BAB
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar
Belakang
Pembesaran
prostat benigna atau lebih dikenal sebagai BPH sering diketemukan pada pria
yang menapak usia lanjut. Istilah BPH atau benign prostatic hyperplasia sebenarnya
merupakan istilah histopatologis, yaitu terdapat hiperplasia sel-sel stroma dan
sel-sel epitel kelenjar prostat. Hiperplasia prostat benigna ini dapat dialami
oleh sekitar 70% pria di atas usia 60 tahun. Angka ini akan meningkat hingga
90% pada pria berusia diatas 80 tahun.
Keluhan yang
disampaikan oleh pasien BPH seringkali berupa LUTS (lower urinary tract symptoms)
yang terdiri atas gejala obstruksi (voiding symptoms) maupun iritasi (storage
symptoms) yang meliputi: frekuensi miksi meningkat, urgensi, nokturia,
pancaran miksi lemah dan sering terputus-putus (intermitensi), dan merasa tidak
puas sehabis miksi, dan tahap selanjutnya terjadi retensi urine. Hubungan
antara BPH dengan LUTS sangat kompleks. Tidak semua pasien BPH mengeluhkan
gangguan miksi dan sebaliknya tidak semua keluhan miksi disebabkan oleh BPH.
|
Beranekaragamnya penyebab dan
bervariasinya gejala penyakit, sering menimbulkan kesulitan dalam
penatalaksanaan BPH, sehingga pengobatan yang diberikan kadang-kadang tidak
tepat sesuai dengan etiologinya. Terapi yang tidak tepat bisa mengakibatkan terjadinya
BPH berkepanjangan. Kurangnya kesadaran dan pengetahuan masyarakat juga dapat
meningkatkan resiko terjadinya penyakit ini.
Office of Health
Economic Inggris telah mengeluarkan proyeksi prevalensi BPH bergejala di
Inggris dan Wales beberapa tahun ke depan. Pasien BPH bergejala yang berjumlah
sekitar 80.000 pada tahun 1991, diperkirakan akan meningkat menjadi satu
setengah kalinya pada tahun 2031 (IAUI, 2008).
Insiden yang
pasti dari pembesaran prostat jinak di Indonesia belum pernah diteliti. Tetapi,
sebagai gambaran hospital
prevalence, di RS Cipto
Mangunkusumo ditemukan 423 kasus pembesaran prostat jinak yang dirawat selama
tiga tahun (1994-1997) dan di RS Sumber Waras sebanyak 617 kasus dalam periode
yang sama (Birowo, Ponco, 2004).
Di RSD Dr. Haryoto
sendiri pada tahun 2012 terdapat 72 penderita, terbanyak berumur 60-70 tahun
atau sebanyak 45 persen dari jumlah penderita BPH tahun 2012.
Penyebab BPH belum diketahui secara
pasti, tetapi sampai saat ini berhubungan dengan proses penuaan yang mengakibatkan
penurunan kadar hormon pria, terutama testosteron. Hormon Testosteron dalam
kelenjar prostat akan diubah menjadi Dehidrotestosteron (DHT). DHT inilah yang
kemudian secara kronis merangsang kelenjar prostat sehingga membesar.
Pembentukan nodul pembesaran prostat ini sudah mulai tampak pada usia 25 tahun
pada sekitar 25 persen. Pada usia 60 tahun nodul pembesaran prostat tersebut
terlihat pada sekitar 60 persen, tetapi gejala baru dikeluhkan pada sekitar
30-40 persen, sedangkan pada usia 80 tahun nodul terlihat pada 90 persen yang
sekitar 50 persen di antaranya sudah mulai memberikan gejala-gejalanya.
Faktor lain yang mempengaruhi BPH adalah
latar belakang kondisi penderita misalnya usia, riwayat keluarga, obesitas,
meningkatnya kadar kolesterol darah, pola makan tinggi lemak hewani, olah raga,
merokok, minuman beralkohol, penyakit Diabetes Mellitus, dan aktifitas seksual
(Amalia, Rizki, 2007).
Penderita yang
mengalami BPH biasanya mengalami hambatan pada saluran air seni atau uretra di
dekat pintu masuk kandung kemih seolah-olah tercekik, karena itu secara
otomatis pengeluaran air seni terganggu. Penderita sering kencing, terutama
pada malam hari, bahkan ada kalanya tidak dapat ditahan. Bila jepitan pada
uretra meningkat, keluarnya air seni akan makin sulit dan pancaran air seni
melemah, bahkan dapat mendadak berhenti. Akibatnya, timbul rasa nyeri hebat
pada perut. Keadaan ini selanjutnya dapat menimbulkan infeksi pada kandung
kemih. Kalau sudah terjadi infeksi, aliran air seni berhenti, untuk mengeluarkan
air kencing harus menggunakan kateter, yang akibatnya penderita akan mengalami
rasa sakit. Jika lebih parah lagi maka dilakukan pemotongan pada kelenjar
prostat.
Komplikasi yang
mungkin terjadi pada penderita BPH yang dibiarkan tanpa pengobatan adalah
pertama, trabekulasi, yaitu terjadi penebalan serat-serat detrusor akibat
tekanan intra vesika yang selalu tinggi akibat obstruksi. Kedua, sakulasi,
yaitu mukosa buli-buli menerobos di antara serat-serat detrusor. Ketiga,
divertikel, bila sakulasi menjadi besar. Komplikasi lain adalah pembentukan
batu vesika akibat selalu terdapat sisa urin setelah buang air kecil, sehingga
terjadi pengendapan batu. Bila tekanan intra vesika yang selalu tinggi tersebut
diteruskan ke ureter dan ginjal, akan terjadi hidroureter dan hidronefrosis
yang akan mengakibatkan penurunan fungsi ginjal.
Tahap akhir
adalah tahap dekompensasi detrusor yang berakibat buli-buli tidak dapat
mengosongkan diri sehingga terjadi retensi urin total. Apabila tidak segera
ditolong, akan terjadi overflow incontinence (Amalia, Rizki, 2007).
Pada penderita
pembesaran prostat jinak, jika gejalanya masih ringan maka biasanya cukup
diobservasi saja. Penderita dinasehatkan untuk mengurangi minum pada
malam hari, hal ini untuk mengurangi nokturia, menghindari obat-obatan
dekongestan (parasimpatolitik), mengurangi kopi dan tidak minum-minuman
beralkohol agar tidak telalu sering kencing (IAUI, 2008).
Prioritas
keperawatan pada klien dengan BPH adalah menghilangkan retensi urine akut,
meningkatkan kenyamanan, mencegah komplikasi, membantu pasien untuk menerima
masalah psikososial, dan memberikan informasi tentang penyakit/prognosis dan
kebutuhan pengobatan (Doenges, E. Marilynn, 2002).
Terjadinya BPH
berkaitan erat dengan faktor risiko penderita, makin banyak faktor risiko yang
dipunyai makin tinggi kejadian BPH. Peran perawat pada klien meliputi aspek
promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif. Secara promotif perawat dapat
memberikan penjelasan pada klien tentang penyakit BPH mulai dari penyebab
sampai dengan komplikasi yang akan terjadi bila tidak segera ditangani.
Kemudian pada aspek preventif perawat memberikan penjelasan bagaimana cara
penyebaran penyakit BPH, misalnya cara pembesaran prostat akan menyebabkan
obstruksi uretra. Secara kuratif perawat berperan memberikan obat-obatan
sebagai tindakan kolaborasi dengan tim dokter. Aspek rehabilitatif meliputi
peran perawat dalam memperkenalkan pada anggota
keluarga cara merawat klien dengan BPH dirumah, serta memberikan
penyuluhan tentang pentingnya cara berkemih.
Dari fenomena di atas penulis tertarik mengambil judul tentang “Asuhan
Keperawatan pada Klien dengan BPH di Ruang Kenanga RSD dr. Haryoto Lumajang”.
1.2 Rumusan
Masalah
Bagaimana
pelaksanaan asuhan keperawatan pada Tn. Z dengan BPH di Ruang Kenanga RSD dr.
Haryoto Lumajang tahun 2013?
1.3 Tujuan
Penelitian
1.3.1
Tujuan Umum
Mengidentifikasi
asuhan keperawatan pada Tn. Z dengan BPH di Ruang Kenanga RSD dr. Haryoto
Lumajang tahun 2013.
1.3.2
Tujuan Khusus
1.3.2.1 Melakukan
pengkajian pada Tn. Z dengan BPH di Ruang Kenanga RSD dr. Haryoto Lumajang
tahun 2013.
1.3.2.2 Merumuskan
diagnosa pada Tn. Z dengan BPH di Ruang Kenanga RSD dr. Haryoto Lumajang tahun
2013.
1.3.2.3 Menyusun
intervensi pada Tn. Z dengan BPH di Ruang Kenanga RSD dr. Haryoto Lumajang
tahun 2013.
1.3.2.4 Implementasikan
rencana pada Tn. Z dengan BPH di Ruang Kenanga RSD dr. Haryoto Lumajang tahun
2013.
1.3.2.5 Mengidentifikasi
evaluasi pada Tn. Z dengan BPH di Ruang Kenanga RSD dr. Haryoto Lumajang tahun
2013.
1.4 Manfaat
Penelitian
1.4.1
Bagi peneliti
Dari
hasil dan proses penelitian diharapkan dapat memberikan pengalaman langsung
dalam melakukan asuhan keperawatan pada klien dengan BPH di Ruang Kenanga RSD dr.
Haryoto Lumajang.
1.4.2
Bagi instansi terkait
Dari
hasil penelitian diharapkan dapat menjadi tambahan informasi kepada instansi
yang bergerak dibidang kesehatan lain.
1.4.3
Bagi pendidikan
Untuk
memberikan data dan informasi pada peneliti lain dan dari hasil penelitian
diharapkan dapat menjadi data untuk penelitian lebih lanjut.
1.4.4
Bagi responden
Dari
hasil penelitian diharapkan dapat menambah pengetahuan dan informasi, khususnya
dalam perawatan pasien dengan BPH.
1.5 Metode
dan teknik pengumpulan data
Dalam
penyusunan karya tulis ini penulis menggunakan metode diskriptif dengan tipe
pendekatan studi kasus. Untuk mendapat gambaran secara jelas dan terperinci
mengenai perawatan terhadap klien dengan BPH pada saat ini berdasarkan fakta
yang ada, sedangkan untuk mengumpulkan data, penulis menggunakan teknik :
1.5.1
Wawancara
Metode
ini dilakukan dengan menanyakan atau tanya jawab yang berkaitan dengan masalah
yang dihadapi oleh klien. Wawancara dapat dilakukan pada klien, keluarga atau
tenaga kesehatan lain. Ini bertujuan untuk memperoleh data tentang masalah
kesehatan dan keperawatan klien, serta untuk menjalin hubungan antara perawat
dengan klien.
1.5.2
Observasi
Metode
ini dilakukan dengan mengamati perilaku dan keadaan klien untuk memperoleh data
tentang masalah kesehatan dan keperawatan klien. Observasi dilakukan dengan
melihat, rabaan, sentuhan dan pendengaran. Ini bertujuan untuk mengumpulkan
data tentang masalah yang dihadapi klien melalui alat panca indra.
1.5.3
Dokumenter
Metode
dokumenter diperoleh dari catatan-catatan atau laporan tim kesehatan lain,
laboratorium, konsultasi, dan pemeriksaan lain yang dapat menunjang masalah
kesehatan dan keperawatan klien.
|
BAB
2
TINJAUAN
PUSTAKA
2.1 Konsep
Penyakit
2.1.1
Pengertian
Hipertrofi prostat
jinak (benign prostatic hypertrophy, BPH) merupakan
kondisi yang belum diketahui penyebabnya, ditandai oleh meningkatnya ukuran
zona dalam (kelenjar periuretra) dari kelenjar prostat (Grace, Pierce A, dkk,
2007).
Hiperplasia
Prostat Benigna adalah pembesaran progresif dari kelenjar prostat (secara umum
pada pria lebih tua dari 50 tahun) menyebabkan berbagai derajat obstruksi
uretral dan pembatasan aliran urinarius (Doenges, E. Marilynn, 2002).
2.1.2
Etiologi
Etiologi
BPH belum jelas namun terdapat faktor risiko umur dan beberapa hormon androgen.
Perubahan mikroskopik pada prostat telah terjadi pada pria usia 30-40 tahun.
Bila perubahan mikroskopik ini berkembang, akan terjadi perubahan patologik
anatomi yang ada pria usia 50 tahun angka kejadiannya sekitar 50%, usia 80
tahun sekitar 80%, dan usia 90 tahun 100% (Mansjoer, A, 2000).
Faktor
resiko terjadinya BPH:
1.
Usia
|
Beberapa penelitian telah menunjukkan
hubungan antara usia dan tanda pengembangan BPH.
2.
Kerentanan genetik
Riwayat
keluarga positif BPH meningkatkan risiko lebih besar terjadinya gejala LUTS.
Selain itu, penelitian lain menunjukkan bahwa faktor keturunan adalah faktor
penentu yang lebih penting selain dari usia.
3.
Ras
Pria
kulit hitam lebih mungkin dibandingkan orang kulit putih untuk memiliki resiko
terjadinya gejala LUTS. Sebaliknya, pria Asia memiliki resiko lebih kecil untuk
menderita BPH.
4.
Tingkat PSA
Tingkat
PSA yang tinggi dapat meningkatkan resiko BPH.
5.
Penyakit jantung
Penyakit
jantung juga dapat meningkatkan resiko terjadinya BPH.
6.
Aktifitas fisik
Kurangnya
aktivitas fisik dapat meningkatkan resiko BPH.
7.
Peradangan prostat
Penelitian
epidemiologi menunjukkan terdapat hubungan yang erat antara prostatitis dengan
BPH.
8.
Pengobatan
Penggunaan
obat-obatan β-bloker dapat meningkatkan terjadinya penyakit BPH.
9.
Faktor lain
Kondisi
seperti hiperinsulin, dislipidemia, tekanan darah tinggi dan kegemukan telah
diidentifikasi sebagai faktor terjadinya BPH.
(Sinclair,
Alan, 2008)
2.1.3
Patogenesis
2.1.3.1 Teori
dehidrotestosteron (DHT)
Telah
disepakati bahwa aksis hipofisis testis dan reduksi testosteron menjadi
dehidrotestosteron (DHT) dalam sel prostat menjadi faktor terjadinya penetrasi
DHT ke dalam inti sel yang dapat menyebabkan inskripsi pada RNA sehingga
menyebabkan terjadinya sintesis protein. Proses reduksi ini difasilitasi oleh
enzim 5-α-reduktase.
2.1.3.2 Teori
hormon
Estrogen
berperan pada insiasi dan maintenance
pada prostat manusia.
2.1.3.3 Faktor
interaksi stroma dan epitel
Hal
ini banyak dipengaruhi oleh growth factor.
Basic Fibroblast Growth Factor
(b-FGF) dapat menstimulasi sel stroma dan ditemukan dengan konsentrasi yang
lebih besar pada pasien dengan pembesaran prostat jinak. b-FGF dapat dicetuskan
oleh mikrotrauma karena miksi, ejakulasi atau infeksi.
2.1.3.4 Teori
kebangkitan kembali (reawakening)
Atau
reinduksi dari kemampuan mesenkim sinus urogenital untuk berproliferasi dan
membentuk jaringan prostat (Mansjoer, A, 2000).
2.1.4
Patofisiologi
Proses
pembesaran prostat terjadi perlahan-lahan sehingga perubahan pada saluran kemih
juga terjadi secara perlahan-lahan.
Pada
tahap awal setelah terjadi pembesaran prostat, resistensi pada leher buli-buli
dan daerah prostat meningkat, serta otot detrusor menebal dan merenggang
sehingga timbul sakulasi atau divertikel. Fase penebalan detrusor ini disebut
fase kompensasi. Apabila keadaan berlanjut, maka detrusor menjadi lelah dan
akhirnya mengalami dekompensasi dan tidak mampu lagi untuk berkontraksi
sehingga terjadi retensio urin yang selanjutnya dapat menyebabkan hidronefrosis
dan disfungsi saluran kemih atas.
Adapun
patofisiologi dari masing-masing gejala adalah :
1)
Penurunan kekuatan dan
kaliber aliran yang disebabkan resistensi uretra adalah gambaran awal dan
menetap dari BPH.
2)
Hesitancy
terjadi karena detrusor membutuhkan waktu yang lama
untuk dapat melawan resistensi vena.
3)
Intermittency
terjadi karena detrusor tidak dapat mengatasi
resistensi uretra sampai akhir miksi. Terminal
dribling dan rasa belum puas sehabis miksi terjadi karena jumlah residu
urin yang banyak dalam buli-buli.
4)
Nokturia dan frekuensi
terjadi karena pengosongan yang tidak lengkap pada tiap miksi sehingga interval
antar miksi lebih pendek.
5)
Frekuensi terutama
terjadi pada malam hari (nokturia) karena hambatan normal dan korteks berkurang
dan tonus sfingter dan uretra berkurang selama tidur.
6)
Urgensi dan disuria
jarang terjadi, jika ada di sebabkan oleh ketidak stabilan detrusor sehingga
terjadi kontraksi involunter.
