungkapkan masalah seksualnya dan menjawab pertanyaan klien:
Respon: klien mengatakan “maaf mas, kayaknya saya tidak bisa ditanyain terus”
7.
15.00
1.   Memantau dan mengukur TD pada kedua tangan.
Respon: TD antara kedua tangan sama 200/90 mmHg.
2.   Mengauskultasi jantung dan bunyi napas.
Respon: Bunyi jantung reguler, S1-S2 tunggal, suara napas vesikuler di sebagian besar area paru, ronkhi dan wheezing tidak ada. Nadi 75x/menit, RR 20x/menit.
3.   Mengamati warna kulit, kelembaban, suhu, dan masa pengisian kapiler.
Respon: turgor cukup, akral hangat, tidak ikterik CRT <2 detik
4.   Memberikan lingkungan tenang, nyaman, dan membatasi pengunjung.
Respon: Klien tampak tenang.
5.   Membatasi aktivitas klien, membantu melakukan beberapa aktivitas.
Respon: Klien mengatakan “Iya mas, saya juga tidak berani ke kamar mandi sendiri”
6.   Mengajarkan teknik relaksasi napas dalam.
Respon: Klien dapat mempraktekkan napas dalam dengan menarik napas, menahan dan hembuskan.
7.   Membatasi pemasukan cairan klien.
Respon: Klien mengatakan “Iya mas, saya sudah minum sedikit dari tadi pagi”
Lanjutan Tabel 3.4 Implementasi   keperawatan   pada  Tn. Z  dengan  BPH di  ruang    Kenanga RSD dr. Haryoto Lumajang tahun 2013

 



TANGGAL
 

19 Maret 2013










































 



TANGGAL


NO
DX

2.



JAM

08.00



IMPLEMENTASI

1.   Membina hubungan saling percaya dengan klien.
Respon: Klien mengatakan “Alhamdulillah baik mas”
2.   Memberikan informasi tentang prosedur pembedahan, manfaat, resiko, dan apa saja yang perlu dipersiapkan klien.
Respon: Klien mengatakan “Iya mas, padahal saya sudah siap, tapi ternyata ditunda”
3.   Melindungi privasi klien.
Respon: Klien terlihat nyaman dan tenang saat anamnesa dan pemeriksaan fisik
4.   Menganjurkan klien untuk menyatakan masalah dan perasaannya saat ini.
Respon: “Ya sebenernya masih takut mas, tapi mau gimana lagi”
5.   Memberi penguatan informasi yang telah diberikan pada klien sebelumnya.
Respon: “Iya mas, puasa dulu 10 jam, dan tidak boleh kepikiran apa-apa”
3.
08.15
1.   Menganjurkan klien untuk mengungkapkan rasa takutnya.
Respon: Klien mengatakan “Kalau sekarang kayaknya siap mas, soalnya sudah agak tenang daripada kemarin”
2.   Mengkaji ulang tanda dan gejala penyakit klien.
Respon: Klien mengatakan “Keluhannya sama kayak kemarin mas”
4.
08.30
1.   Menganjurkan klien untuk mempertahankan kebersihan dan kekeringan kulit.
    Respon: Klien mengatakan “sudah mas, saya sudah diseka tadi”
2.   Mengajarkan klien latihan rentang gerak aktif di atas bed.
    Respon: klien kooperatif, dan bisa melakukan instruksi dengan benar.
6.





NO
DX
08.50






JAM
1.   Melakukan komunikasi dengan klien tentang masalah inkontinensia dan fungsi seksual yang dialaminya.
Respon: “iya mas”