7)
Inkontinensia bukan
gejala yang khas, walaupun dengan berkembangannya penyakit urin keluar
sedikit-sedikit secara berkala karena setelah buli-buli mencapai compliance maksimum, tekanan dalam
buli-buli akan cepat naik melebihi tekanan sfingter (Mansjoer, A, 2000). Biasanya
gejala-gejala pembesaran prostat jinak, dikenal sebagai Lower Urinary Tract Symptoms (LUTS) dibedakan menjadi gejala
iritatif dan obstruktif.
Gejala
iritatif yaitu sering miksi (frekuensi), terbangun untuk miksi pada malam hari
(nokturia), perasaan ingin miksi yang sangat mendesak (urgensi), dan nyeri pada
saat miksi (disuria). Sedangkan gejala obstruktif adalah pancaran melemah, rasa
tidak lampias sehabis miksi, kalau mau miksi harus menunggu lama (hesitancy), harus mengedan (straining), kencing terputus-putus (intermittency), dan waktu miksi
memanjang yang akhirnya menjadi retensio urin dan inkontinen karena overflow.
Keluhan
ini biasanya disusun dalam bentuk skor simtom. Terdapat beberapa jenis
klasifikasi yang dapat digunakan untuk membantu diagnosis dan menentukan
tingkat beratnya penyakit, di antaranya adalah skor internasional gejala-gejala
prostat WHO (International Prostate
Symptom Score, IPSS) dan skor Madsen Iversen (Mansjoer, A, 2000).
Tabel 2.1. Skor Madsen-Iversen
dalam bahasa Indonesia
Pertanyaan
|
0
|
1
|
2
|
3
|
4
|
Pancaran
|
Normal
|
Berubah-ubah
|
|
Lemah
|
Menetes
|
Mengedan pada saat berkemih
|
Tidak
|
|
Ya
|
|
|
Harus menunggu saat akan kencing
|
Tidak
|
|
|
Ya
|
|
Buang air kecil terputus-putus
|
Tidak
|
|
|
Ya
|
|
Kencing tidak lampias
|
Tidak tahu
|
Berubah-ubah
|
Tidak lampias
|
1 kali retensi
|
> 1 kali retensi
|
Inkontinensia
|
|
|
Ya
|
|
|
Kencing sulit ditunda
|
Tidak ada
|
Ringan
|
Sedang
|
Berat
|
|
Kencing malam hari
|
0-1
|
2
|
3-4
|
> 4
|
|
Kencing siang hari
|
> 3 jam sekali
|
Setiap 2-3 jam sekali
|
Setiap 1-2 jam sekali
|
< 1 jam sekali
|
|
Tabel
2.2. Skor Internasional gejala-gejala prostat WHO (International Prostate Symptom Score, IPSS)
Pertanyaan
|
Jawaban
dan skor
|
|||||
Keluhan pada bulan terakhir
|
Tidak sama sekali
|
<1 sampai 5 kali
|
>5 sampai <15 kali
|
15 kali
|
Lebih dari 15 kali
|
Hampir selalu
|
Adakah anda merasa buli-buli tidak
kosong setelah buang air kecil
|
0
|
1
|
2
|
3
|
4
|
5
|
Berapa kali anda hendak buang air
kecil lagi dalam waktu 2 jam setelah buang air kecil
|
0
|
1
|
2
|
3
|
4
|
5
|
Berapa kali terjadi air kencing
berhenti sewaktu buang air kecil
|
0
|
1
|
2
|
3
|
4
|
5
|
Berapa kali anda tidak dapat menahan
keinginan buang air kecil
|
0
|
1
|
2
|
3
|
4
|
5
|
Berapa kali arus air seni lemah sekali
sewaktu buang air kecil
|
0
|
1
|
2
|
3
|
4
|
5
|
Berapa kali terjadi anda mengalami
kesulitan memulai buang air kecil (harus mengejan)
|
0
|
1
|
2
|
3
|
4
|
5
|
Berapa kali anda bangun untuk buang
air kecil di waktu malam
|
0
|
1x
|
2x
|
3x
|
4x
|
5x
|
Andaikata hal yang anda alami sekarang
akan tetap berlangsung seumur hidup, bagaimana perasaan anda
|
Sangat senang
|
Cukup senang
|
Biasa saja
|
Agak tidak senang
|
Tidak menyenangkan
|
Sangat tidak menyenangkan
|
Jumlah
nilai :
0
= baik sekali
1
= baik
2
= kurang baik
3
= kurang
4
= buruk
5
= buruk sekali
Keadaan pasien BPH dapat digolongkan berdasarkan skor
yang diperoleh adalah sebagai berikut:
Skor 0-7 : bergejala
ringan
Skor 8-19 : bergejala sedang
Skor 20-35 : bergejala berat
Derajat berat BPH menurut Sjamsuhidajat (2005) dibedakan
menjadi 4 stadium:
a)
Stadium
I
Ada obstruktif tapi kandung kemih masih mampu
mengeluarkan urine sampai habis.
b)
Stadium
II
Ada retensi urine tetapi kandung kemih mampu mengeluarkan
urine walaupun tidak sampai habis, masih tersisa kira-kira 60-150 cc. Ada rasa ridak enak BAK atau disuria dan menjadi
nocturia.
c)
Stadium
III
Setiap BAK urine tersisa kira-kira 150 cc.
d)
Stadium
IV
Retensi urine total, buli-buli penuh pasien tampak
kesakitan, urine menetes secara periodik (over flow inkontinen).
Gejala
dan tanda pada pasien yang telah lanjut penyakitnya, misalnya gagal ginjal,
dapat ditemukan uremia, peningkatan tekanan darah, denyut nadi, respirasi,
foetor uremik, perikarditis, ujung kuku yang pucat, tanda-tanda penurunan
mental serta neuropati perifer. Bila sudah terjadi hidronefrosis, ginjal teraba
dan ada nyeri di CVA (Costo Vertebrae
Angularis). Buli-buli yang distensi dapat dideteksi dengan palpasi dan
perkusi. Pemeriksaan penis dan uretra penting untuk mencari etiologi dan
menyingkirkan diagnosis banding seperti striktur, karsinoma, stenosis meatus
atau fimosis.
Pada
perabaan colok dubur harus diperhatikan konsistensi prostat (pada BPH
konsistensinya kenyal), adakah asimetri, adakah nodul pada prostat, apakah
batas atas teraba. Kalau batas atas masih dapat teraba secara empiris besar jaringan
prostat kurang dari 60 g (Mansjoer, A, 2000).
2.1.6
Penatalaksanaan
2.1.6.1 Observasi
(watchfull waiting)
Biasanya
dilakukan pada pasien dengan keluhan ringan (skor Madsen Iversen ≤ 9). Nasehat
yang diberikan ialah mengurangi minum setelah makan malam untuk mengurangi
nokturia, menghindari obat-obat dekongestan (parasimpatolitik), mengurangi
minum kopi dan tidak diperbolehkan minum alkohol agar tidak terlalu sering
miksi.
Setiap
tiga bulan lakukan kontrol keluhan (sistem skor), sisa kencing dan pemeriksaan
colok dubur (Mansjoer, A, 2000).
2.1.6.2 Terapi
medikamentosa
2.1.6.2.1
Penghambat adrenergik α
Obat-obat
yang sering dipakai adalah prazosin, doxazosin, terazosin, afluzosin, atau yang
lebih selektif α 1a (tamsulosin). Dosis dimulai 1 mg/hari sedangkan dosis
tamsulosin adalah 0,2 - 0,4 mg/hari. Penggunaan antagonis α-1-adrenergik karena
secara selektif mengurangi obstruksi pada buli-buli tanpa merusak kontraktilitas
detrusor. Obat ini menghambat reseptor-reseptor yang banyak ditemukan pada otot
polos di trigonum, leher vesika, prostat dan kapsul prostat sehingga terjadi
relaksasi di daerah prostat. Hal ini akan menurunkan tekanan pada urethra pars
prostatika sehingga gangguan aliran air seni dan gejala-gejala berkurang.
Biasanya pasien mulai merasakan berkurangnya keluhan dalam waktu 1-2 minggu
setelah ia mulai memakai obat. Efek samping yang mungkin timbul adalah
pusing-pusing (dizziness), capek,
sumbatan hidung, dan rasa lemah (Mansjoer, A, 2000).
2.1.6.2.2
Penghambat enzim 5-α
reduktase
Obat yang dipakai adalah finasteride
(Proscar) dengan dosis 1 x 5 mg/hari. Obat golongan ini dapat menghambat
pembentukan DHT sehingga prostat yang membesar akan mengecil. Namun obat ini
bekerja lebih lambat daripada golongan α bloker dan manfaatnya hanya jelas pada
prostat yang sangat besar. Efektivitasnya masih diperdebatkan karena baru
menunjukkan perbaikan sedikit dari keluhan pasien setelah 6-12 bulan pengobatan
bila dimakan terus-menerus. Salah satu efek samping obat ini adalah melemahkan
libido, ginekomastia, dan dapat menurunkan nilai PSA (masking effect).
2.1.6.2.3
Fitoterapi
Pengobatan fitoterapi yang ada di Indonesia
antara lain eviprostat. Substansinya misalnya Pygeum africanum, Saw palmetto,
Serenoa repeus, dll. Efeknya diharapkan terjadi setelah pemberian selama 1 – 2
bulan.
2.1.6.3 Terapi
bedah
Waktu
penanganan untuk tiap pasien bervariasi tergantung beratnya gejala dan
komplikasi. Indikasi absolut untuk terapi bedah yaitu:
1. Retensio
urin berulang
2. Hematuria
3. Tanda
penurunan fungsi ginjal
4. Infeksi
saluran kemih berulang
5. Tanda-tanda
obstruksi berat yaitu divertikel, hidroureter, dan hidronefrosis
6. Ada
batu saluran kemih
Jenis pengobatan ini
paling tinggi efektivitasnya. Intervensi bedah yang dapat dilakukan meliputi Transurethral Resection of the Prostate
(TUR P), Transurethral Insision of the
Prostate (TUIP), prostatektomi terbuka, dan prostatektomi dengan laser
dengan Nd-YAG atau Ho-YAG.
TUR P masih merupakan
standar emas. Indikasi TUR P ialah gejala-gejala sedang sampai berat, volume
prostat kurang dari 90 g dan pasien cukup sehat untuk menjalani operasi.
Komplikasi TUR P jangka pendek adalah perdarahan, infeksi, hiponatremia (TUR P),
atau retensio oleh karena bekuan darah. Sedangkan komplikasi jangka panjang
ialah striktur uretra, ejakulasi retrograd (50-90%), atau impotensi (4-40%).
Bila volume prostat
tidak terlalu besar atau ditemukan kontraktur leher vesika atau prostat
fibrotik dapat dilakukan Transurethral
Incision of the Prostate (TUIP). Indikasi TUIP ialah keluhan sedang atau
berat, dengan volume prostat normal/kecil. Komplikasinya bisa ejakulasi
retrograde (0-37%).
Karena pembedahan tidak
mengobati penyebab BPH, maka biasanya penyakit ini akan timbul kembali 8-10
tahun kemudian (Mansjoer, A, 2000).
2.1.6.4 Terapi
invasif minimal
2.1.6.4.1
Transurethral
Microwave Thermotherapy (TUMT)
Jenis
pengobatan ini hanya dapat dilakukan di beberapa rumah sakit besar. Dilakukan
pemanasan prostat dengan gelombang mikro yang disalurkan ke kelenjar prostat
melalui suatu transducer yang diletakkan di uretra pars prostatika.
2.1.6.4.2
Dilatasi
Balon Transurethral (TUBD)
2.1.6.4.3
High-intensity
Focused Ultrasound
2.1.6.4.4
Ablasi Jarum
Transuretra (TUNA)
2.1.6.4.5
Stent Prostat
(Mansjoer,
A, 2000)
2.1.7
Komplikasi
Apabila
buli-buli menjadi dekompensasi, akan terjadi retensio urin. Karena produksi
urin terus berlanjut maka pada suatu saat buli-buli tidak mampu lagi menampung
urin sehingga tekanan intravesika meningkat, dapat timbul hidroureter,
hidronefrosis dan gagal ginjal. Proses kerusakan ginjal dipercepat jika terjadi
infeksi.
Karena
selalu terdapat sisa urin, dapat terbentuk batu endapan dalam buli-buli. Batu
ini dapat menambah keluhan iritasi dan menimbulkan hematuria. Batu tersebut
dapat pula menimbulkan sistitis dan bila terjadi refluks dapat terjadi pielonefritis.
Pada
waktu miksi pasien harus mengedan sehingga lama-kelamaan dapat menyebabkan
hernia atau hemoroid (Mansjoer, A, 2000).
2.2 Asuhan
Keperawatan
2.2.1
Pengkajian
Pengkajian keperawatan
merupakan salah satu dari komponen dari proses keperawatan yaitu suatu usaha
yang dilakukan oleh perawat dalam menggali permasalahan dari klien meliputi
usaha pengumpulan data tentang status kesehatan seorang klien secara
sistematis, menyeluruh, akurat, singkat, dan berkesinambungan.
Komponen pengkajian
keperawatan secara komprehensif yang dilaksanakan perawat secara umum meliputi;
anamnesis pada klien, keluarga, dan perawat lainnya, pemeriksaan kesehatan;
pengkajian pemeriksaan diagnostik; serta pengkajian penatalaksanaan medis
(Muttaqin, Arif, 2010).
2.2.1.1 Identitas
klien
Meliputi
nama, umur, jenis kelamin, pendidikan, alamat, pekerjaan, asuransi kesehatan,
agama, suku bangsa, tanggal dan jam MRS, nomor register, serta diagnosis medis
(Muttaqin, Arif, 2010).
2.2.1.2 Keluhan
utama
Keluhan
utama pada gangguan sistem perkemihan, meliputi keluhan sistemik, antara lain
gangguan fungsi ginjal (sesak napas, edema, malaise, pucat, dan uremia) atau
demam disertai menggigil akibat infeksi/urosepsis; dan keluhan lokal pada
saluran perkemihan antara lain nyeri akibat kelainan pada saluran perkemihan, keluhan
miksi (keluhan iritasi dan keluhan obstruksi), hematuria, inkontinensia,
disfungsi seksual, atau infertilitas (Muttaqin, Arif, 2010).
2.2.1.2.1
Nyeri prostat
Nyeri prostat pada umumnya disebabkan
karena inflamasi yang mengakibatkan edema kelenjar prostat dan distensi kapsul
prostat. Lokasi nyeri akibat inflamasi ini sulit untuk ditentukan, tetapi pada
umumnya dapat dirasakan pada abdomen bawah, inguinal, perineal, dan
lumbosakral. Seringkali nyeri prostat diikuti dengan keluhan miksi berupa
frekuensi, disuria, bahkan retensi urine (Muttaqin, Arif, 2010).
2.2.1.2.2
Keluhan miksi
Keluhan yang dirasakan oleh klien pada
saat miksi meliputi keluhan akibat suatu tanda adanya iritasi, obstruksi,
inkontinensia, dan enuresis. Keluhan akibat iritasi meliputi polakisuria,
urgensi, nokturia, dan disuria; sedangkan keluhan obstruksi meliputi
hesistansi, harus mengejan saat miksi, pancaran urine melemah, intermitensi,
dan menetes serta masih terasa ada sisa urine sehabis miksi (Muttaqin, Arif,
2010).
2.2.1.2.3
Gejala iritasi
Polakisuria
adalah frekuensi berkemih yang lebih dari normal, keadaan ini merupakan keluhan
yang paling sering dikeluhkan klien yang mengalami gangguan sistem perkemihan.
Urgensi merupakan
suatu keadaan rasa sangat ingin berkemih
sehingga terasa sakit.
Nokturia adalah
polakisuria yang terjadi pada malam hari. Seperti pada polakisuria, pada
nokturia mungkin disebabkan karena produksi urine meningkat ataupun karena
kapasitas kandung kemih yang menurun.
Disuria adalah
nyeri pada saat miksi dan terutama disebabkan karena inflamasi pada kandung
kemih atau uretra.
2.2.1.2.4
Gejala obstruksi
Hesistansi
adalah awal keluarnya urine menjadi lebih lama dan sering kali klien harus
mengejan untuk memulai miksi. Setelah urine keluar, sering kali pancarannya menjadi
lemah, tidak jauh, dan kecil. Hal ini sering disebabkan oleh obstruksi pada
saluran kemih.
Intermitensi
merupakan keluhan miksi di mana pada pertengahan miksi sering kali berhenti dan
kemudian memancar lagi; keadaan ini terjadi berulang-ulang.
2.2.1.2.5
Hematuria
Hematuria merupakan suatu keadaan
didapatkannya sel darah merah di dalam urine.
2.2.1.2.6
Inkontinensia urine
Inkontinensia urine adalah ketidakmampuan
seseorang untuk menahan urine yang keluar dari kandung kemih, baik disadari
ataupun tidak disadari.
2.2.1.2.7
Keluhan disfungsi
seksual
Disfungsi seksual meliputi libido
menurun, kekuatan ereksi menurun, disfungsi ereksi, ejakulasi retrograde (air mani tidak keluar pada
saat ejakulasi), tidak pernah merasakan orgasmus, atau ejakulasi dini.
2.2.1.3 Riwayat
kesehatan saat ini
Pengkajian
ini dilakukan untuk mendukung keluhan utama seperti menanyakan tentang
perjalanan sejak timbul keluhan hingga klien meminta pertolongan. Misalnya:
sejak kapan keluhan dirasakan, berapa lama dan berapa kali keluhan tersebut terjadi,
bagaimana sifat dan hebatnya keluhan, di mana pertama kali keluhan timbul, apa
yang sedang dilakukan ketika keluhan ini terjadi, keadaan apa yang memperberat
atau memperingan keluhan, adakah usaha mengatasi keluhan ini sebelum meminta
pertolongan, berhasil atau tidakkah usaha tersebut, dan sebagainya (Muttaqin,
Arif, 2010).
2.2.1.4 Riwayat
kesehatan dahulu
Perawat
menanyakan tentang penyakit-penyakit yang pernah dialami sebelumnya, terutama
yang mendukung atau memperberat kondisi gangguan sistem perkemihan pada klien
saat ini seperti pernahkah klien menderita penyakit kencing manis, hipertensi,
penyakit kencing batu, kencing berdarah, dan lainnya. Tanyakan: apakah klien
pernah dirawat sebelumnya, dengan penyakit apa, apakah pernah mengalami sakit
yang berat, dan sebagainya (Muttaqin, Arif, 2010).
2.2.1.5 Riwayat
kesehatan keluarga
Riwayat
keluarga pada penderita BPH dapat meningkatkan risiko terjadinya kondisi yang
sama pada anggota keluarga yang lain. Semakin banyak anggota keluarga yang
mengidap penyakit ini, semakin besar risiko anggota keluarga yang lain untuk
dapat terkena BPH. Bila satu anggota keluarga mengidap penyakit ini, maka
risiko meningkat 2 kali bagi yang lain. Bila 2 anggota keluarga, maka risiko
meningkat menjadi 2-5 kali (Amalia, Rizki, 2007).
2.2.1.6 Pengkajian psikososial
Pengkajian
psikologis klien meliputi beberapa dimensi yang memungkinkan perawat untuk
memperoleh persepsi yang jelas mengenai status emosi, kognitif, dan perilaku
klien. Perawat mengumpulkan pemeriksaan awal klien tentang kapasitas fisik dan
intelektual saat ini, yang menentukan tingkat perlunya pengkajian
psikososiospiritual yang saksama.
Masalah
kesehatan sistem perkemihan yang bersifat kronis akan memberikan respon
maladaptif terhadap konsep diri klien sehingga tingkat stres emosional dan
mekanisme koping digunakan berbeda-beda. Adanya nyeri dari gangguan saluran
kemih akan memberikan stimulus pada kecemasan dan ketakutan pada setiap klien.
Peran perawat sangat penting diperlukan untuk menurunkan tingkat kecemasan
klien (Muttaqin, Arif, 2010).
2.2.1.7 Pengkajian
pola fungsi kesehatan
2.2.1.7.1
Pola persepsi dan tata
laksana kesehatan
Biasanya kasus BPH
terjadi pada pasien laki-laki yang sudah tua, dan pasien biasanya tidak
memperdulikan hal ini, karena sering mengatakan bahwa sakit yang dideritanya
pengaruh umur yang sudah tua. Perawat perlu mengkaji apakah klien mengetahui
penyakit apa yang dideritanya dan apa penyebab sakitnya saat ini (Amalia,
Rizki, 2007).
2.2.1.7.2
Pola nutrisi dan
metabolik
Terganggunya sistem
pemasukan makan dan cairan yaitu karena efek penekanan/nyeri pada abomen (pada
pre-operasi), maupun efek dari anastesi pada post-operasi BPH, sehingga terjadi
gejala: anoreksia, mual, muntah, penurunan berat badan, tindakan yang perlu
dikaji adalah awasi masukan dan pengeluaran baik cairan maupun nutrisinya (Amalia,
Rizki, 2007).
2.2.1.7.3
Pola eliminasi
Gangguan eliminasi
merupakan gejala utama yang seringkali dialami oleh pasien dengan pre operasi,
perlu dikaji keragu-raguan dalam memulai aliran urin, aliran urin berkurang,
pengosongan kandung kemih inkomplit, frekuensi berkemih, nokturia, disuria dan
hematuria. Sedangkan pada post-operasi BPH yang terjadi karena tindakan invasif
serta prosedur pembedahan sehingga perlu adanya obervasi drainase kateter untuk
mengetahui adanya perdarahan dengan mengevaluasi warna urin. Evaluasi warna
urin, contoh : merah terang dengan bekuan darah, perdarahan dengan tidak ada
bekuan, peningkatan viskositas, warna keruh, gelap dengan bekuan. Selain
terjadi gangguan eliminasi urin, juga ada kemugkinan terjadinya konstipasi.
Pada post operasi BPH, karena perubahan pola makan dan makanan (Amalia,
Rizki, 2007).
2.2.1.7.4
Pola tidur dan
istirahat
Pada pasien dengan BPH
biasanya istirahat dan tidurnya terganggu, disebabkan oleh nyeri pinggang dan
BAK yang keluar terus menerus dimana hal ini dapat mengganggu kenyamanan klien. Jadi perawat perlu mengkaji berapa lama
klien tidur dalam sehari, apakah ada perubahan lama tidur sebelum dan selama
sakit/ selama dirawat (Amalia, Rizki, 2007).
2.2.1.7.5
Pola aktivitas dan
latihan
Adanya keterbatasan aktivitas karena kondisi klien yang lemah
dan terpasang traksi kateter selama 6 – 24 jam. Pada paha yang dilakukan
perekatan kateter tidak boleh fleksi selama traksi masih diperlukan, klien juga
merasa nyeri pada prostat dan pinggang. Klien dengan BPH aktivitasnya sering dibantu
oleh keluarga (Amalia, Rizki, 2007).
2.2.1.7.6
Pola persepsi dan
konsep diri
Pasien dengan kasus
penyakit BPH seringkali terganggu integritas egonya karena memikirkan bagaimana
akan menghadapi pengobatan yang dapat dilihat dari tanda-tanda seperti
kegelisahan, kacau mental, perubahan perilaku (Amalia,
Rizki, 2007).
2.2.1.7.7
Pola sensori dan
pengetahuan
Klien BPH umumnya
adalah orang tua, maka alat indra klien biasanya terganggu karena pengaruh usia
lanjut. Namun tidak semua pasien mengalami hal itu, jadi perawat perlu mengkaji
bagaimana alat indra klien, dan bagaimana status neurologis klien (Amalia,
Rizki, 2007).
2.2.1.7.8
Pola hubungan
interpersonal dan peran
Pada pasien dengan BPH
merasa rendah diri terhadap penyakit yang dideritanya. Sehingga hal ini
menyebabkan kurangnya sosialisasi klien dengan lingkungan sekitar. Perawat
perlu mengkaji bagaimana hubungan klien dengan keluarga dan masyarakat sekitar,
apakah ada perubahan peran selama klien sakit (Amalia,
Rizki, 2007).
2.2.1.7.9
Pola reproduksi dan
seksual
Pada pasien BPH baik pre-operasi maupun post-operasi
terkadang mengalami masalah tentang efek kondisi/terapi pada kemampuan
seksualnya, takut inkontinensia/menetes selama hubungan intim, penurunan
kekuatan kontraksi saat ejakulasi, dan pembesaran atau nyeri tekan pada prostat
(Amalia,
Rizki, 2007).
2.2.1.7.10 Pola
penanggulangan stres
Klien dengan BPH
mengalami peningkatan stres karena memikirkan pengobatan dan penyakit yang
dideritanya menyebabkan klien tidak bisa melakukan aktivitas seksual seperti
biasanya, bisa terlihat dari perubahan tingkah laku dan kegelisahan klien. Perawat
perlu mengkaji bagaimana klien menghadapi masalah yang dialami, dan apakah
klien menggunakan obat-obatan untuk mengurangi stresnya (Amalia,
Rizki, 2007).
2.2.1.7.11 Pola
tata nilai dan kepercayaan
Pasien BPH mengalami gangguan dalam hal keyakinan, seperti
gangguan dalam beribadah shalat, klien tidak bisa melaksanakannya, karena BAK
yang sering keluar tanpa disadari. Perawat juga perlu mengkaji apakah ada
pantangan dalam agama klien untuk proses pengobatan (Amalia,
Rizki, 2007).
2.2.1.8 Pemeriksaan
fisik
Colok
dubur atau digital rectal examination (DRE) merupakan pemeriksaan yang
penting pada pasien BPH, disamping pemeriksaan fisik pada regio
suprapubik untuk mencari kemungkinan adanya distensi buli-buli. Dari pemeriksaan
colok dubur ini dapat diperkirakan adanya pembesaran prostat, konsistensi
prostat, dan adanya nodul yang merupakan salah satu tanda dari keganasan
prostat. Mengukur volume prostat dengan DRE cenderung underestimate
daripada pengukuran dengan metode lain, sehingga jika prostat teraba besar,
hampir pasti bahwa ukuran sebenarnya memang besar. Disamping itu pada
DRE diperhatikan pula tonus sfingter ani dan refleks bulbokavernosus yang dapat
menunjukkan adanya kelainan pada busur refleks di daerah sakral (IAUI, 2008).
Pada
perabaan colok dubur harus diperhatikan konsistensi prostat (pada BPH
konsistensinya kenyal), adakah asimetri, adakah nodul pada prostat, apakah
batas atas teraba. Kalau batas atas masih dapat teraba secara empiris besar
jaringan prostat kurang dari 60 g (Mansjoer, A, 2000).
2.2.1.9 Pemeriksaan
penunjang
2.2.1.9.1
Pemeriksaan
laboratorium
Analisis urin dan pemeriksaan mikroskopik
urin penting untuk melihat adanya sel leukosit, bakteri, dan infeksi. Bila
terdapat hematuria, harus diperhitungkan etiologi lain seperti keganasan pada
saluran kemih, batu, infeksi saluran kemih, walaupun BPH sendiri dapat
menyebabkan hematuria. Elektrolit, kadar ureum dan kreatinin darah merupakan
informasi dasar dari fungsi ginjal dan status metabolik. Pemeriksaan Prostate Spesific Antigen (PSA) dilakukan
sebagai dasar penentuan perlunya biopsi atau sebagai deteksi dini keganasan.
Bila nilai PSA ˂4 ng/ml tidak perlu biopsi. Sedangkan bila nilai PSA 4-10
ng/ml, hitunglah Prostate Spesific
Antigen Density (PSAD) yaitu PSA serum dibagi dengan volume prostat. Bila
PSAD ≥ 0,15 maka sebaiknya dilakukan biopsi prostat, demikian pula bila nilai
PSA ˃ 10 ng/ml (Mansjoer, A, 2000).
2.2.1.9.2
Pemeriksaan radiologis
Pemeriksaan yang biasa dilakukan adalah
foto polos abdomen, pielografi intravena, USG dan sitoskopi. Tujuan pemeriksaan
pencitraan ini adalah untuk memperkirakan volume BPH, menentukan derajat
disfungsi buli-buli dan volume residu urin dan mencari kelainan patologi lain,
baik yang berhubungan maupun tidak dengan BPH. Dari foto polos dapat dilihat
adanya batu pada traktus urinarius, pembesaran ginjal ataunbuli-buli. Dapat
juga dilihat lesi osteoblastik sebagai tanda metastasis dari keganasan prostat
serta osteoporosis akibat kegagalan ginjal.
Dari pielografi intravena dapat dilihat
supresi komplit dari fungsi renal, hidronefrosis dan hidroureter, fish hook appreance (gambaran ureter
berbelok-belok di vesika), indentasi pada dasar buli-buli, divertikel, residu
urin, atau filling defect di vesika.
Dari USG dapat diperkirakan besarnya
prostat, memeriksa massa ginjal, mendeteksi residu urin, batu ginjal,
divertikulum atau tumor buli-buli (Mansjoer, A, 2000).
2.2.1.10 Daftar
masalah keperawatan
Masalah
keperawatan yang muncul pada pasien dengan BPH menurut Doenges, E. Marilynn,
2002 dan Wilkinson, Judith, 2011 antara
lain :
1)
Retensi urine
(akut/kronik)
2)
Nyeri (akut)
3)
Risiko tinggi terhadap
kekurangan volume cairan
4)
Ketakutan/ansietas
5)
Kurang pengetahuan
(kebutuhan belajar) tentang kondisi, prognosis, dan kebutuhan pengobatan
6)
Perubahan
eliminasi urine
7)
Risiko tinggi terhadap
infeksi
8)
Risiko tinggi
terhadap disfungsi seksual
9)
Gangguan citra
tubuh
10) Hambatan mobilitas fisik
2.2.2
Diagnosa dan Intervensi
2.2.2.1 Diagnosa
keperawatan: Retensi urine (akut/kronik)
Dapat
dihubungkan dengan: Obstruksi mekanik; pembesaran prostat. Dekompensasi otot
destrusor. Ketidakmampuan kandung kemih untuk berkontraksi dengan adekuat.
Kemungkinan
dibuktikan oleh: Frekuensi, keragu-raguan, ketidakmampuan mengosongkan kandung
kemih dengan lengkap; inkontinensia/menetes. Distensi kandung kemih, residu
urine.
Hasil
yang diharapkan/kriteria evaluasi, pasien akan:
- Berkemih
dengan jumlah yang cukup, tak teraba distensi kandung kemih.
- Menunjukkan
residu pasca berkemih kurang dari 50 ml; dengan tak adanya tetesan/kelebihan
aliran.
Tindakan/intervensi:
Mandiri
1) Dorong
pasien untuk berkemih tiap 2-4 jam dan bila tiba-tiba dirasakan.
Rasional: meminimalkan
retensi urine distensi berlebihan pada kandung kemih.
2) Tanyakan
pasien tentang inkontinensia stres.
Rasional: tekanan
uretral tinggi menghambat pengosongan kandung kemih atau dapat menghambat
berkemih sampai tekanan abdominal meningkat cukup untuk mengeluarkan urine
secara tidak sadar.
3) Observasi
aliran urine, perhatikan ukuran dan kekuatan.
Rasional: berguna untuk
mengevaluasi obstruksi dan pilihan intervensi.
4) Awasi
dan catat waktu dan jumlah tiap berkemih. Perhatikan penurunan haluaran urine
dan perubahan berat jenis.
Rasional: retensi urine
meningkatkan tekanan dalam saluran perkemihan atas, yang dapat mempengaruhi
fungsi ginjal. Adanya defisit aliran darah ke ginjal mengganggu kemampuannya
untuk memfilter dan mengkonsentrasi substansi.
5) Perkusi/palpasi
area suprapubik.
Rasional: distensi
kandung kemih dapat dirasakan di area suprapubik.
6) Dorong
masukan cairan sampai 3000 ml sehari, dalam toleransi jantung, bila diindikasikan.
Rasional: peningkatan
aliran cairan mempertahankan perfusi ginjal dan membersihkan ginjal dan kandung
kemih dari pertumbuhan bakteri.
7) Awasi
tanda vital dengan ketat. Observasi hipertensi, edema perifer/dependen,
perubahan mental. Timbang tiap hari. Pertahankan pemasukan dan pengeluaran
akurat.
Rasional: kehilangan
fungsi ginjal mengakibatkan penurunan eliminasi cairan dan akumulasi sisa
toksik; dapat berlanjut ke penurunan ginjal total.
8) Berikan/dorong
kateter lain dan perawatan perineal.
Rasional: menurunkan
resiko infeksi asenden.
9) Berikan
rendam duduk sesuai indikasi.
Rasional: meningkatkan
relaksasi otot, penurunan edema, dan dapat meningkatkan upaya berkemih.
Kolaborasi
1) Berikan
obat sesuai indikasi: antispasmodik, contoh, oksibutinin klorida (Ditropan).
Rasional: menghilangkan
spasme kandung kemih sehubungan dengan iritasi oleh kateter.
Mandiri
1) Supositoria
rektal (B&O).
Rasional: supositoria
diabsorpsi dengan mudah melalui mukosa ke dalam jaringan kandung kemih untuk
menghasilkan relaksasi otot/menghilangkan spasme.
2) Antibiotik
dan antibakteri.
Rasional: diberikan
untuk melawan infeksi. Mungkin digunakan secara profilaksis.
3) Fenoksibenzamin
(Dibenzyline).
Rasional: diberikan
untuk membuat berkemih lebih mudah dengan merelaksasikan otot polos prostat dan
menurunkan tahanan terhadap aliran urine. Digunakan dengan kewaspadaan karena
mengecilkan kelenjar dan mempunyai efek samping tak enak seperti pusing dan
kelelahan.
4) Antagonis
alfa-adrenergik contoh prazosin (Minipres), terazosin (Hytrin).
Rasional: penelitian
menunjukkan bahwa obat ini mungkin sama
efektifnya dengan Dibenzyline dengan efek samping demam.
5) Kateterisasi
untuk residu urine dan biarkan kateter tak menetap sesuai indikasi.
Rasional:
menghilangkan/mencegah retensi urine dan mengesampingkan adanya striktur
uretral. Catatan: Dekompensasi
kandung kemih harus dilakukan dengan menambah 200 ml untuk mencegah hematuria
(ruptur pembuluh darah pada mukosa kandung kemih yang terlalu distensi) dan
pingsan (stimulasi otonomik berlebihan). Kateter Coude diperlukan karena ujung
lengkung memudahkan pasase selang melalui uretra prostat.