IMPLEMENTASI

2.   Memberikan informasi ulang tentang fungsi seksual.
Respon: klien mendengarkan dengan seksama.
3.   Menganjurkan klien untuk mengungkapkan masalah seksualnya dan menjawab pertanyaan klien:
    Respon: klien mengatakan “iya mas, tapi mulai besok jangan ditanya-tanya lagi ya mas, saya keberatan”
7.
09.00
1.   Memantau dan mengukur TD pada kedua tangan.
Respon: TD antara kedua tangan sama 160/80 mmHg.
2.   Mengauskultasi jantung dan bunyi napas.
Respon: Bunyi jantung reguler, S1-S2 tunggal tidak ada gallop dan murmur, suara napas vesikuler di sebagian besar area paru, ronkhi dan wheezing tidak ada. Nadi: 88x/menit, RR 22x/menit.
3.   Mengamati warna kulit, kelembaban, suhu, dan masa pengisian kapiler.
Respon: turgor cukup, akral hangat, tidak ikterik CRT <2 detik
4.   Memberikan lingkungan tenang, nyaman, dan membatasi pengunjung.
Respon: Klien tampak tenang.
5.   Membatasi aktivitas klien, membantu melakukan beberapa aktivitas.
Respon: Klien mengatakan “Iya mas, biasanya kalau makan minta bantu ibuk”
6.   Mengajarkan teknik relaksasi napas dalam.
Respon: Klien dapat mempraktekkan napas dalam dengan menarik napas, menahan dan hembuskan.
7.   Membatasi pemasukan cairan klien.
Respon: Klien mengatakan “Iya mas, saya sudah minum sedikit dari tadi pagi”
8.   Memberikan obat vasodilator (nifedipine) dan captopril peroral.
Respon: Klien kooperatif, tidak terdapat tanda-tanda syok.

Lanjutan Tabel  3.4 Implementasi  keperawatan  pada  Tn. Z  dengan  BPH di  ruang    Kenanga RSD dr. Haryoto Lumajang tahun 2013

 



TANGGAL
 

20 Maret 2013


NO
DX

3.



JAM

09.00



IMPLEMENTASI

1.   Memantau dan mengukur TD pada kedua tangan.
Respon: TD antara kedua tangan sama 150/80 mmHg.
2.   Mengauskultasi jantung dan bunyi napas.
Respon: Bunyi jantung reguler, S1-S2 tunggal tidak ada gallop dan murmur, suara napas vesikuler di sebagian besar area paru, ronkhi dan wheezing tidak ada. Nadi: 86x/menit, RR 20x/menit.
3.   Mengamati warna kulit, kelembaban, suhu, dan masa pengisian kapiler.
Respon: turgor cukup, akral hangat, tidak ikterik CRT <2 detik
4.   Memberikan lingkungan tenang, nyaman, dan membatasi pengunjung.
Respon: Klien tampak tenang.
5.   Membatasi aktivitas klien, membantu melakukan beberapa aktivitas.
Respon: Klien mengatakan “Iya mas, terimakasih”
6.   Mengajarkan teknik relaksasi napas dalam.
Respon: Klien dapat mempraktekkan napas dalam dengan menarik napas, menahan dan hembuskan.
7.   Membatasi pemasukan cairan klien.
Respon: Klien mengatakan “Iya mas sudah”
21 Maret 2013
















 



TANGGAL
3.


















NO
DX
08.00



















JAM



1.   Memantau dan mengukur TD pada kedua tangan.
Respon: TD antara kedua tangan sama 180/80 mmHg.
2.   Mengauskultasi jantung dan bunyi napas.
Respon: Bunyi jantung reguler, S1-S2 tunggal tidak ada gallop dan murmur, suara napas vesikuler di sebagian besar area paru, ronkhi dan wheezing tidak ada. Nadi: 84x/menit, RR 22x/menit.
3.   Mengamati warna kulit, kelembaban, suhu, dan masa pengisian kapiler.
Respon: turgor cukup, akral hangat, tidak ikterik CRT <2 detik
4.   Memberikan lingkungan tenang, nyaman, dan membatasi pengunjung.
Respon: Klien tampak tenang.



IMPLEMENTASI

5.   Membatasi aktivitas klien, membantu melakukan beberapa aktivitas.
Respon: Klien mengatakan “Iya mas, terimakasih, oh iya, nanti saya ulang mas”
6.   Mengajarkan teknik relaksasi napas dalam.
Respon: Klien dapat mempraktekkan napas dalam dengan menarik napas, menahan dan hembuskan.
7.   Membatasi pemasukan cairan klien.
Respon: Klien mengatakan “Iya mas sudah”

3.1  Evaluasi
Tabel 3.5 Evaluasi keperawatan pada Tn. Z dengan BPH di ruang Kenanga RSD dr. Haryoto Lumajang tahun 2013
TANGGAL
NO DX
SOAP
18 Maret 2013
Pukul 16.00








































 