6) Irigasi
kateter sesuai indikasi.
Rasional: mempengaruhi
patensi/aliran urine.
7) Monitor
laboratory studies, e.g.: BUN, kreatinin, elektrolit.
Rasional: pembesaran
prostat (obstruksi) secara nyata menyebabkan dilatasi saluran perkemihan atas
(ureter dan ginjal), berpotensi merusak fungsi ginjal dan menimbulkan uremia.
8) Urinalisa
dan kultur.
Rasional: statis
urinaria potensial untuk pertumbuhan bakteri, peningkatan resio ISK.
9) Siapkan/bantu
untuk drainase urine, contoh: sistostomi;
Rasional: diindikasikan
untuk mengalirkan kandung kemih selama episode akut dengan azotemia atau bila
bedah dikontraindikasikan karena status kesehatan pasien.
10) Prosedur
percobaan, contoh: hipertermia transuretral;
Rasional: pemanasan
bagian sentral prostat dengan memasukkan elemen pemanas melalui uretra membuat
pengecilan prostat. Tindakan dilakukan 1-2 kali/minggu untuk beberapa minggu
untuk meningkatkan hasil yang diinginkan.
11) Bedah
beku;
Rasional: pembekuan
kapsul prostat menyebabkan pengelupasan jaringan prostat menghilangkan
obstruksi. Prosedur ini tidak seefektif TURP dan dilakukan secara individual
yang dipertimbangkan beresiko anestesi buruk.
12) Balon
uretroplasti/dilatasi transuretral prostat.
Rasional: inflasi balon
ujung kateter dalam area terobstruksi mengubah letak jaringan prostat, sehingga
memperbaiki aliran urine.
(Doenges,
E. Marilynn, 2002)
2.2.2.2 Diagnosa
keperawatan: Nyeri (akut)
Dapat
dihubungkan dengan: iritasi mukosa; distensi kandung kemih, kolik ginjal;
infeksi urinaria; terapi radiasi.
Dapat
dibuktikan oleh: keluhan nyeri (kandung kemih spasme rektal). Penyempitan
fokus; perubahan tonus otot, meringis, perilaku distraksi, gelisah. Respons
otonomik.
Hasil
yang diharapkan/kriteria evaluasi, pasien akan:
- Melaporkan
nyeri hilang/terkontrol.
- Tampak
rileks.
- Mampu
untuk tidur/istirahat dengan tepat.
Tindakan/intervensi
Mandiri
1) Kaji nyeri, perhatikan lokasi, intensitas
(skala 0-10), lamanya.
Rasional:
memberikan informasi untuk membantu dalam menentukan pilihan/keefektifan
intirevensi.
2) Plester selang drainase pada paha dan kateter
pada abdomen (bila traksi tidak diperlukan).
Rasional:
mencegah penarikan kandung kemih dan erosi pertemuan penis-skrotal.
3) Pertahankan tirah baring bila diindikasikan.
Rasional:
tirah baring mungkin diperlukan pada awal selama fase retensi akut. Namun,
ambulasi dini dapat memperbaiki pola berkemih normal dan menghilangkan nyeri
kolik.
4) Berikan tindakan kenyamanan, contoh pijatan
punggung; membantu pasien melakukan posisi yang nyaman; mendorong penggunaan
relaksasi/latihan napas dalam; aktivitas terapeutik.
Rasional:
meningkatkan relaksasi, memfokuskan kembali perhatian, dan dapat meningkatkan
kemampuan koping.
5) Dorong menggunakan rendam duduk, sabun hangat
untuk perineum.
Rasional: meningkatkan relaksasi otot.
Kolaborasi
1) Masukkan kateter dan dekatkan untuk
melancarkan drainase.
Rasional:
pengalihan kandung kemih menurunkan tegangan dan kepekaan kelenjar.
2) Lakukan masase prostat.
Rasional:
membantu dalam evakuasi duktus kelenjar untuk menghilangkan kongesti/inflamasi.
Kontraindikasi bila infeksi terjadi.
3) Berikan obat sesuai indikasi: narkotik, contoh
eperidin (Demerol);
Rasional:
diberikan untuk menghilangkan nyeri berat, memmberikan relaksas mental dan
fisik.
4) Antibakterial, contoh metenamin hipurat
(Hiprex);
Rasional:
menurunkan adanya bakteri dalam traktus urinarius juga yang dimasukkan melalui
sistem drainase.
5) Antispasmodik dan sedatif kandung kemih,
contoh flakvosat (Urispas); oksibutinin (Ditropan).
Rasional:
menghilangkan kepekaan kandung kemih.
(Doenges,
E. Marilynn, 2002)
2.2.2.3 Diagnosa
keperawatan: Risiko tinggi terhadap kekurangan volume cairan
Faktor
resiko meliputi: pasca obstruksi diuresis dari drainase cepat kandung kemih
yang terlalu distensi secara kronis. Endokrin, ketidakseimbangan elektrolit
(disfungsi ginjal).
Kemungkinan
dibuktikan oleh: (Tidak dapat diterapkan; adanya tanda-tanda dan gejala-gejala
membuat diagnosa aktual).
Hasil
yang diharapkan/kriteria evaluasi, pasien akan:
- Mempertahankan
hidrasi adekuat dibuktikan oleh tanda vital stabil, nadi perifer teraba,
pengisian kapiler baik, dan membran mukosa lembab.
Tindakan/intervensi:
Mandiri
1) Awasi
keluaran dengan hati-hati, tiap jam bila diindikasikan. Perhatikan keluaran
100-200 ml/jam.
Rasional: diuresis
cepat dapat menyebabkan kekurangan volume total cairan, karena ketidakcukupan
jumlah natrium diabsorpsi dalam tubulus ginjal.
2) Dorong
peningkatan pemasukan oral berdasarkan kebutuhan individu.
Rasional: pasien
dibatasi pemasukan oral dalam upaya mengontrol gejala urinaria, homeostatik
pengurangan cadangan dan peningkatan resiko dehidrasi/hipovolemia.
3) Awasi
TD, nadi dengan sering. Evaluasi pengisian kapilar dan membran mukosa oral.
Rasional: memampukan
deteksi dini/intervensi hipovolemik sistemik.
4) Tingkatkan
tirah baring dengan kepala tinggi.
Rasional: menurunkan
kerja jantung, memudahkan homeostatis sirkulasi.
Kolaborasi
1) Awasi
elektrolit, khususnya natrium.
Rasional: bila
pengumpulan cairan terkumpul dari area ekstraselular, natrium dapat mengikuti
perpindahan, menyebabkan hiponatremia.
2) Berikan
cairan IV (garam faal hipertonik) sesuai kebutuhan.
Rasional: menggantikan
kehilangan cairan dan natirum untuk mencegah/memperbaiki hipovolemia.
(Doenges,
E. Marilynn, 2002)
2.2.2.4 Diagnosa
keperawatan: Ketakutan/ansietas
Dapat
dihubungkan dengan: Perubahan status kesehatan: kemungkinan prosedur
bedah/malignansi. Malu/hilang martabat sehubungan dengan pemajanan genital
sebelum, selama, dan sesudah tindakan;
masalah tentang kemampuan seksualitas.
Kemungkinan
dibuktikan oleh: Peningkatan tegangan, ketakutan, kekuatiran. Mengekspresikan
masalah tentang adanya perubahan. Ketakutan akan konsekuensi tak spesifik.
Hasil
yang diharapakan/kriteria evaluasi, pasien akan:
-
Tampak rileks
-
Menyatakan pengetahuan
yang akurat tentang situasi.
-
Menunjukkan rentang
tepat tentang perasaan dan penurunan rasa takut.
-
Melaporkan ansietas
menurun sampai tingkat dapat ditangani.
Tindakan/intervensi:
Mandiri
1)
Selalu ada untuk
pasien. Buat hubungan saling percaya dengan pasien/orang terdekat.
Rasional:
menunjukkan perhatian dan keinginan untuk membantu. Membantu dalam diskusi
tentang subjek sensitif.
2)
Berikan informasi
tentang prosedur dan tes khusus dan apa yang akan terjadi, contoh kateter,
urine berdarah, iritasi kandung kemih. Ketahui seberapa banyak informasi yang
diinginkan pasien.
Rasional:
membantu pasien memahami tujuan dari apa yang dilakukan, dan mengurangi masalah
dari ketidaktahuan, termasuk ketakutan akan kanker. Namun kelebihan informasi
tidak membantu dan dapat meningkatkan ansietas.
3)
Pertahankan perilaku
nyata dalam melakukan prosedur/menerima pasien. Lindungi privasi pasien.
Rasional:
menyatakan penerimaan dan menghilangkan rasa malu pasien.
4)
Dorong pasien/orang
terdekat untuk menyatakan masalah/perasaan.
Rasional:
mendefinisikan masalah, memberikan kesempatan untuk menjawab pertanyaan,
memperjelas kesalahan konsep, dan solusi pemecahan masalah.
5)
Beri penguatan
informasi pasien yang telah diberikan sebelumnya.
Rasional:
memungkinkan pasien untuk menerima kenyataan dan menguatkan kepercayaan pada
pemberi perawatan dan pemberian informasi.
(Doenges,
E. Marilynn, 2002)
2.2.2.5 Diagnosa
keperawatan: Kurang pengetahuan (kebutuhan belajar) tentang kondisi, prognosis,
dan kebutuhan pengobatan
Dapat
dihubungkan dengan: kurang terpajan/mengingat, salah interpretasi informasi.
Tidak mengenal sumber informasi. Masalah tentang area sensitif.
Kemungkinan
dibuktikan oleh: pertanyaan, meminta informasi. Menyatakan masalah/indikator
non-verbal. Tidak akurat mengikuti instruksi, terjadinya komplikasi yang dapat
dicegah.
Hasil
yang diharapkan/kriteria evaluasi, pasien akan:
- Menyatakan
pemahaman proses peyakit/prognosis.
- Mengidentifikasi
hubungan tanda/gejala proses penyakit.
- Melakukan
perubahan pola hidup/perilaku yang perlu.
- Berpartisipasi
dalam program pengobatan.
Tindakan/intervensi:
1)
Kaji ulang proses
penyakit, pengalaman pasien.
Rasional:
memberikan dasar pengetahuan dimana pasien dapat membuat pilihan informasi
terapi.
2)
Dorong menyatakan rasa
takut/perasaan dan perhatian.
Rasional:
membantu pasien mengalami perasaan dapat merupakan rehabilitasi vital.
3)
Berikan informasi bahwa
kondisi tidak ditularkan secara seksual.
Rasional:
mungkin merupakan ketakutan yang tidak dibicarakan.
4)
Anjurkan menghindari
makanan berbumbu, kopi, alkohol, mengemudikan mobil lama, pemasukan cairan
cepat (terutama alkohol).
Rasional:
dapat menyebabkan iritasi prostat dengan masalah kongesti. Peningkatan
tiba-tiba pada aliran urine dapat menyebabkan distensi kandung kemih dan dan
kehilangan tonus kandung kemih, dapat mengakibatkan episode retensi urinaria
akut.
5)
Bicarakan masalah
seksual, contoh bahwa selama episode akut protatitis, koitus dihindari tetapi
mungkin membantu dalam pengobatan kondisi kronis.
Rasional:
aktivitas seksual dapat meningkatkan nyeri selama episode akut tetapi dapat
memberikan suatu massase pada adanya penyakit kronis.
6)
Kaji ulang tanda/gejala
yang memerlukan evaluasi medik, contoh urine keruh, berbau; penurunan haluaran
urine, ketidakmampuan untuk berkemih; adanya demam/menggigil.
Rasional:
intervensi cepat dapat mencegah komplikasi lebih serius.
7)
Diskusikan perlunya
pemberitahuan pada perawat kesehatan lain tentang diagnosa.
Rasional:
menurunkan risiko terapi tidak tepat, contoh penggunaan dekongestan,
antiikolinergik, dan dapat mencetuskan episode akut.
8)
Beri penguatan pentingnya
evaluasi medik untuk sedikitnya 6 bulan – 1 tahun, termasuk pemeriksaan rektal
urinalisa.
Rasional:
hipertrofi berulang dan/atau infeksi (disebabkan oleh organisme yang sama atau
berbeda) tidak umum dan akan memerlukan perubahan terapi untuk mencegah
komplikasi serius.
(Doenges,
E. Marilynn, 2002)
2.2.2.6 Risiko tinggi terhadap infeksi
Faktor resiko meliputi:
Prosedur invasif: alat selama pembedahan, kateter, irigasi kandung kemih
sering. Trauma jaringan, insisi bedah (contoh perineal).
Kemungkinan
dibuktikan oleh: [Tidak dapat diterapkan; adanya tanda-tanda dan gejala-gejala
membuat diagnosa aktual].
Hasil yang diharapkan/kriteria evaluasi, pasien akan:
-
Mencapai waktu
penyembuhan.
-
Tak mengalami
tanda infeksi.
Tindakan/intervensi:
Mandiri
1) Pertahankan sistem kateter steril; berikan perawatan
kateter regular dengan sabun dan air, berikan salep antibiotic disekitar sisi
kateter.
Rasional: mencegah
pemasukan bakteri dan infeksi/sepsis lanjut.
2) Ambulasi dengan kantung drainase dependen.
Rasional: menghindari
reflek balik urine, yang dapat memasukkan bakteri ke dalam kandung kemih.
3) Awasi tanda vital, perhatikan demam ringan, menggigil,
nadi dan pernapasan cepat, gelisah, peka, disorientasi.
Rasional: pasien
yang mengalami sistoskopi dan/atau TUR prostat berisiko untuk syok bedah/septik
sehubungan dengan manipulasi/instrumentasi.
4) Observasi drainase dari luka, sekitar kateter
suprapubik.
Rasional: adanya
drain, insisi suprapubik meningkatkan risiko untuk infeksi, yang diindikasikan
dengan eritema, drainase purulen.
5) Ganti balutan dengan sering (insisi supra/retropubik
dan perineal), pembersihan dan pengeringan kulit sepanjang waktu.
Rasional: balutan
basah menyebabkan kulit iritasi dan memberikan media untuk pertumbuhan bakteri,
peningkatan risiko infeksi luka.
6) Gunakan pelindung kulit tipe ostomi.
Rasional: memberikan
perlindungan untuk kulit sekitar, mencegah ekskoriasi dan menurunkan risiko
infeksi.
Kolaborasi
1) Berikan antibiotik sesuai indikasi.
Rasional: mungkin
diberikan secara profilaktik sehubungan dengan peningkatan risiko infeksi pada
prostatektomi.
(Doenges,
E. Marilynn, 2002)
2.2.2.7 Risiko tinggi terhadap disfungsi seksual
Faktor
risiko meliputi: Situasi krisis (inkontinensia, kebocoran urine setelah
pengangkatan kateter, keterlibatan area genital). Ancaman konsep diri/perubahan
status kesehatan.
Kemungkinan dibuktikan oleh:
[Tidak dapat diterapkan; adanya tanda-tanda dan gejala-gejala membuat diagnosa
aktual].
Hasil yang diharapkan/kriteria evaluasi, pasien akan:
- Tampak rileks dan melaporkan ansietas menurun sampai
tingkat dapat diatasi.
-
Menyatakan
pemahaman situasi individual.
-
Menunjukkan
keterampilan pemecahan masalah
Tindakan/intervensi:
Mandiri
1) Berikan keterbukaan pada pasien/orang terdekat untuk
membicarakan tentang masalah inkontinensia dan fungsi seksual.
Rasional: dapat
mengalami ansietas tentang efek bedah dan dapat menyembunyikan pertanyaan yang
diperlukan. Ansietas dapat mempengaruhi kemampuan untuk menerima informasi yang
diberikan sebelumnya.
2)
Berikan
informasi akurat tentang harapan kembalinya fungsi seksual.
Rasional: impotensi
fisiologis terjadi bila saraf perineal dipotong selama prosedur radikal; pada
pendekatan lain, aktivitas seksual dapat dilakukan seperti biasa dalam 6-8
minggu. Catatan: Prostese penis dapat
dianjurkan setelah prosedur perineal radikal.
3) Diskusikan dasar anatomi. Jujur dalam menjawab
pertanyaan pasien.
Rasional: saraf
pleksus mengontrol aliran secara posterior ke prostat melalui kapsul prostat,
impoten dan sterilitas biasanya tidak menjadi konsekuensi. Prosedur bedah mungkin
tidak memberikan pengobatan permanen, dan hipertrofi dapat terulang.
4)
Diskusikan
ejakulasi retograd bila pendekatan transuretral/suprapubik digunakan.
Rasional: cairan
seminal mengalir kedalam kandung kemih dan disekresikan melalui urine. Ini
tidak mempengaruhi fungsi seksual tetapi akan menurunkan kesuburan dan
menyebabkan urine keruh.
5)
Instruksikan
latihan perineal dan interupsi/kontinu aliran urine.
Rasional: meningkatkan
peningkatan kontrol otot kontinensia urinaria dan fungsi seksual.
Kolaborasi
1)
Rujuk ke
penasehat seksual sesuai indikasi.
Rasional: masalah
menetap/tidak teratasi memerlukan intervensi profesional.