TANGGAL
1.
S: Klien mengatakan setelah dipasang selang sudah tidak sakit lagi saat kencing.
O: - Klien tampak lemah
    - Klien terpasang DC
     - BAK setelah dipasang DC ±100cc tiap jam warna  kuning kemerahan.
     - Perkusi area suprapubik redup regio 8, tidak ada nyeri tekan, tidak teraba massa, tidak ada distensi kandung kemih.
     - TD: 200/90 mmHg
     - Nadi: 80x/menit
     - RR: 22x/menit
A: Masalah teratasi
P: Hentikan intervensi
2.
S: Klien mengatakan dirinya pasrah saja dengan tindakan yang akan dilakukan.
O: - TD: 200/90 mmHg
     - Nadi: 80x/menit
     - RR: 22x/menit
A: Masalah teratasi sebagian
P: Lanjutkan intervensi 1, 2, 3, 4, dan 5
3.
S: Klien mengatakan bahwa penyebab penyakitnya adalah faktor usia.
O: Klien dapat menjawab penyebab penyakit , tetapi klien lupa apa saja yang harus disiapkan sebelum operasi.
A: Masalah teratasi sebagian
P: Lanjutkan intervensi 2, dan 5
4.
S: Klien mengatakan sudah bisa makan sendiri, tapi untuk ke kamar mandi memang harus dibantu
O: - Klien tampak lemah
    - Klien terpasang DC
    - Klien tidak mengeluh nyeri
     - Rentang gerak klien bebas
     - Kekuatan otot
               4    4
               4    4
A: Masalah teratasi sebagian
P: Lanjutkan intervensi 3 dan 4
5.




NO
DX
S: Klien mengatakan sudah mengerti cara membersihkan daerah kelaminnya, dan merasa lebih enakan setelah selang kencingnya dibersihkan



SOAP

O: - Klien terpasang DC, bersih
     - genetalia bersih, tidak ada benjolan dan nyeri  tekan
    - TD: 200/90 mmHg
    - Nadi: 80x/menit
    - RR: 22x/menit
    - Suhu: 37 °C
A: Masalah teratasi
P: Hentikan intervensi
6.
S: Klien menyatakan keberatan untuk ditanya masalah ini.
O: - Klien tampak tegang saat berbicara
    - Klien terpasang DC
A: Masalah belum teratasi
P: Lanjutkan semua intervensi
7.
S: -
O: - TD: 200/90 mmHg
     - Nadi: 80x/menit
     - RR: 22x/menit
     - Akral hangat, CRT <2 detik
     - Sesak tidak ada
     - Bunyi jantung S1-S2 tunggal
A: Masalah teratasi sebagian
P: Lanjutkan semua intervensi
19 Maret 2013
Pukul 10.00


















 



TANGGAL
2.
S: Klien mengatakan siap operasi hari ini dan sudah puasa dari jam 10 tadi malam.
O: - TD: 160/80 mmHg
     - Nadi: 88x/menit
     - RR: 22x/menit
A: Masalah teratasi
P: Hentikan intervensi
3.
S: Klien mengatakan mengatakan sudah mengerti tentang apa saja yang harus disiapkan sebelum operasi
O: Klien dapat menyebutkan persiapan sebelum operasi dengan benar
A: Masalah teratasi
P: Hentikan intervensi
4.








NO
DX
S: Klien mengatakan tidak ada nyeri, makan dan minum dilakukannya sendiri.
O: - Klien tampak segar
    - Klien terpasang DC
     - Rentang gerak klien bebas





SOAP

     - Kekuatan otot
               5    5
               5    5
A: Masalah teratasi
P: Hentikan intervensi
6.
S: Klien mengatakan tidak bisa ditanya terus tentang masalah seksualnya
O: - Klien tampak tenang
    - Klien terpasang DC
A: Masalah belum teratasi
P: Hentikan intervensi
7.
S: -
O: - TD: 160/80 mmHg
     - Nadi: 88x/menit
     - RR: 22x/menit
     - Akral hangat, CRT <2 detik
     - Sesak tidak ada
     - Bunyi jantung S1-S2 tunggal
A: Masalah teratasi sebagian (Operasi ditunda karena TD klien masih tinggi)
P: Lanjutkan semua intervensi
20 Maret 2013
Pukul 10.00
7.
S: -
O: - TD: 150/80 mmHg
     - Nadi: 86x/menit
     - RR: 20x/menit
     - Akral hangat, CRT <2 detik
     - Sesak tidak ada
     - Bunyi jantung S1-S2 tunggal
A: Masalah teratasi sebagian (Operasi ditunda sampai TD klien stabil)
P: Lanjutkan semua intervensi
21 Maret 2013
Pukul 10.00
7.
S: Klien mengatakan akan pulang
O: - TD: 180/80 mmHg
     - Nadi: 84x/menit
     - RR: 22x/menit
     - Akral hangat, CRT <2 detik
     - Sesak tidak ada
     - Bunyi jantung S1-S2 tunggal
A: Masalah teratasi sebagian (Klien pulang paksa)
P: Hentikan Intervensi