(Doenges, E. Marilynn, 2002)
2.2.2.8 Perubahan eliminasi urine
Dapat dihubungkan dengan: stimulasi
kandung kemih oleh batu; iritasi ginjal atau uretral, obstruksi mekanik
inflamasi dibuktikan oleh urgensi dan frekuensi; oliguria (retensi), hematuria.
Kemungkinan dibuktikan oleh:
Frekuensi, urgensi, keragu-raguan,
disuria, inkontinensia, retensi. Kandung kemih penuh; ketidaknyamanan
suprapubik.
Hasil yang diharapkan/kriteria evaluasi,
pasien akan:
-
Berkemih dengan jumlah
normal dan pola biasanya.
-
Tak mengalami tanda
obstruksi.
Tindakan/Intervensi:
1) Kaji
haluaran urine dan sistem kateter/drainase,khususnya selama irigasi kandung
kemih
Rasional:
retensi dapat terjadi karena edema area bedah, bekuan darah, dan spasme kandung
kemih.
2) Bantu
pasien memilih posisi normal untuk berkemih, contoh berdiri,berjalan ke kamar
mandi, dengan frekuensi sering setelah kateter dilepas.
Rasional:
mendorong pasase urine dan meningkatkan rasa normalitas.
3) Perhatikan
waktu, jumlah berkemih, dan ukuran aliran setelah kateter dilepas. Perhatikan
keluhan rasa penuh kandung kemih; ketidakmampuan berkemih, urgensi.
Rasional:
kateter biasanya dilepas 2-5 hari setelah bedah, tetapi berkemih dapat
berlanjut menjadi masalah untuk beberapa waktu karena edema uretral dan kehilangan
tonus.
4) Dorong
pasien untuk berkemih bila terasa dorongan tetapi tidak lebih dari 2-4 jam per
protokol.
Rasional:
berkemih dengan dorongan mencegah retensi urine. Katerbatasan berkemih untuk
tiap 4 jam (bila ditoleransi) meningkatkan tonus kandung kemih dan membantu
latihan ulang kandung kemih.
5) Ukur
volume residu bila ada kateter suprapubik.
Rasional:
mengawasi keefektifan pengosongan kandung kemih. Residu lebih dari 50 ml
menunjukkan perlunya kontinuitas kateter sampai tonus kandung kemih membaik.
6) Dorong
pemasukan cairan 3000ml sesuai toleransi. Batasi cairan pada malam, setelah
kateter dilepas.
Rasional:
mempertahankan hidrasi adekuat dan perfusi ginjal untuk aliran urine.
“Penjadwalan” masukan cairan menurunkan kebutuhan berkemih/gangguan tidur
selama malam hari.
7) Instruksikan
pasien untuk mengencangkan bokong, menghentikan dan memulai aliran urine.
Rasional:
membantu meningkatkan kontrol kandung kemih/sfingter urine, meminimalkan
inkontinensia.
8) Anjurkan
pasien bahwa “penetesan” diharapkan setelah kateter dilepas dan harus teratasi
sesuai kemajuan.
Rasional:
informasi membantu pasien untuk menerima masalah. Fungsi normal dapat kembali
dalam 2-3 minggu tetapi memerlukan sampai 8 bulan setelah pendekatan perineal.
Kolaborasi:
1) Pertahankan
irigasi kandung kemih kontinu (continuous
bladder irrigation [CBI]) sesuai
indikasi pada periode pasca operasi dini.
Rasional:
mencuci kandung kemih dari bekuan darah dan debris untuk mempertahankan patensi
kateter/aliran urine.
(Doenges,
E. Marilynn, 2002)
2.2.2.9 Gangguan citra tubuh
Faktor yang berhubungan:
pembedahan, depresi, efek samping penanganan (misalnya, impotensi), penampilan
ostomi (misal, urostomi)
Batasan karakeristik:
Baik (A) maupun (B) harus
ada untuk menegakkan diagnosis Gangguan
citra tubuh. Batasan karakteristik yang tersisa harus digunakan untuk
memvalidasi adanya (A) atau (B).
(A)
Respons verbal
perasaan atau persepsi yang mencerminkan perubahan aktual atau persepsi perubahan
struktur, penampilan, atau fungsi tubuh.
(B)
Respons
nonverbal terhadap perubahan aktual atau persepsi perubahan struktur,
penampilan, atau fungsi tubuh.
Subjektif:
1. Depersonalisasi bagian (tubuh) atau kehilangan melalui
kata gantiretral.
2. Penekanan pada kekuatan yang tersisa dan pencapaian
yang tertinggi
3. Rasa takut terhadap penolakan atau reaksi dari orang
lain
4. Berfokus pada kekuatan, fungsi atau penampilan di masa
lalu\
5. Perasaan negatif tentang tubuh (misalnya, perasaan
putus asa, tidak mampu, atau tidak berdaya)
6. Personalisasi dari bagian tubuh atau bagian tubuh yang
hilang dengan nama
7. Fokus pada perubahan atau kehilangan
8. Mengungkapkan secara verbal perubahan gaya hidup
Objektif:
1. Perubahan aktual pada struktur atau fungsi (tubuh)
2. Perilaku menghindar, memantau, atau mencari tahu
tentang tubuh individu
3. Perubahan pada kemampuan untuk memperkirakan hubungan
spasial tubuh terhadap lingkungan
4. Perubahan dalam keterlibatan social
5. Menutupi atau terlalu memperlihatkan bagian tubuh
(dengan sengaja ataupun tidak)
6. Kehilangan bagian tubuh, tidak menyentuh bagian tubuh
Kriteria evaluasi:
Pasien
akan:
-
Mengidentifikasi
kekuatan personal
-
Mengenali dampak
situasi pada hubungan personal dan gaya hidup
-
Mengenali perubahan
aktual pada penampilan tubuh
-
Menunjukkan penerimaan
penampilan
-
Menggambarkan perubahan
aktual pada fungsi tubuh
-
Bersikap realistik
mengenai hubungan antara tubuh dengan lingkungan
-
Mengambil tanggungjawab
untuk perawatan diri
-
Memelihara interaksi
sosial yang dekat dan hubungan personal
Intervensi:
Mandiri
1)
Bimbingan antisipasi:
mempersiapkan pasien terhadap krisis perkembangan atau krisis situasional.
2)
Peningkatan citra
tubuh: meningkatkan persepsi sadar dan tak sadar pasien serta sikap terhadap
tubuh pasien.
3)
Peningkatan koping:
membantu pasien untuk beradaptasi dengan persepsi stresor, perubahan, atau
ancaman yang menghambat pemenuhan tuntutan dan peran hidup.
4)
Peningkatan harga diri:
membantu pasien untuk meningkatkan penilaian terhadap harga diri.
Kolaborasi
1)
Rujuk ke layanan sosial
untuk merencanakan perawatan dengan pasien dan keluarga.
2)
Rujuk ke tim
interdisipliner untuk klien yang memiliki kebutuhan kompleks (mis., komplikasi
pembedahan).
Aktivitas
lain
1)
Dengarkan pasien dan
keluarga secara aktif dan akui realitas kekhawatiran terhadap perawatan,
kemajuan, dan prognosis.
2)
Beri dorongan kepada
pasien dan keluarga untuk mengungkapkan perasaan dan untuk berduka, jika perlu.
3)
Dukung mekanisme koping
yang biasa digunakan pasien; sebagai contoh, tidak meminta pasien untuk
mengeksplorasi perasaannya jika pasien tampak enggan melakukannya.
4)
Bantu pasien dan
keluarga untuk mengidentifikasi dan menggunakan mekanisme koping
5)
Bantu pasien dan
keluarga untuk mengidentifikasi kekuatan dan mengenaliketerbatasan mereka
6)
Berikan perawatan
dengan cara yang tidak menghakimi, jaga privasi danmartabat pasien
7)
Hati-hati dengan
ekspresi wajah anda ketika merawat pasien dengan cacat tubuh,pertahankan
ekspresi netral
8)
Bantu pasien dan
keluarga untuk secara bertahap menjadi terbiasa dengan perubahan tubuhnya,
mungkin menyentuh area yang terganggu sebelum melihatnya
9)
Beri dorongan kepada
pasien untuk :
Mempertahankan
kebiasaan berhias sehari-hari yang rutin dilakukan
Berpartisipasi
dalammegambil keputusan
Mengungkapkan
secara verbal kekhawatiran tentang hubungan personal yang dekat dan respons orang
lain terhadap perubahan tubuhnya
Mengungkapkan
secara verbal konsekuensi perubahan fisik dan emosi yang memengaruhi konsep
diri
(Wilkinson,
Judith M. 2013)
2.2.2.10 Hambatan mobilitas fisik
Dapat dihubungkan dengan terapi
pembatasan, takut terhadap lepasnya kateter, penurunan kekuatan/tahanan;
gangguan muskuloskeletal. Gangguan persepsi kognitif.
Kemungkinan dubuktikan oleh:
Menolak
untuk bergerak, ketidakmampuan untuk bergerak dalam lingkungan fisik. Penurunan
massa otot/tonus dan kekuatan. Gangguan koordinasi. Nyeri, tak nyaman.
Hasil yang diharapkan/kriteria
evaluasi, pasien akan:
-
Mempertahankan
mobilitas/fungsi optimal.
-
Menunjukkan peningkatan
kekuatan dan bebas dari komplikasi (kontraktur, dekubitus)
Tindakan/Intervensi:
1) Kaji
keterbatasan aktivitas, perhatikan adanya/derajat. keterbatasan/kemampuan.
Rasional: mempengaruhi
pilihan intervensi.
2) Ubah
posisi secara sering bila tirah baring
Rasional:
menurunkan ketidaknyamanan, meningkatkan sirkulasi, dan mencegah kerusakan
kulit.
3) Pertahankan
kebersihan dan kekeringan kulit.
Rasional: mencegah
iritasi kulit
4) Bantu
dalam latihan rentang gerak aktif/pasif.
Rasional:
mempertahankan kelenturan sendi, mencegah kontraktur, dan membantu dalam
menurunkan tegangan otot.
5) Implementasikan
program latihan bila tepat.
Rasional:
penelitian menunjukkan bahwa program latihan teratur mempunyai keuntungan pada
pasien.
(Doenges, E. Marilynn, 2002)
2.2.3
Implementasi
Implementasi adalah
tahap ketika perawat mengaplikasikan rencana asuhan keperawatan ke dalam bentuk
intervensi keperawatan guna membantu kien mencapai tujuan yang telah
ditetapkan. Kemampuan yang harus dimiliki perawat pada tahap implementasi
adalah kemampuan komunikasi yang efektif, kemampuan untuk menciptakan hubungan
saling percaya dan saling bantu, kemampuan melakukan teknik psikomotor,
kemampuan melakukan observasi sistematis, kemampuan memberikan pendidikan
kesehatan, kemampuan advokasi, dan kemampuan evaluasi.
Implementasi tindakan
keperawatan dibedakan menjadi tiga kategori, yaitu independent, interdependent,
dan dependen.
1.
Independent,
yaitu suatu kegiatan yang dilaksanakan oleh perawat tanpa petunjuk dari dokter
atau tenaga kesehatan lainnya. Lingkup tindakan keperawatan independen, antara
lain:
a. Mengkaji
klien atau keluarga melalui riwayat keperawatan dan pemeriksaan fisik untuk
mengetahui status kesehatan klien.
b. Merumuskan
diagnosis keperawatan sesuai respons klien yang memerlukan intervensi
keperawatan.
c. Mengidentifikasi
tindakan keperawatan untuk mempertahankan atau memulihkan kesehatan klien.
d. Mengevaluasi
respons klien terhadap tindakan keperawatan dan medis.
2. Interdependet,
yaitu suatu kegiatan yang memerlukan kerjasama dari tenaga kesehatan lain
(mis., ahli gizi, fisioterapi, dan dokter).
3. Dependen,
berhubungan dengan pelaksanaan rencana tindakan medis/instruksi dari tenaga
medis.
Hal lain yang
tidak kalah penting pada tahap implementasi ini adalah mengevaluasi respons
atau hasil dari tindakan keperawatan yang dilakukan terhadap klien serta
mendokumentasikan semua tindakan yang telah dilaksanakan berikut respons atau hasilnya.
(Asmadi,
2008)
2.2.4
Evaluasi
Evaluasi adalah tahap
akhir dari proses keperawatan yang merupakan perbandingan yang sistematis dan
terencana antara hasil akhir yang teramati dan tujuan atau kriteria hasil yang
dibuat pada tahap perencanaan. Evaluasi dilakukan secara berkesinambungan
dengan melibatkan klien dan tenaga kesehatan lainnya. Jika hasil evaluasi
menunjukkan tercapainya tujuan dan kriteria hasil, klien bisa keluar dari
siklus proses keperawatan. Jika sebaliknya, klien akan masuk kembali ke dalam
siklus tersebut mulai dari pengkajian ulang (reassessment). Secara umum, evaluasi ditujukan untuk:
1.
Melihat dan menilai
kemampuan klien dalam mencapai tujuan.
2.
Menentukan apakah
tujuan keperawatan telah tercapai atau belum.
3.
Mengkaji penyebab jika
tujuan asuhan keperawatan belum tercapai.
Evaluasi terbagi atas
dua jenis, yaitu evaluasi formatif dan evaluasi sumatif. Evaluasi formatif
berfokus pada aktivitas proses keperawatan dan hasil tindakan keperawatan.
Evaluasi formatif ini dilakukan segera setelah perawat mengimplementasikan
rencana keperawatan guna menilai keefektifan tindakan keperawatan yang telah
dilaksanakan. Perumusan evaluasi formatif ini meliputi empat komponen yang
dikenal dengan istilah SOAP, yakni subjektif
(data berupa keluhan klien), objektif (data hasil pemeriksaan), analisis data
(pembandingan data dengan teori), dan perencanaan.
Evaluasi
sumatif adalah evaluasi yang dilakukan setelah semua aktivitas proses
keperawatan selesai dilakukan. Evaluasi sumatif ini bertujuan menilai dan
memonitor kualitas asuhan keperawatan yang telah diberikan. Metode yang dapat
digunakan pada evaluasi jenis ini adalah melakukan wawancara pada akhir
layanan, menanyakan respons klien dan keluarga terkait layanan keperawatan,
mengadakan pertemuan pada akhir layanan.
Ada
tiga kemungkinan hasil evaluasi yang terkait dengan pencapaian tujuan
keperawatan.
1.
Tujuan
tercapai jika klien menunjukkan perubahan sesuai
dengan standar yang telah ditentukan.
2. Tujuan tercapai
sebagian atau klien masih dalam proses pencapaian tujuan
jika klien menunjukkan perubahan pada sebagian kriteria yang telah ditetapkan.
3. Tujuan tidak tercapai
jika klien hanya menunjukkan sedikit perubahan dan tidak ada kemajuan sama
sekali serta dapat timbul masalah baru.
(Asmadi,
2008)
|
BAB
3
TINJAUAN
KASUS
3.1 Pengkajian
3.1.1
Identitas klien dan
keluarga
Inisial
pasien : Tn. Z
Umur : 60 tahun
Alamat : Rowotengah, Sumberbaru - Jember
Jenis
kelamin : Laki-laki
Agama : Islam
Pendidikan : SD
Pekerjaan : Tani
Status : Nikah
Golongan
darah : O
Nomer
RM : 14.54.11
Inisial
informan : Tn. J
Hubungan
keluarga : Istri
Umur : 55 tahun
Alamat : Rowotengah, Sumberbaru - Jember
Pekerjaan : Swasta
Tanggal
MRS/pukul : 18 Maret 2013 / 07.30 WIB
Tanggal
pengkajian/pukul : 18 Maret 2013 / 13.00 WIB
|
3.1.2
Riwayat keperawatan dan
kesehatan klien
3.1.2.1 Keluhan
utama
3.1.2.1.1
Keluhan saat MRS
Klien
mengatakan susah buang air kecil sejak
1 bulan yang lalu, sebelum dipasang selang frekuensi
kencing sering tapi sedikit-sedikit, sering kambuh
pada malam hari, nyeri jika dipaksakan mengejan, tidak keluar darah.
3.1.2.1.2
Keluhan saat ini
Klien mengatakan setelah dipasang selang sudah tidak
sakit lagi saat kencing, tetapi klien mengatakan belum siap menjalani operasi.
Klien tidak mengeluh sesak.
3.1.2.2 Riwayat
penyakit sekarang
Klien
mengatakan sulit buang air kecil sejak 1
bulan yang lalu, frekuensi kencing
sering tapi sedikit-sedikit, sering kambuh pada malam hari, dan sakit jika
dipaksakan mengejan. Kemudian klien
memeriksakan ke Puskesmas Tanggul dan dipasang selang. Tanggal 18 Maret 2013 klien memeriksakan ke Poli Bedah RSD dr. Haryoto
Lumajang, dan dokter menyarankan agar Tn. Z menjalani rawat inap karena
prostatnya bermasalah dan harus dioperasi. Hari itu juga Tn. Z menjalani
perawatan di Ruang Kenanga RSD dr.
Haryoto Lumajang.
3.1.2.3 Riwayat
penyakit masa lalu
Klien
mengatakan pernah menderita penyakit
yang sama 13 tahun yang lalu tetapi tidak sampai operasi,
klien juga mengatakan mempunyai darah
tinggi dan tidak mempunyai kencing manis.