 
BAB 4
PEMBAHASAN
                                                                                                                    
4.1  Pengkajian
Pada kasus BPH yang terjadi padaTn. Z adalah pada saat Tn. Z berumur 60 tahun, hal ini sesuai dengan tinjauan teori yang mengatakan bahwa secara umum BPH terjadi pada pria berumur lebih dari 50 tahun.
Keluhan utama Tn. Z adalah susah buang air kecil sejak 1 bulan yang lalu, sebelum dipasang selang frekuensi kencing sering tapi sedikit-sedikit, sering kambuh pada malam hari, nyeri jika dipaksakan mengejan, tidak keluar darah. Pada tinjauan kasus, gejala-gejala BPH dikenal dengan istilah  Lower Urinary Tract Symptoms (LUTS) yang dibedakan menjadi gejala iritatif dan obstruktif. Pada kasus Tn. Z gejala-gejala tersebut muncul, diantaranya sering miksi (frekuensi), disuria, harus mengejan (straining) dan kencing terputus-putus (intermittency). Gejala yang tidak muncul adalah hematuria, hal ini bisa disebabkan karena ukuran prostat yang tidak begitu besar sehingga tidak sampai menyebabkan obstruksi total pada saluran kemih, hal ini didukung dengan pemeriksaan colok dubur yang menunjukkan adanya pembesaran prostat dengan batas atas teraba, yang dalam tinjauan teori menyatakan bahwa ukuran prostat kurang dari 60  gr.
88
 