3.1.2.4 Riwayat
penyakit keluarga
Klien
mengatakan anggota keluarganya tidak ada yang menderita penyakit seperti ini, klien mengatakan di keluarganya yang mempunyai
penyakit darah tinggi adalah ibunya. Klien mengatakan dirinya dan keluarganya tidak ada
yang menderita kencing manis.
3.1.2.5 Pola
fungsi kesehatan
3.1.2.5.1
Pola persepsi dan tata
laksana kesehatan
Pola
persepsi: Klien mengatakan tidak tahu penyakit yang di deritanya dan apa
penyebabnya.
Tata
laksana kesehatan:
Sebelum MRS: Klien
mengatakan jika sakit hanya
membeli obat di warung, tapi jika tidak sembuh baru memeriksakan ke Puskesmas. Klien mengatakan tiap
kencingnya sulit keluar, klien minum yang banyak supaya lancar, dan biasanya
kencingnya berhasil keluar agak banyak.
Selama MRS: Klien
kooperatif dalam menjalani pengobatan penyakitnya.
3.1.2.5.2
Pola nutrisi dan
metabolik
Sebelum MRS: Klien
mengatakan makan 2-3 kali sehari dengan porsi satu piring habis, lauk sayur, tempe,
dan ikan, sebelum memakai selang kadang tidak enak makan
karena mual, tetapi tidak sampai muntah. Klien
mengatakan minum air putih 5-6 kali sehari
(±
1200cc), kadang minum teh dan kopi.
Klien mengatakan BB sebelum MRS kira-kira 47 Kg.
Selama MRS: Klien makan
teratur 3 kali sehari porsi rumah sakit habis setengahnya dengan diit TKTP. Klien mengatakan rutin minum air mineral 2 botol sehari (±
3000cc). Klien mengatakan tidak pernah merasakan mual/muntah.
3.1.2.5.3
Pola eliminasi
Sebelum MRS: Klien
mengatakan BAB 1x sehari
dengan konsistensi lembek,
warna kuning kecoklatan, dan BAK sebelum memakai selang ±10 kali sehari (±500cc),
warna kuning kecoklatan, bau khas. Klien mengatakan sebelum dipasang selang frekuensi
kencing sering tapi sedikit-sedikit, sering kambuh
pada malam hari, nyeri jika dipaksakan mengejan, tidak keluar darah. BAK
setelah dipasang selang 3-4 kali sehari (±800cc), warna kuning kecoklatan, bau
khas (selang dipasang di Puskesmas Tanggul, urobag dilepas sendiri oleh Tn. Z
karena dirasakan mengganggu aktivitasnya, kateter diikat).
Selama MRS: Klien
mengatakan belum BAB sejak MRS, klien terpasang DC, BAK ±100cc tiap jam warna kuning kemerahan.
3.1.2.5.4
Pola tidur dan
istirahat
Sebelum MRS: Klien
mengatakan tidur selama 5-7 jam sehari, sebelum dipasang selang klien sering
terbangun malam karena
merasa ingin kencing, terkadang
sampai mengganggu tidurnya karena sulit untuk tidur lagi.
Selama MRS: Klien
mengatakan tidurnya cukup 8-10
jam sehari, klien
mengatakan sudah jarang terbangun karena dipasang selang kencing.
3.1.2.5.5
Pola aktivitas dan
latihan
Sebelum MRS: Klien
bekerja sebagai petani, berangkat ke sawah mulai pukul 07.00 sampai pukul 14.00
WIB. Klien mengatakan tidak pernah berolahraga.
Selama MRS: Klien
banyak terbaring di tempat tidur, kadang duduk, klien mengatakan sebagian
aktifitas seperti ke kamar mandi dibantu keluarga, tidak ada nyeri saat
bergerak atau berjalan.
3.1.2.5.6
Pola sensori dan
pengetahuan
Pola
sensori: Kesadaran klien kompos mentis, penglihatan baik, tidak terjadi
penurunan pendengaran, indra pengecap baik.
Pola
pengetahuan: Klien mengatakan tidak tahu penyakitnya dan apa penyebabnya.
Klien sering bertanya tentang penyebab penyakitnya dan operasi apa yang akan
dijalaninya.
3.1.2.5.7
Pola hubungan
interpersonal dan peran
Klien mengatakan
hubungan dengan keluarga dan tetangganya
sangat baik, klien juga mengatakan tidak pernah minder dengan kondisinya. Klien merupakan tulang punggung keluarga selama di
rumah, namun sejak MRS klien tidak bisa menjalankan perannya tersebut dengan
optimal.
3.1.2.5.8
Pola persepsi dan
konsep diri
Pola
persepsi: Istri mengatakan bahwa selama MRS klien tidak menunjukkan tanda-tanda
terganggunya integritas ego, seperti kacau mental, kegelisahan, dan perubahan
perilaku. Klien tampak tegang saat di anamnesa.
Identitas diri: Klien dapat menyebutkan siapa dirinya dengan jelas.
Citra diri: Klien mengatakan tidak ada masalah pada
penampilannya meskipun dipasang selang kencing.
Ideal diri: Klien berharap agar cepat sembuh dari penyakitnya.
Harga diri: Klien
mengatakan tidak malu dengan penyakitnya.
Peran diri: Klien tidak bisa menjalankan peran dirinya sebagai
kepala rumah tangga dan sebagai suami karena sakitnya.
3.1.2.5.9
Pola reproduksi dan
seksual
Klien mempunyai 3 orang
anak (klien menolak dikaji lebih dalam).
3.1.2.5.10 Pola
penanggulangan masalah dan stress
Klien mengatakan jika
ada masalah selalu mengatakan kepada istrinya, dan tidak pernah menggunakan obat-obatan untuk mengurangi stresnya..
Klien mengatakan belum siap menjalani operasi karena takut.
3.1.2.5.11 Pola
tata nilai dan kepercayaan
Klien
mengatakan biasanya rajin shalat jika di rumah, tetapi sejak
menderita penyakit ini klien tidak pernah
shalat karena memakai selang kencing. Klien percaya
pada pengobatan rumah sakit dan penyakitnya akan sembuh.
3.1.3
Pemeriksaan fisik
3.1.3.1 Keadaan/penampilan/kesan
umum klien
Klien
terlihat lemah, tampak tegang saat
dilakukan anamnesa, kesadaran compos mentis, klien
terbaring di tempat tidur, sesekali duduk. Terpasang DC, terpasang infus di
tangan kiri.
3.1.3.2 Tanda-tanda
vital
Suhu
tubuh : 36,5 °C
Denyut
nadi : 75x/menit
Tekanan
darah : 200/90 mmHg
Respirasi : 20x/menit
TB/BB : 163 cm/ 49 kg
3.1.3.3 Pemeriksaan
fisik
Kepala :
Kulit kepala sedikit
kotor, tidak ada benjolan dan nyeri tekan, tidak ada deformitas.
Rambut : Pendek, tipis, beruban,
rapi
Wajah : Simetris, tidak ada
luka, tidak sianosis
Mata : Simetris,
konjungtiva tidak anemis,
isokor, reflek cahaya positif, kornea jernih.
Hidung : Sedikit
kotor, tidak ada nyeri tekan, tidak ada benjolan, pernapasan cuping hidung
tidak ada.
Telinga : Kotor,
tidak ada nyeri tekan dan benjolan, posisi sejajar, tidak terjadi penurunan
pendengaran.
Mulut&
faring : Mukosa bibir lembab, gigi
dan gusi kotor, tidak ada nyeri telan.
Leher : Tidak
ada benjolan dan nyeri tekan, tidak ada peningkatan JVP, kaku leher tidak ada.
3.1.3.4 Pemeriksaan
integumen/kulit & kuku
Turgor
kulit cukup, akral hangat, tidak
ada lesi di bagian tubuh, CRT <2 detik, tekstur kulit
kasar dan keriput, ikterik tidak
ada.
3.1.3.5 Pemeriksaan
thoraks/dada
Bentuk
dada normochest, pergerakan dada simetris.
3.1.3.6 Pemeriksaan
paru
Inspeksi :
Retraksi intercosta tidak ada, jumlah respirasi
dalam 1 menit sebanyak 20
kali.
Palpasi : Gerak dada simetris, vocal fremitus seimbang
pada kedua sisi.
Perkusi :
Sonor.
Auskultasi : Suara napas vesikuler di sebagian besar
area paru, Ronkhi tidak
ada, Wheezing tidak ada.
3.1.3.7 Pemeriksaan
jantung
Inspeksi :
Ictus cordis terlihat.
Palpasi : Ictus cordis teraba di
ICS 5 MCL Sin bergeser 2cm
Perkusi :
Redup, batas atas ICS 2 sinistra, batas bawah ICS 5
sinistra
Auskultasi : Irama jantung reguler, S1-S2 tunggal, tidak ada gallop,
tidak ada murmur.
3.1.3.8 Pemeriksaan
abdomen
Inspeksi : Bentuk abdomen datar,
tidak terlihat massa, bayangan vena tidak terlihat.
Auskultasi :
B/U 18 kali per menit
Perkusi : Redup pada regio 8
Palpasi : Tidak ada nyeri tekan,
tidak teraba massa, tidak ada distensi kandung kemih.
3.1.3.9 Pemeriksaan
kelamin dan daerah sekitar
Pemeriksaan
genetalia: Kotor, tidak ada lesi dan benjolan, tidak ada nyeri tekan, terpasang
DC.
Pemeriksaan
anus: Colok dubur menunjukkan pembesaran prostat, batas atas
teraba, tidak ada nodul, konsistensi kenyal.
3.1.3.10 Pemeriksaan
muskuloskeletal (ekstremitas)
Terpasang
infus di tangan kiri, ROM normal.
4
|
4
|
4
|
4
|
Kekuatan
otot
x
|
x
|
x
|
x
|
Edema
3.1.3.11 Pemeriksaan
neurologi
GCS
total 15, E4V5M6, paralisis tidak ada.
Reflek fisiologis:
Bicep : +/+
Tricep : +/+
Brachio : +/+
Patella : +/+
Achiles : +/+
3.1.4
Pemeriksaan penunjang
3.1.4.1 Laboratorium
Tabel 3.1 Hasil
pemeriksaan laboratorium Tn. Z dengan BPH di RSD dr. Haryoto Lumajang tanggal 18
Maret 2013 (15:54 WIB)
NO
|
JENIS PEMERIKSAAN
|
HASIL
|
NILAI NORMAL
|
|
HEMATOLOGI
|
||
1.
|
Hemoglobin
|
12,3
|
P 13,0-18,0
mg/dl
L 14,0-18,0
mg/dl
|
2.
|
Lekosit
|
6.400
|
3500-10000/cmm
|
3.
|
Eritrosit
|
5,70
|
L 4,5-6,5
juta/cmm
P 3,0-6,0
juta/cmm
|
4.
|
Laju Endap Darah
|
50
|
L 0-5/jam
P 0-7/jam
|
5.
|
Hematokrit
|
37
|
L 40-54%
P 35-47%
|
6.
|
Trombosit
|
486.000
|
150000-450000
|
7.
|
Diffcount
|
3/0/0/63/16/8
|
1-2/0-1/3-5/54-62/25-33/3-7
|
|
FAAL HATI
|
||
8.
|
SGOT
|
44
|
Up to 37 mU/ml
|
9.
|
SGPT
|
30
|
Up to 40 mU/ml
|
|
ELEKTROLIT ISE
|
||
10.
|
Kalium Serum
|
4,1
|
3,5-5,2 mMol/l
|
11.
|
Natrium Serum
|
138
|
135-148 mMol/l
|
12.
|
Clorida Serum
|
115
|
94-111 mMol/l
|
|
FAAL GINJAL
|
||
13.
|
BUN
|
20,83
|
10-20 mg/dl
|
14.
|
Serum Creatinin
|
1,13
|
P 0,7-1,2
mg/dl
L 0,8-1,5
mg/dl
|
|
KADAR GULA DARAH
|
|
|
15.
|
Gula Darah Acak
|
83
|
63-115 mg/dl
|
|
FAAL HEMOESTASIS
|
|
|
16.
|
PTT
|
13,2
DTK INR 0,82
|
13,5-20 detik
|
17.
|
APTT
|
30 DTK
|
27,0-40,0
detik
|
3.1.4.2
Radiologi
Hasil
foto thoraks pada tanggal 18
Maret 2013 : Kardiomegali
USG
Urologi : Nefrolithiasis D ±2cm dan
BPH
3.2 Analisa Data
Tabel 3.2 Analisa data Tn. Z dengan BPH
di Ruang Kenanga RSD dr. Haryoto Lumajang tahun 2013
NO DX
|
DATA
|
PENYEBAB
|
MASALAH
|
||
1.
|
DS: Klien mengatakan susah buang air kecil sejak 1 bulan yang lalu, sebelum dipasang selang
frekuensi kencing sering tapi
sedikit-sedikit, sering kambuh pada malam
hari, nyeri jika dipaksakan mengejan.
Klien mengatakan BAK sebelum memakai selang ±10 kali setiap hari (±500cc).
DO: - Klien tampak lemah
- Klien terpasang DC
- BAK setelah dipasang DC ±100cc tiap jam
warna kuning kemerahan.
- Colok dubur
menunjukkan pembesaran prostat, batas atas teraba, tidak ada
nodul, konsistensi kenyal.
- USG Urologi : Nefrolithiasis D ±2cm dan BPH
|
Pembesaran prostat
|
Retensi urine
|
||
2.
|
DS: Klien mengatakan belum siap menjalani
operasi karena takut.
DO: - TD: 200/90
mmHg
- Nadi:
75x/menit
- RR:
20x/menit
-
Klien tampak tegang saat berbicara
|
Perubahan status kesehatan dan prosedur bedah
|
Ketakutan/ansietas
|
||
3.
NO
DX
|
DS: Klien mengatakan tidak tahu penyakitnya dan apa penyebabnya.
DO: - Klien sering bertanya tentang
penyebab penyakitnya dan operasi apa yang akan dijalaninya.
DATA
-
Klien tidak dapat menjawab pertanyaan tentang penyebab penyakitnya.
|
Kurang informasi
PENYEBAB
|
Kurang pengetahuan (kebutuhan belajar)
tentang kondisi, prognosis, dan kebutuhan pengobatan
MASALAH
|
||
4.
|
DS: Klien mengatakan sebagian aktifitas seperti ke
kamar mandi dibantu keluarga
DO: - Klien
tampak lemah
-
Klien tampak banyak terbaring di tempat tidur, kadang duduk.
-
Klien terpasang DC
- Kekuatan otot
4 4
4 4
|
Penurunan kekuatan/tahanan
|
Hambatan mobilitas fisik
|
||
5.
|
DS: Klien mengatakan sudah dipasang selang kencing
di Puskesmas Tanggul.
DO: - Nadi:
75x/menit
-
Suhu: 36,5 °C
- RR: 20x/menit
- TD: 200/90 mmHg
- Lekosit: 6.400/cmm
- Klien terpasang DC
-
Genetalia tampak kotor, tidak ada lesi/benjolan, tidak ada nyeri tekan
.
|
Pemasangan kateter
|
Risiko infeksi
|
||
6.
|
DS: Klien tidak mau berterus terang terhadap kondisi
seksualnya. Klien mengatakan memakai selang kencing sejak dari puskesmas.
DO: Klien terpasang DC permanen selama 1 bulan
|
Ancaman konsep diri
|
Risiko disfungi seksual
|
||
7.
NO
DX
|
DS: Klien mengatakan mempunyai darah tinggi.
DO: - TD: 200/90 mmHg
- Nadi:
75x/menit
- RR:
20x/menit
-
Hasil foto thoraks: kardiomegali
DATA
- Akral hangat
- CRT <2
detik
- Sesak tidak ada
- Bunyi jantung S1-S2 tunggal
|
Perubahan kontraktilitas jantung
MASALAH
|
Risiko tinggi terhadap penurunan curah jantung
PENYEBAB
|
3.3 Daftar Masalah Keperawatan
3.3.1
Retensi urine
3.3.2
Ketakutan/ansietas
3.3.3
Kurang
pengetahuan
3.3.4
Hambatan mobilitas
fisik
3.3.5
Risiko infeksi
3.3.6
Risiko disfungsi seksual
3.3.7
Risiko tinggi
penurunan curah jantung
3.4 Prioritas Diagnosa Keperawatan
3.4.1
Retensi urine
berhubungan dengan pembesaran prostat ditandai dengan adanya frekuensi,
keragu-raguan, ketidakmampuan mengosongkan kandung kemih untuk berkontraksi
adekuat.
3.4.2
Ketakutan/ansietas
berhubungan dengan perubahan status kesehatan dan prosedur bedah ditandai
dengan peningkatan tegangan, klien mengekspresikan masalah tentang
ketakutan/ansietas.
3.4.3
Kurang pengetahuan
(kebutuhan belajar) tentang kondisi, prognosis, dan kebutuhan pengobatan
berhubungan dengan kurang informasi ditandai dengan, klien sering bertanya dan
meminta informasi tentang penyakitnya.
3.4.4
Hambatan mobilitas
fisik berhubungan dengan penurunan kekuatan/tahanan ditandai dengan sebagian
aktifitas klien masih dibantu keluarga.