Pada tinjauan teori, keluhan utama pada gangguan sistem perkemihan dapat menunjukkan gejala sesak napas akibat gangguan fungsi ginjal, hal ini tidak terjadi pada Tn. Z karena berdasarkan hasil pemeriksaan fisik paru dan laboratorium yang menunjukkan nilai normal, diantaranya pada inspeksi paru tidak terdapat retraksi dada, jumlah respirasi berjumlah 20 kali tiap menit, pada pemeriksaan faal ginjal didapatkan BUN 20,83 mg/dl dan kreatinin serum 1,13 mg/dl meskipun berdasarkan hasil foto thoraks mengatakan terjadi kardiomegali.
Pada riwayat kesehatan Tn. Z ditemukan bahwa 13 tahun yang lalu Tn. Z pernah mengalami penyakit yang gejalanya sama dengan penyakitnya sekarang, yang artinya pada umur 47 tahun Tn. Z sudah menderita gangguan prostat, sedangkan pada tinjauan teori mengatakan bahwa penyakit BPH muncul pada umur 50 tahun lebih. Hal ini dapat terjadi karena Tn. Z memiliki beberapa faktor resiko yang menurut tinjauan teori dapat meningkatkan terjadinya penyakit ini, diantaranya hipertensi dan penyakit jantung.
Dari 11 pola kesehatan antara teori dan tinjauan kasus terdapat beberapa perbedaan. Menurut tinjauan pustaka pada pola nutrisi dan metabolik seharusnya terjadi gangguan pemasukan makanan dan cairan karena efek penekanan/nyeri abdomen, sehingga terjadi gejala anoreksia, mual, muntah, dan penurunan berat badan. Tetapi pada Tn. Z tidak ditemukan gejala-gejala tersebut, Tn. Z makan teratur, tidak ada mual/muntah. Ini dapat terjadi karena 5 hari sebelum MRS Tn. Z sudah memakai DC, sehingga beberapa gejala, seperti nyeri abdomen dapat berkurang bahkan hilang Pada literatur, pola persepsi dan konsep diri pasien dengan kasus BPH seringkali terganggu integritas egonya yang ditandai dengan kegelisahan, kacau mental, dan perubahan perilaku, tetapi pada Tn. Z tidak ditemukan gejala-gejala tersebut, Tn. Z tidak menunjukkan gejala penurunan pada konsep dirinya, Tn. Z juga mengatakan tidak malu dengan penyakitnya. Pola hubungan interpersonal dan peran pada Tn. Z tidak menunjukkan perubahan yang seharusnya menurut literatur pasien dengan BPH akan merasa lebih rendah diri dan kurang sosialisasi dengan lingkungan sekitar. Hal tersebut dapat terjadi karena konsep diri antara pasien satu dengan yang lain berbeda-beda, dukungan dan peran keluarga juga mempengaruhi peningkatkan konsep diri Tn. Z, sehingga dia tidak mengalami gangguan integritas ego.
Pada pemeriksaan fisik abdomen (inspeksi, auskultasi, perkusi, dan palpasi) tidak ditemukan distensi kandung kemih, tidak terlihat masa dan tidak ada nyeri tekan seperti pada tinjauan teori. Hal ini dikarenakan Tn. Z sudah memakai DC 5 hari sebelum MRS, sehingga gejala-gejala pada tinjauan teori sudah berkurang atau bahkan hilang.
4.2  Diagnosa
Diagnosa keperawatan yang muncul pada tinjauan kasus yang sesuai dengan teori adalah sebagai berikut: retensi urine berhubungan dengan pembesaran prostat, ketakutan/ansietas berhubungan dengan perubahan status kesehatan dan prosedur bedah, kurang pengetahuan (kebutuhan belajar) tentang kondisi, prognosis, dan kebutuhan pengobatan berhubungan dengan kurang informasi, hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan penurunan kekuatan/tahanan, risiko infeksi berhubungan dengan pemasangan kateter, dan risiko disfungsi seksual berhubungan dengan ancaman konsep diri.
Sedangkan diagnosa keperawatan pada teori yang tidak muncul adalah nyeri (akut), resiko kekurangan volume cairan, perubahan eliminasi urine dan gangguan citra tubuh. Diagnosa yang tidak terdapat pada tinjauan teori tetapi diangkat pada tinjauan kasus Tn. Z adalah risiko tinggi terhadap penurunan curah jantung.
Diagnosa retensi urine berhubungan dengan pembesaran prostat muncul pada kasus Tn. Z, dibuktikan dengan keluhan Tn. Z yang mengatakan susah buang air kecil sejak 1 bulan yang lalu, sebelum dipasang selang, kencingnya sering tapi sedikit-sedikit, sering kumat kalau malam, nyeri jika dipaksakan mengejan. Klien mengatakan BAK sebelum memakai selang ±10 kali setiap hari (±500cc).
Pada diagnosa ketakutan/ansietas berhubungan dengan perubahan status kesehatan dan prosedur bedah sesuai dengan teori, hal ini dikarenakan Tn. Z menyatakan ketidaksiapan dalam menjalani prosedur pembedahan dengan alasan takut, Tn. Z juga tampak tegang saat dilakukan anamnesa.