3.4.5
Risiko infeksi
berhubungan dengan pemasangan kateter ditandai dengan klien terpasang DC selama
masa perawatan.
3.4.6
Risiko disfungsi
seksual berhubungan dengan ancaman konsep diri ditandai dengan klien tidak mau
berterus terang terhadap kondisi seksualnya.
3.4.7
Risiko tinggi
penurunan curah jantung berhubungan dengan perubahan
kontraktilitas jantung ditandai dengan adanya kardiomegali.
3.5 Implementasi
Tabel 3.4 Implementasi keperawatan pada Tn. Z dengan BPH di ruang Kenanga RSD dr. Haryoto Lumajang tahun 2013
TANGGAL
|
NO DX
|
JAM
|
IMPLEMENTASI
|
||||||||||||
18 Maret 2013
G
TANGGAL
TANGGAL
|
1.
|
13.30
|
1. Membina hubungan saling percaya dengan klien.
Respon: Klien
mengatakan “Iya mas, nama saya pak Z”
2. Menanyakan
pada klien tentang proses timbulnya penyakitnya dulu.
Respon: Klien mengatakan “Kalau
dulu sebelum dipasang selang ya susah kencingnya mas, sakit kalau dipaksa”
3. Mencatat
jumlah output klien.
Respon: Urine output ±100cc/jam
4. Melakukan
pemeriksaan abdomen (perkusi/palpasi area suprapubik).
Respon: redup regio 8, tidak
ada nyeri tekan, tidak teraba massa, tidak ada distensi kandung kemih.
5. Mengawasi
tanda vital.
Respon: TD: 200/90 mmHg, nadi
75x/menit, RR 20x/menit.
|
||||||||||||
2.
|
13.45
|
1. Memberikan informasi tentang prosedur pembedahan, manfaat, resiko, dan apa saja yang perlu dipersiapkan
klien.
Respon: Klien
mengatakan “Oo..gitu ya mas, jadi saya harus puasa dulu?”
2. Melindungi privasi klien.
Respon: Klien
terlihat nyaman dan tenang saat dilakukan anamnesa dan pemeriksaan fisik
3. Menganjurkan klien untuk menyatakan masalah dan perasaannya saat ini.
Respon: “Iya
mas, sebenarnya saya belum siap, soalnya saya tidak pernah dioperasi”
4. Memberi penguatan informasi yang telah diberikan pada klien
sebelumnya.
Respon:
“Sebelum operasi saya harus puasa dulu, dan tidak boleh kepikiran apa-apa”
|
|||||||||||||
3.
NO
DX
|
14.00
JAM
|
1. Mengkaji ulang proses penyakit klien, bagaimana terjadinya, dan
pengalaman klien selama ini.
Respon: Klien
mengatakan “Saya sering merokok dan ngopi mas, kalau sudah kumat rasanya
sakit sampai tidak bisa tidur, di
IMPLEMENTASI
rumah tidak
beli obat, cuma minum air putih yang banyak.
2. Menganjurkan klien untuk mengungkapkan rasa takutnya.
Respon: Klien
mengatakan “Saya belum siap operasi mas, kalau bisa pakai selang saja”
3. Memberikan informasi tentang penyakit dan informasi bahwa penyakit ini
tidak dapat ditularkan.
Respon: Klien
mengatakan “Oo..gitu ya mas..”
4. Menganjurkan klien untuk menghindari makanan berbumbu, kopi, dan alkohol yang dapat meningkatkan iritasi pada prostatnya.
Respon: Klien
mengatakan “Iya mas, saya sudah berhenti merokok seminggu ini, tapi masih
minum kopi”
5. Mengkaji ulang tanda dan gejala penyakit klien.
Respon: Klien
mengatakan “Kalau sakitnya sudah hilang mas, tapi harus minum yang banyak
biar kencingnya lancar”
|
|||||||||||||
4.
|
14.25
|
1. Mengkaji
keterbatasan aktivitas klien.
Respon: rentang gerak bebas
2. Menganjurkan
pada klien untuk mengubah posisi secara sering bila tidur lama.
Respon: Klien mengatakan “iya mas”
3. Menganjurkan
klien untuk mempertahankan kebersihan dan kekeringan kulit.
Respon: Klien mengatakan “iya mas, jadi
tidak boleh lembab ya”
4. Mengajarkan
klien latihan rentang gerak aktif di atas bed.
Respon: klien kooperatif, dan bisa
melakukan instruksi dengan benar.
|
|||||||||||||
5.
NO
DX
|
14.30
JAM
|
1. Mengajarkan
perawatan kateter dan menganjurkan klien untuk menjaga kebersihan sekitar
genetalia.
Respon: kateter dan daerah sekitar
genetalia bersih, klien mengatakan “iya mas, akan saya bersihkan setiap hari”
IMPLEMENTASI
2. Mengawasi
dan mengukur tanda vital.
Respon: TD: 200/90 mmHg, nadi 75x/menit,
RR 20x/menit.
|
|||||||||||||
6.
|
14.45
|
1. Melakukan
komunikasi dengan klien tentang masalah inkontinensia dan fungsi seksual yang
dialaminya.
Respon: “iya mas”
2. Memberikan
informasi tentang fungsi seksual.
Respon: klien mendengarkan
dengan seksama.
3. Menganjurkan
klien untuk mengungkapkan masalah seksualnya dan menjawab pertanyaan klien:
Respon: klien mengatakan “maaf
mas, kayaknya saya tidak bisa ditanyain terus”
|
|||||||||||||
7.
|
15.00
|
1. Memantau dan mengukur TD pada kedua tangan.
Respon: TD
antara kedua tangan sama 200/90 mmHg.
2. Mengauskultasi jantung dan bunyi napas.
Respon: Bunyi
jantung reguler, S1-S2 tunggal, suara napas vesikuler di sebagian besar area
paru, ronkhi dan wheezing tidak ada. Nadi 75x/menit, RR 20x/menit.
3. Mengamati warna kulit, kelembaban, suhu, dan masa pengisian kapiler.
Respon: turgor
cukup, akral hangat, tidak ikterik CRT <2 detik
4. Memberikan lingkungan tenang, nyaman, dan membatasi pengunjung.
Respon: Klien
tampak tenang.
5. Membatasi aktivitas klien, membantu melakukan beberapa aktivitas.
Respon: Klien
mengatakan “Iya mas, saya juga tidak berani ke kamar mandi sendiri”
6. Mengajarkan teknik relaksasi napas dalam.
Respon: Klien
dapat mempraktekkan napas dalam dengan menarik napas, menahan dan hembuskan.
7. Membatasi pemasukan cairan klien.
Respon: Klien
mengatakan “Iya mas, saya sudah minum sedikit dari tadi pagi”
|
|||||||||||||
TANGGAL
19 Maret 2013
TANGGAL
|
NO
DX
2.
|
JAM
08.00
|
IMPLEMENTASI
1. Membina hubungan saling percaya dengan klien.
Respon: Klien
mengatakan “Alhamdulillah baik mas”
2. Memberikan informasi tentang prosedur pembedahan, manfaat, resiko, dan apa saja yang perlu dipersiapkan
klien.
Respon: Klien
mengatakan “Iya mas, padahal saya sudah siap, tapi ternyata ditunda”
3. Melindungi privasi klien.
Respon: Klien
terlihat nyaman dan tenang saat anamnesa dan pemeriksaan fisik
4. Menganjurkan klien untuk menyatakan masalah dan perasaannya saat ini.
Respon: “Ya
sebenernya masih takut mas, tapi mau gimana lagi”
5. Memberi penguatan informasi yang telah diberikan pada klien
sebelumnya.
Respon: “Iya
mas, puasa dulu 10 jam, dan tidak boleh kepikiran apa-apa”
|
||||||||||||
3.
|
08.15
|
1. Menganjurkan klien untuk mengungkapkan rasa takutnya.
Respon: Klien
mengatakan “Kalau sekarang kayaknya siap mas, soalnya sudah agak tenang
daripada kemarin”
2. Mengkaji ulang tanda dan gejala penyakit klien.
Respon: Klien mengatakan “Keluhannya sama kayak kemarin mas”
|
|||||||||||||
4.
|
08.30
|
1. Menganjurkan
klien untuk mempertahankan kebersihan dan kekeringan kulit.
Respon: Klien mengatakan “sudah mas, saya
sudah diseka tadi”
2. Mengajarkan
klien latihan rentang gerak aktif di atas bed.
Respon: klien kooperatif, dan bisa
melakukan instruksi dengan benar.
|
|||||||||||||
6.
NO
DX
|
08.50
JAM
|
1. Melakukan
komunikasi dengan klien tentang masalah inkontinensia dan fungsi seksual yang
dialaminya.
Respon: “iya mas”
IMPLEMENTASI
2. Memberikan
informasi ulang tentang fungsi seksual.
Respon: klien mendengarkan
dengan seksama.
3. Menganjurkan
klien untuk mengungkapkan masalah seksualnya dan menjawab pertanyaan klien:
Respon: klien mengatakan “iya mas, tapi
mulai besok jangan ditanya-tanya lagi ya mas, saya keberatan”
|
|||||||||||||
7.
|
09.00
|
1. Memantau dan mengukur TD pada kedua tangan.
Respon: TD
antara kedua tangan sama 160/80 mmHg.
2. Mengauskultasi jantung dan bunyi napas.
Respon: Bunyi
jantung reguler, S1-S2 tunggal tidak ada gallop dan murmur, suara napas
vesikuler di sebagian besar area paru, ronkhi dan wheezing tidak ada. Nadi:
88x/menit, RR 22x/menit.
3. Mengamati warna kulit, kelembaban, suhu, dan masa pengisian kapiler.
Respon: turgor
cukup, akral hangat, tidak ikterik CRT <2 detik
4. Memberikan lingkungan tenang, nyaman, dan membatasi pengunjung.
Respon: Klien
tampak tenang.
5. Membatasi aktivitas klien, membantu melakukan beberapa aktivitas.
Respon: Klien
mengatakan “Iya mas, biasanya kalau makan minta bantu ibuk”
6. Mengajarkan teknik relaksasi napas dalam.
Respon: Klien
dapat mempraktekkan napas dalam dengan menarik napas, menahan dan hembuskan.
7. Membatasi pemasukan cairan klien.
Respon: Klien mengatakan “Iya mas, saya sudah minum sedikit dari tadi
pagi”
8. Memberikan obat vasodilator (nifedipine) dan captopril peroral.
Respon: Klien
kooperatif, tidak terdapat tanda-tanda syok.
|
|||||||||||||
TANGGAL
20 Maret 2013
|
NO
DX
3.
|
JAM
09.00
|
IMPLEMENTASI
1. Memantau dan mengukur TD pada kedua tangan.
Respon: TD
antara kedua tangan sama 150/80 mmHg.
2. Mengauskultasi jantung dan bunyi napas.
Respon: Bunyi
jantung reguler, S1-S2 tunggal tidak ada gallop dan murmur, suara napas
vesikuler di sebagian besar area paru, ronkhi dan wheezing tidak ada. Nadi:
86x/menit, RR 20x/menit.
3. Mengamati warna kulit, kelembaban, suhu, dan masa pengisian kapiler.
Respon: turgor
cukup, akral hangat, tidak ikterik CRT <2 detik
4. Memberikan lingkungan tenang, nyaman, dan membatasi pengunjung.
Respon: Klien
tampak tenang.
5. Membatasi aktivitas klien, membantu melakukan beberapa aktivitas.
Respon: Klien
mengatakan “Iya mas, terimakasih”
6. Mengajarkan teknik relaksasi napas dalam.
Respon: Klien
dapat mempraktekkan napas dalam dengan menarik napas, menahan dan hembuskan.
7. Membatasi pemasukan cairan klien.
Respon: Klien mengatakan “Iya mas sudah”
|
||||||||||||
21 Maret 2013
TANGGAL
|
3.
NO
DX
|
08.00
JAM
|
1. Memantau dan mengukur TD pada kedua tangan.
Respon: TD
antara kedua tangan sama 180/80 mmHg.
2. Mengauskultasi jantung dan bunyi napas.
Respon: Bunyi
jantung reguler, S1-S2 tunggal tidak ada gallop dan murmur, suara napas
vesikuler di sebagian besar area paru, ronkhi dan wheezing tidak ada. Nadi:
84x/menit, RR 22x/menit.
3. Mengamati warna kulit, kelembaban, suhu, dan masa pengisian kapiler.
Respon: turgor
cukup, akral hangat, tidak ikterik CRT <2 detik
4. Memberikan lingkungan tenang, nyaman, dan membatasi pengunjung.
Respon: Klien
tampak tenang.
IMPLEMENTASI
5. Membatasi aktivitas klien, membantu melakukan beberapa aktivitas.
Respon: Klien
mengatakan “Iya mas, terimakasih, oh iya, nanti saya ulang mas”
6. Mengajarkan teknik relaksasi napas dalam.
Respon: Klien
dapat mempraktekkan napas dalam dengan menarik napas, menahan dan hembuskan.
7. Membatasi pemasukan cairan klien.
Respon: Klien mengatakan “Iya mas sudah”
|
3.1 Evaluasi
Tabel 3.5
Evaluasi keperawatan pada Tn. Z dengan BPH di ruang Kenanga RSD dr. Haryoto
Lumajang tahun 2013
TANGGAL
|
NO DX
|
SOAP
|
18 Maret 2013
Pukul 16.00
TANGGAL
|
1.
|
S: Klien mengatakan setelah dipasang selang sudah tidak sakit lagi saat
kencing.
O: - Klien
tampak lemah
- Klien terpasang DC
- BAK setelah dipasang DC ±100cc tiap jam warna kuning kemerahan.
- Perkusi area suprapubik redup regio 8,
tidak ada nyeri tekan, tidak teraba massa, tidak ada distensi kandung kemih.
- TD: 200/90
mmHg
- Nadi: 80x/menit
- RR: 22x/menit
A:
Masalah teratasi
P:
Hentikan intervensi
|
2.
|
S: Klien mengatakan dirinya pasrah saja dengan tindakan yang akan
dilakukan.
O: - TD: 200/90 mmHg
- Nadi: 80x/menit
- RR: 22x/menit
A: Masalah teratasi sebagian
P: Lanjutkan intervensi 1, 2, 3, 4, dan 5
|
|
3.
|
S: Klien mengatakan bahwa penyebab penyakitnya adalah faktor usia.
O: Klien dapat menjawab penyebab penyakit , tetapi klien lupa apa saja
yang harus disiapkan sebelum operasi.
A: Masalah teratasi sebagian
P: Lanjutkan intervensi 2, dan 5
|
|
4.
|
S: Klien
mengatakan sudah bisa makan sendiri, tapi untuk ke kamar mandi memang harus
dibantu
O: - Klien
tampak lemah
- Klien terpasang DC
- Klien tidak mengeluh nyeri
- Rentang gerak klien bebas
- Kekuatan otot
4 4
4 4
A: Masalah
teratasi sebagian
P: Lanjutkan
intervensi 3 dan 4
|
|
5.
NO
DX
|
S: Klien mengatakan sudah mengerti
cara membersihkan daerah kelaminnya, dan merasa lebih enakan setelah selang
kencingnya dibersihkan
SOAP
O: - Klien terpasang DC, bersih
- genetalia bersih, tidak ada benjolan
dan nyeri tekan
- TD: 200/90 mmHg
- Nadi: 80x/menit
- RR: 22x/menit
- Suhu:
37 °C
A: Masalah teratasi
P: Hentikan intervensi
|
|
6.
|
S: Klien
menyatakan keberatan untuk ditanya masalah ini.
O: - Klien
tampak tegang saat berbicara
- Klien terpasang DC
A: Masalah
belum teratasi
P: Lanjutkan
semua intervensi
|
|
7.
|
S: -
O: - TD: 200/90 mmHg
- Nadi: 80x/menit
- RR: 22x/menit
- Akral hangat, CRT <2 detik
- Sesak tidak ada
- Bunyi jantung S1-S2 tunggal
A: Masalah teratasi sebagian
P: Lanjutkan semua intervensi
|
|
19 Maret 2013
Pukul 10.00
TANGGAL
|
2.
|
S: Klien mengatakan siap operasi hari ini dan sudah puasa dari jam 10
tadi malam.
O: - TD: 160/80 mmHg
- Nadi:
88x/menit
- RR:
22x/menit
A: Masalah teratasi
P: Hentikan intervensi
|
3.
|
S: Klien mengatakan mengatakan sudah mengerti tentang apa saja yang
harus disiapkan sebelum operasi
O: Klien dapat menyebutkan persiapan sebelum operasi dengan benar
A: Masalah teratasi
P: Hentikan intervensi
|
|
4.
NO
DX
|
S: Klien
mengatakan tidak ada nyeri, makan dan minum dilakukannya sendiri.