Kurang pengetahuan (kebutuhan belajar) tentang kondisi, prognosis, dan kebutuhan pengobatan berhubungan dengan kurang informasi, diagnosa ini muncul karena Tn. Z sering bertanya tentang penyebab penyakitnya dan operasi apa yang akan dijalaninya. Tn. Z juga tidak dapat menjawab pertanyaan tentang penyebab penyakitnya.
Diagnosa hambatan mobilitas fisik pada Tn. Z muncul dalam kasus sebagaimana dalam tinjauan pustaka yang menyatakan bahwa klien dengan BPH aktivitasnya sering dibantu oleh keluarga, hal ini didukung pernyataan Tn. Z yang mengatakan sebagian aktifitas seperti ke kamar mandi masih dibantu keluarga.
Diagnosa risiko infeksi muncul dalam kasus Tn. Z dikarenakan pemasangan kateter dalam jangka waktu yang lama dapat meningkatkan risiko terjadinya infeksi, sesuai dengan tinjauan pustaka yang mengatakan bahwa pemasangan kateter dapat beresiko sebagai jalan masuknya bakteri dan kemungkinan terjadi infeksi/sepsis lanjut.
Diagnosa risiko disfungsi seksual dimunculkan pada kasus Tn. Z karena pada saat dilakukan anamnesa klien menunjukkan respon yang negatif dengan menyatakan menolak untuk dikaji selama masa perawatan. Hal dapat ini timbul karena mungkin Tn. Z benar-benar mengalami disfungsi seksual, tetapi klien berusaha menyangkal.
Diagnosa risiko tinggi terhadap penurunan curah jantung tidak terdapat dalam tinjauan teori, tetapi muncul pada kasus Tn. Z karena didapatkan data-data penunjang diangkatnya diagnosa keperawatan ini, seperti hasil pemeriksaan foto thoraks yang menyatakan adanya kardiomegali yang dapat beresiko terjadinya kegagalan fungsi jantung, sehingga perlu dilakukan intervensi.
Nyeri (akut) berhubungan dengan iritasi mukosa, distensi kandung kemih, infeksi urinaria, dan kolik ginjal. Diagnosa ini tidak muncul sebab tidak didapatkan keluhan nyeri, tidak adanya distensi kandung kemih, dan tidak didapatkannya tanda-tanda infeksi urinaria yang merupakan etiologi nyeri pada tinjauan teori. .
Diagnosa resiko tinggi kekurangan volume cairan tidak dapat ditegakkan karena tidak terjadi perbedaan yang mencolok antara input dan output cairan. Tn. Z rutin minum air mineral sebanyak 2 botol sehari 3000cc), sedangkan dari hasil observasi didapatkan Tn. Z BAK sebanyak 100cc/jam, dan penghitungan IWL (Insensible Water Loss) didapatkan dalam 24 jam sejumlah 735cc.
4.3  Intervensi
Intervensi yang dilakukan pada kasus Tn. Z secara keseluruhan sudah mengacu pada tinjauan teori. Namun ada beberapa intervensi yang tidak dapat dilakukan seperti intervensi berikan rendam duduk pada diagnosa retensi urine,  hal ini disebabkan karena terbatasnya tempat dan alat, intervensi dorong masukan cairan sampai 3000ml sehari pada diagnosa retensi urine, hal ini tidak memungkinkan untuk dilakukan mengingat tekanan darah klien yang selalu tinggi dan adanya kardiomegali.
Intervensi yang seharusnya dilakukan tetapi tidak terdapat pada kasus Tn. Z yaitu pemberian antibiotik pada masalah keperawatan risiko infeksi, intervensi ini seharusnya dilakukan mengingat Tn. Z menggunakan kateter dalam jangka waktu lama yang berisiko menimbulkan infeksi.
Secara keseluruhan intervensi pada diagnosa keperawatan pada kasus Tn. Z dapat dilakukan dengan baik dan sudah sesuai dengan tinjauan teori.
4.4  Implementasi
Pada prinsipnya semua tindakan keperawatan yang dilakukan terhadap klien mengacu pada perencanaan, tetapi tidak semua dapat diterapkan pada klien, hal ini dikarenakan keadaan klien yang tidak memungkinkan atau tidak membutuhkan dilakukannya tindakan yang sesuai dengan intervensi yang telah dibuat, seperti instruksikan latihan perineal pada diagnosa risiko disfungsi seksual, intervensi ini tidak dapat dilakukan karena klien masih terpasang kateter. Dan juga beberapa intervensi yang tidak dapat dilakukan karena keterbatasan komunikasi, seperti intervensi tentang bicakaran masalah seksual pada diagnosa kurang pengetahuan, hal ini terjadi karena Tn. Z menolak untuk dikaji lebih dalam dengan alasan privasi.
4.5  Evaluasi
Pada evaluasi tidak semua masalah keperawatan dapat teratasi, diantaranya masalah keperawatan risiko disfungsi seksual, hal ini dikarenakan adanya kendala hambatan komunikasi, masalah keperawatan risiko penurunan curah jantung juga belum dapat teratasi seluruhnya dikarenakan pada hari ke-4 perawatan klien pulang paksa karena keluarga menyatakan tidak sanggup membayar biaya pengobatan selanjutnya. Namun, dalam 4 hari perawatan, klien sudah menunjukkan banyak kemajuan, hal ini mengacu pada terpenuhinya semua kriteria hasil dalam tujuan yang terdapat pada perencanaan.