O: - Klien
tampak segar
- Klien terpasang DC
- Rentang gerak klien bebas
SOAP
- Kekuatan otot
5 5
5 5
A: Masalah
teratasi
P: Hentikan
intervensi
|
|
6.
|
S: Klien
mengatakan tidak bisa ditanya terus tentang masalah seksualnya
O: - Klien
tampak tenang
- Klien terpasang DC
A: Masalah
belum teratasi
P: Hentikan
intervensi
|
|
7.
|
S: -
O: - TD: 160/80 mmHg
- Nadi: 88x/menit
- RR: 22x/menit
- Akral
hangat, CRT <2 detik
- Sesak tidak ada
- Bunyi jantung S1-S2 tunggal
A: Masalah teratasi sebagian (Operasi ditunda karena
TD klien masih tinggi)
P: Lanjutkan
semua intervensi
|
|
20 Maret 2013
Pukul 10.00
|
7.
|
S: -
O: - TD: 150/80 mmHg
- Nadi:
86x/menit
- RR:
20x/menit
- Akral
hangat, CRT <2 detik
- Sesak tidak ada
- Bunyi jantung S1-S2 tunggal
A: Masalah teratasi sebagian (Operasi ditunda sampai
TD klien stabil)
P: Lanjutkan
semua intervensi
|
21 Maret 2013
Pukul 10.00
|
7.
|
S: Klien mengatakan akan pulang
O: - TD: 180/80 mmHg
- Nadi:
84x/menit
- RR:
22x/menit
- Akral
hangat, CRT <2 detik
- Sesak tidak ada
- Bunyi jantung S1-S2 tunggal
A: Masalah teratasi sebagian (Klien pulang paksa)
P: Hentikan
Intervensi
|
|
BAB
4
PEMBAHASAN
4.1 Pengkajian
Pada
kasus BPH yang terjadi padaTn. Z adalah
pada saat Tn. Z
berumur 60 tahun, hal ini sesuai dengan tinjauan teori yang mengatakan bahwa
secara umum BPH terjadi pada pria berumur lebih dari 50 tahun.
Keluhan
utama Tn. Z
adalah susah buang air kecil sejak 1 bulan yang lalu, sebelum
dipasang selang frekuensi kencing sering tapi sedikit-sedikit, sering kambuh
pada malam hari, nyeri jika dipaksakan mengejan, tidak keluar darah.
Pada tinjauan
kasus, gejala-gejala BPH dikenal dengan istilah
Lower
Urinary Tract Symptoms (LUTS) yang dibedakan menjadi gejala iritatif dan
obstruktif. Pada kasus Tn. Z gejala-gejala tersebut muncul, diantaranya sering
miksi (frekuensi), disuria, harus mengejan (straining)
dan kencing terputus-putus (intermittency).
Gejala
yang tidak muncul adalah hematuria, hal ini bisa disebabkan karena ukuran
prostat yang tidak begitu besar sehingga tidak sampai menyebabkan obstruksi
total pada saluran kemih, hal ini didukung dengan pemeriksaan colok dubur yang menunjukkan adanya pembesaran prostat
dengan batas atas teraba, yang
dalam tinjauan teori menyatakan bahwa ukuran prostat kurang dari 60 gr.
|
Pada tinjauan teori, keluhan utama pada
gangguan sistem perkemihan dapat menunjukkan gejala sesak napas akibat gangguan
fungsi ginjal, hal ini tidak terjadi pada Tn. Z karena berdasarkan hasil
pemeriksaan fisik paru dan laboratorium yang menunjukkan nilai normal,
diantaranya pada inspeksi paru tidak terdapat retraksi dada, jumlah respirasi
berjumlah 20 kali tiap menit, pada pemeriksaan faal ginjal didapatkan BUN 20,83
mg/dl dan kreatinin serum 1,13 mg/dl meskipun berdasarkan hasil foto thoraks
mengatakan terjadi kardiomegali.
Pada riwayat kesehatan Tn. Z ditemukan bahwa 13 tahun
yang lalu Tn. Z pernah
mengalami penyakit yang gejalanya sama dengan penyakitnya sekarang,
yang artinya pada umur 47 tahun Tn. Z sudah menderita gangguan prostat,
sedangkan pada tinjauan teori mengatakan bahwa penyakit BPH muncul pada umur 50
tahun lebih. Hal ini dapat terjadi karena Tn. Z memiliki beberapa faktor resiko
yang menurut tinjauan teori dapat meningkatkan terjadinya penyakit ini,
diantaranya hipertensi dan penyakit jantung.
Dari 11 pola kesehatan antara teori dan tinjauan kasus
terdapat beberapa perbedaan. Menurut tinjauan pustaka pada pola nutrisi dan
metabolik seharusnya terjadi gangguan pemasukan makanan dan cairan karena efek
penekanan/nyeri abdomen, sehingga terjadi gejala anoreksia, mual, muntah, dan
penurunan berat badan. Tetapi pada Tn. Z tidak ditemukan gejala-gejala tersebut, Tn.
Z makan teratur, tidak ada mual/muntah. Ini dapat
terjadi karena 5 hari sebelum MRS Tn. Z sudah memakai DC, sehingga beberapa
gejala, seperti nyeri abdomen dapat berkurang bahkan hilang Pada literatur,
pola persepsi dan konsep diri pasien dengan kasus BPH seringkali terganggu
integritas egonya yang ditandai dengan kegelisahan, kacau mental, dan perubahan
perilaku, tetapi pada Tn. Z tidak ditemukan gejala-gejala tersebut, Tn.
Z tidak menunjukkan gejala penurunan pada konsep
dirinya, Tn. Z juga
mengatakan tidak malu dengan penyakitnya. Pola hubungan interpersonal dan peran
pada Tn. Z tidak menunjukkan perubahan yang seharusnya menurut literatur pasien
dengan BPH akan merasa lebih rendah diri dan kurang sosialisasi dengan
lingkungan sekitar. Hal tersebut dapat terjadi karena konsep diri antara pasien
satu dengan yang lain berbeda-beda, dukungan dan peran keluarga juga
mempengaruhi peningkatkan konsep diri Tn. Z, sehingga dia tidak mengalami
gangguan integritas ego.
Pada pemeriksaan fisik abdomen (inspeksi, auskultasi,
perkusi, dan palpasi) tidak ditemukan distensi kandung kemih, tidak terlihat
masa dan tidak ada nyeri tekan seperti pada tinjauan teori. Hal ini dikarenakan
Tn. Z sudah memakai DC 5 hari sebelum MRS, sehingga gejala-gejala pada tinjauan teori sudah berkurang
atau bahkan hilang.
4.2 Diagnosa
Diagnosa keperawatan yang muncul pada tinjauan kasus
yang sesuai dengan teori adalah sebagai berikut: retensi
urine berhubungan dengan pembesaran prostat, ketakutan/ansietas berhubungan dengan
perubahan status kesehatan dan prosedur bedah, kurang pengetahuan (kebutuhan belajar)
tentang kondisi, prognosis, dan kebutuhan pengobatan berhubungan dengan kurang
informasi, hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan penurunan kekuatan/tahanan,
risiko infeksi berhubungan dengan pemasangan kateter, dan risiko disfungsi
seksual berhubungan dengan ancaman konsep diri.
Sedangkan diagnosa keperawatan pada teori yang tidak
muncul adalah nyeri (akut), resiko kekurangan volume cairan, perubahan
eliminasi urine dan gangguan
citra tubuh. Diagnosa yang tidak terdapat pada tinjauan teori tetapi diangkat
pada tinjauan kasus Tn. Z adalah risiko tinggi terhadap penurunan curah
jantung.
Diagnosa
retensi urine berhubungan dengan pembesaran prostat muncul pada kasus Tn. Z,
dibuktikan dengan keluhan Tn. Z yang mengatakan susah buang air kecil sejak 1 bulan yang lalu, sebelum dipasang selang,
kencingnya sering tapi sedikit-sedikit, sering kumat kalau malam, nyeri jika
dipaksakan mengejan. Klien mengatakan BAK sebelum
memakai selang ±10 kali setiap hari (±500cc).
Pada diagnosa ketakutan/ansietas
berhubungan dengan perubahan status kesehatan dan prosedur bedah sesuai dengan teori, hal ini dikarenakan Tn. Z
menyatakan ketidaksiapan dalam menjalani prosedur pembedahan dengan alasan
takut, Tn. Z juga tampak tegang saat dilakukan anamnesa.
Kurang pengetahuan
(kebutuhan belajar) tentang kondisi, prognosis, dan kebutuhan pengobatan
berhubungan dengan kurang informasi,
diagnosa ini muncul karena Tn. Z sering bertanya tentang penyebab penyakitnya
dan operasi apa yang akan dijalaninya. Tn. Z juga tidak dapat menjawab pertanyaan tentang
penyebab penyakitnya.
Diagnosa
hambatan mobilitas fisik pada Tn. Z muncul dalam kasus sebagaimana dalam
tinjauan pustaka yang menyatakan bahwa klien dengan BPH aktivitasnya sering
dibantu oleh keluarga, hal ini didukung pernyataan Tn. Z yang mengatakan
sebagian aktifitas seperti ke kamar mandi masih dibantu keluarga.
Diagnosa
risiko infeksi muncul dalam kasus Tn. Z dikarenakan pemasangan kateter dalam
jangka waktu yang lama dapat meningkatkan risiko terjadinya infeksi, sesuai
dengan tinjauan pustaka yang mengatakan bahwa pemasangan kateter dapat beresiko
sebagai jalan masuknya bakteri dan kemungkinan terjadi infeksi/sepsis lanjut.
Diagnosa risiko disfungsi seksual dimunculkan pada kasus Tn. Z
karena pada saat dilakukan anamnesa klien menunjukkan respon yang negatif
dengan menyatakan menolak untuk dikaji selama masa perawatan. Hal dapat ini
timbul karena mungkin Tn. Z benar-benar mengalami disfungsi seksual, tetapi
klien berusaha menyangkal.
Diagnosa risiko tinggi terhadap penurunan curah
jantung tidak terdapat dalam tinjauan teori, tetapi muncul pada
kasus Tn. Z karena didapatkan data-data
penunjang diangkatnya diagnosa keperawatan ini,
seperti hasil pemeriksaan foto thoraks yang menyatakan adanya
kardiomegali yang dapat beresiko terjadinya kegagalan fungsi jantung,
sehingga perlu dilakukan intervensi.
Nyeri (akut) berhubungan dengan iritasi mukosa,
distensi kandung kemih, infeksi urinaria, dan kolik ginjal. Diagnosa ini tidak
muncul sebab tidak didapatkan keluhan nyeri, tidak adanya distensi kandung
kemih, dan tidak didapatkannya tanda-tanda infeksi urinaria yang merupakan
etiologi nyeri pada tinjauan teori. .
Diagnosa resiko tinggi kekurangan volume cairan tidak dapat ditegakkan karena tidak terjadi perbedaan
yang mencolok antara input dan output cairan. Tn. Z rutin minum air mineral
sebanyak 2 botol sehari (± 3000cc), sedangkan dari hasil observasi didapatkan Tn. Z BAK
sebanyak 100cc/jam, dan penghitungan IWL (Insensible
Water Loss) didapatkan dalam 24 jam sejumlah 735cc.
4.3 Intervensi
Intervensi yang dilakukan pada kasus Tn. Z secara
keseluruhan sudah
mengacu pada tinjauan teori.
Namun ada beberapa intervensi yang tidak dapat dilakukan seperti intervensi
berikan rendam duduk pada diagnosa retensi urine, hal ini disebabkan karena terbatasnya tempat
dan alat, intervensi dorong masukan cairan
sampai 3000ml sehari pada diagnosa retensi urine, hal ini tidak memungkinkan
untuk dilakukan mengingat tekanan darah klien yang selalu tinggi dan adanya
kardiomegali.
Intervensi
yang seharusnya dilakukan tetapi tidak terdapat pada kasus Tn. Z yaitu
pemberian antibiotik pada masalah keperawatan risiko infeksi, intervensi ini
seharusnya dilakukan mengingat Tn. Z menggunakan kateter dalam jangka waktu
lama yang berisiko menimbulkan infeksi.
Secara
keseluruhan intervensi pada diagnosa keperawatan pada kasus Tn. Z dapat dilakukan
dengan baik dan sudah sesuai dengan tinjauan teori.
4.4 Implementasi
Pada prinsipnya semua tindakan keperawatan yang
dilakukan terhadap klien mengacu pada perencanaan, tetapi tidak semua dapat
diterapkan pada klien, hal ini dikarenakan keadaan klien yang tidak
memungkinkan atau tidak membutuhkan dilakukannya tindakan
yang sesuai dengan intervensi yang telah dibuat, seperti instruksikan latihan perineal pada diagnosa risiko
disfungsi seksual, intervensi ini tidak dapat dilakukan karena klien masih
terpasang kateter. Dan
juga beberapa intervensi yang tidak dapat dilakukan karena keterbatasan komunikasi, seperti intervensi
tentang bicakaran masalah seksual pada diagnosa kurang pengetahuan, hal ini
terjadi karena Tn. Z menolak untuk dikaji lebih dalam dengan alasan privasi.
4.5 Evaluasi
Pada evaluasi tidak semua
masalah keperawatan dapat teratasi, diantaranya
masalah keperawatan risiko disfungsi seksual, hal ini dikarenakan adanya
kendala hambatan komunikasi, masalah keperawatan risiko penurunan curah jantung
juga belum dapat teratasi seluruhnya dikarenakan pada hari ke-4 perawatan klien pulang
paksa karena keluarga menyatakan tidak sanggup membayar biaya pengobatan
selanjutnya. Namun, dalam 4 hari perawatan, klien sudah menunjukkan banyak
kemajuan, hal ini mengacu pada terpenuhinya semua kriteria hasil dalam tujuan
yang terdapat pada perencanaan.
|
BAB
5
PENUTUP
5.1 Simpulan
5.1.1
Pengkajian
keperawatan
Dalam pengkajian keperawatan tidak semua data dari
klien dapat ditemukan sesuai dengan teori karena latar belakang, mekanisme
pertahanan diri, pola hidup, sifat dan karakter, status sosial, lingkungan
sosial budaya, tingkat pengetahuan dan respon klien terhadap penyakitnya
berbeda-beda, karena mengingat manusia merupakan individu yang unik, multidimensi, dan holistik.
5.1.2
Diagnosa
keperawatan
Dalam diagnosa keperawatan terdapat beberapa dignosa
dalam teori yang tidak muncul, seperti risiko kekurangan volume cairan dan gangguan citra tubuh. Namun diagnosa keperawatan
antara teori dan kasus sesungguhnya adalah tergantung dari kondisi individu dan
penerimaan terhadap penyakitnya.
5.1.3
Intervensi dan
implementasi keperawatan
Dalam perencanaan dan pelaksanaan proses keperawatan
tidak mengalami perbedaan dengan teori, namun ada beberapa rencana keperawatan
yang tidak dilakukan karena keadaan klien yang tidak memungkinkan dan tidak
membutuhkan dilakukannya tindakan yang sesuai dengan intervensi yang telah
dibuat.
|
5.1.4
Evaluasi
keperawatan
Dalam melakukan evaluasi dari pelaksanaan tindakan
keperawatan selama 4 hari, dilakukan kriteria standart yang telah ditetapkan
pada perencanaan. Semua diagnosa keperawatan yang muncul pada kasus nyata dapat
diatasi.
5.2 Saran
5.2.1
BPH merupakan
penyakit yang dapat timbul kembali meskipun sudah
dilakukan pembedahan, untuk itu perlu adanya edukasi yang lengkap kepada klien
dan keluarga dalam mengetahui faktor resiko, penyebab dan gejala dini penyakit
BPH. Pemeriksaan ulang (kontrol) yang teratur dapat memberikan perkembangan
yang baik bagi klien untuk mencegah penyakit ini timbul kembali.
5.2.2
Pada umumnya klien
dengan BPH mengalami respon maladaptif terhadap konsep dirinya. Adanya nyeri
dari gangguan saluran kemih akan memberikan stimulus pada kecemasan dan
ketakutan pada klien. Beberapa komplikasi akibat penyakit ini seperti impoten
dapat mengganggu kondisi psikologis klien. Peran keluarga sebagai orang
terdekat sangat membantu dalam memberikan dukungan dan persepsi yang positif
pada klien sehingga menurunkan tingkat kecemasan dan meningkatkan harga diri
klien.
5.2.3
Pengkajian dan
pemeriksaan lengkap sangat penting untuk mencari etiologi dan menyingkirkan
diagnosis banding seperti striktur, karsinoma, stenosis meatus atau fimosis.
Untuk itu diperlukan pemeriksaan yang lengkap dan akurat untuk menegakkan
diagnosa penyakit ini mulai dari anamnesa, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan
penunjang.
5.2.4
Mengingat banyaknya
komplikasi dan timbulnya gejala yang sangat mengganggu dari penyakit ini, maka
perawat perlu memberikan health education dan melibatkan klien serta keluarga
dalam melaksanakan asuhan keperawatan pada diri klien, dan keluarga dapat
mengetahui cara perawatan klien dengan BPH dan dapat melaksanakan perawatan
secara mandiri setelah klien keluar dari rumah sakit.
5.2.5
Klien dengan BPH dapat
memberikan keluhan yang berbeda-beda sehingga saat pengkajian tidak semua data
yang ada pada klien sama persis dengan teori sehingga diperlukan suatu
pendekatan proses keperawatan untuk mempermudah perawatan agar cepat sembuh
dari penyak.
TERIMA KASIH ARTIKELNYA SANGAT BERMANFAAT. AKU MINTA YAH BUAT TUGAS
ReplyDeleteThanks for Nice and Informative Post. This article is really contains lot more information about This Topic. prostatic hypertrophy
ReplyDelete