 
BAB 5
PENUTUP

5.1  Simpulan
5.1.1        Pengkajian keperawatan
Dalam pengkajian keperawatan tidak semua data dari klien dapat ditemukan sesuai dengan teori karena latar belakang, mekanisme pertahanan diri, pola hidup, sifat dan karakter, status sosial, lingkungan sosial budaya, tingkat pengetahuan dan respon klien terhadap penyakitnya berbeda-beda, karena mengingat manusia merupakan individu yang unik, multidimensi, dan holistik.
5.1.2        Diagnosa keperawatan
Dalam diagnosa keperawatan terdapat beberapa dignosa dalam teori yang tidak muncul, seperti risiko kekurangan volume cairan dan gangguan citra tubuh. Namun diagnosa keperawatan antara teori dan kasus sesungguhnya adalah tergantung dari kondisi individu dan penerimaan terhadap penyakitnya.
5.1.3        Intervensi dan implementasi keperawatan
Dalam perencanaan dan pelaksanaan proses keperawatan tidak mengalami perbedaan dengan teori, namun ada beberapa rencana keperawatan yang tidak dilakukan karena keadaan klien yang tidak memungkinkan dan tidak membutuhkan dilakukannya tindakan yang sesuai dengan intervensi yang telah dibuat.


95
 
 


5.1.4        Evaluasi keperawatan
Dalam melakukan evaluasi dari pelaksanaan tindakan keperawatan selama 4 hari, dilakukan kriteria standart yang telah ditetapkan pada perencanaan. Semua diagnosa keperawatan yang muncul pada kasus nyata dapat diatasi.
5.2  Saran
5.2.1        BPH merupakan penyakit yang dapat timbul kembali meskipun sudah dilakukan pembedahan, untuk itu perlu adanya edukasi yang lengkap kepada klien dan keluarga dalam mengetahui faktor resiko, penyebab dan gejala dini penyakit BPH. Pemeriksaan ulang (kontrol) yang teratur dapat memberikan perkembangan yang baik bagi klien untuk mencegah penyakit ini timbul kembali.
5.2.2        Pada umumnya klien dengan BPH mengalami respon maladaptif terhadap konsep dirinya. Adanya nyeri dari gangguan saluran kemih akan memberikan stimulus pada kecemasan dan ketakutan pada klien. Beberapa komplikasi akibat penyakit ini seperti impoten dapat mengganggu kondisi psikologis klien. Peran keluarga sebagai orang terdekat sangat membantu dalam memberikan dukungan dan persepsi yang positif pada klien sehingga menurunkan tingkat kecemasan dan meningkatkan harga diri klien.
5.2.3        Pengkajian dan pemeriksaan lengkap sangat penting untuk mencari etiologi dan menyingkirkan diagnosis banding seperti striktur, karsinoma, stenosis meatus atau fimosis. Untuk itu diperlukan pemeriksaan yang lengkap dan akurat untuk menegakkan diagnosa penyakit ini mulai dari anamnesa, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang.

5.2.4        Mengingat banyaknya komplikasi dan timbulnya gejala yang sangat mengganggu dari penyakit ini, maka perawat perlu memberikan health education dan melibatkan klien serta keluarga dalam melaksanakan asuhan keperawatan pada diri klien, dan keluarga dapat mengetahui cara perawatan klien dengan BPH dan dapat melaksanakan perawatan secara mandiri setelah klien keluar dari rumah sakit.
5.2.5        Klien dengan BPH dapat memberikan keluhan yang berbeda-beda sehingga saat pengkajian tidak semua data yang ada pada klien sama persis dengan teori sehingga diperlukan suatu pendekatan proses keperawatan untuk mempermudah perawatan agar cepat sembuh dari penyak.

2 comments:

  1. TERIMA KASIH ARTIKELNYA SANGAT BERMANFAAT. AKU MINTA YAH BUAT TUGAS

    ReplyDelete
  2. Thanks for Nice and Informative Post. This article is really contains lot more information about This Topic.  prostatic hypertrophy

    ReplyDelete

Sample Text

Popular Posts

Recent Posts

SEMOGA BERMANFAAT BUAT PEMBACA

Text Widget