DEFISIENSI SISTEM IMUN
I.
LATAR BELAKANG
Dewasa ini, semakin banyak penyakit yang bermunculan.
Penyakit sistem imun adalah penyakit yang sedang ramai dibahas. Defisiensi
sistem imun yang paling melekat di masyarakat adalah HIV/AIDS, padahal masih
banyak penyakit sistem imun yang terdapat di sekitar kita. Defisiensi imun
disebabkan oleh berbagai faktor. Misalnya virus, mutasi, antigen, genetik dan
lain sebagainya. Melalui makalah ini, kami mencoba untuk memberikan informasi
mengenai defisiensi sistem imun.
1. Definisi
Imunitas atau kekebalan adalah sistem mekanisme pada
organisme yang melindungi tubuh terhadap pengaruh biologis luar dengan
mengindentifikasi dan membunuh patogen serta sel tumor. Sistem ini mendeteksi
berbagai macam pengaruh biologis luar yang luas, organisme akan melindungi
tubuh dari infeksi, bakteri, virus sampai cacing parasit. Serta menghancurkan
zat-zat asing lain dan memusnahkan mereka dari sel organisme yang sehat dari
jaringan agar tetap dapat berfungsi seperti biasa.
a. Defisiensi Imun
Defisiensi Imun muncul ketika satu atau lebih komponen
sistem Imun tidak aktif, kemampuan sistem Imun untuk merespon patogen berkurang
pada baik golongan muda dan golonga tua, respon imun berkurang pada usia 50
tahun, respon juga dapat terjadi karena penggunaan Alkohol dan narkoba adalah
akibat paling umum dari fungsi imun yang buruk, namun, kekurangan nutrisi
adalah akibat paling umum yang menyebabkan difisiensi imun di negara
berkembang. Diet kekurangan cukup protein berhubungan dengan gangguan imunitas
selular, aktivitas komplemen, fungsi fagosit, konsentrasi antibody, IgA dan
produksi sitokin, Defisiensi nutrisi seperti zinc, Selenium, zat besi, tembaga,
vitamin A, C, E, B6 dan asam folik (vitamin B9) juga mengurangi respon imun.
Difisiensi imun juga dapat didapat dari chronic
granulomatus disease (penyakit yang menyebabkan kemampuan fagosit untuk
menghancurkan fagosit berkurang), contohnya: Aids dan beberapa tipe kanker.
b. Autoimunitas
Respon imun terlalu aktif menyebabkan disfungsi imun
yang disebut autoimunitas. Sistem imun gagal untuk memusnahkan dengan tepat
antara diri sendiri dan orang lain yang menyerang dari bagian tubuh.
c. Hipersensitivitas
Adalah respon imun yang merusak jaringan tubuh
sendiri. Mereka terbagi menjadi 4 kelas (tipe I-IV) yaitu:
1. Reaksi anafilaksi
2. Reaksi sitotoksik
3. reaksi imun kompleks
4. reaksi toep lambat
2. Penyakit Imun
Penyakit defisiensi imun muncul ketika sistem imun
kurang aktif daripada biasanya, menyebabkan munculnya infeksi. Defisiensi imun
merupakan penyebab dari penyakit genetika, seperti severe combined
immunodeficiency, atau diproduksi oleh farmaseutikal atau infeksi, seperti
sindrom defisiensi imun dapatan (AIDS) yang disebabkan oleh retrovirus HIV.
A. Defisiensi Imun
nonspesifik
1. Defisiensi Komplemen
a. kongenital
b. fisiologik
c. didapat
2. Defisiensi Interferon dan lisozim
a. Defisiensi Interferon kongenital
b. Defisiensi Interferon dan lisozim didapat
3. Defisiensi Sel NK
a. Defisiensi kongenital
b. Defisiensi didapat
4. Defisiensi Sistem Fagosit
a. Defisiensi Kuantitatif
b. Defisiensi Kualitatif
B. Defisiensi Imun spesifik
1. Defisiensi Kongiental atau primer
Defisiensi sel B : infeksi rekuren oleh bakteri berupa
gangguan perkembangan sel B.
Defisiensi sel T : kerentanan meningkat terhadap
virus, jamur dan protozoa
2. Defisiensi Imun fisiologik
a. Kehamilan
b. Usia tahun pertama
c. Usia lanjut
3. Defisiensi Didapat atau sekunder
a . malnutrisi
b. infeksi
c. obat, trauma, tindakan kateterisasi dan
bedah
d. Penyinaran
e. Penyakit berat
f. kehilanggan ig/leukosit
g. Stres
4. AIDS
3. Penyebab Defisiensi
Imun
a. Defek genetik
Defek gen-tunggal yang diekspresikan di banyak
jaringan (misal ataksia-teleangiektasia, defsiensi deaminase adenosin) Defek
gen tunggal khusus pada sistem imun ( misal defek tirosin kinase pada X-linked
agammaglobulinemia; abnormalitas rantai epsilon pada reseptor sel T)
Kelainan multifaktorial dengan kerentanan genetik (misal common
variable immunodeficiency)
b. Obat atau toksin
Imunosupresan (kortikosteroid,
siklosporin)Antikonvulsan (fenitoin)
c. Penyakit
nutrisi dan metabolic
Malnutrisi ( misal kwashiorkor)Protein losing
enteropathy (misal limfangiektasia intestinal)Defisiensi vitamin (misal
biotin, atau transkobalamin II) Defisiensi mineral (misal Seng pada Enteropati Akrodermatitis)
d. Kelainan kromosom
Anomali DiGeorge (delesi 22q11) Defisiensi IgA
selektif (trisomi 18)
e. Infeksi
Imunodefisiensi transien
(pada campak dan varicella )Imunodefisiensi permanen
(infeksi HIV, infeksi rubella kongenital)
Defisiensi komplemen
Aktivitas komplemen yang rusak biasanya terjadi
sekunder terhadap penyakit yang menggunakan komplemen melalui jalur klasik atau
alternatif. Contohnya adalah penyakit lupus eritematosus sistemik yang
mengkonsumsi jalur klasik kompenen komplemen C1, C4 dan C2 dan mengakibatkan
rusaknya kemampuan komplemen untuk melarutkan kompleks imun.
Pada manusia, defisiensi komponen komplemen yang
diturunkan dikaitkan dengan sindrom klinik. Banyak pasien dengan defisiensi C1,
C4 atau C2 mempunyai lupus-like syndrome, seperti ruam malar, artralgia,
glomerulonefritis, demam atau vaskulitis kronik dan infeksi piogenik rekuren.
Antinuklear dan antibodi anti-dsDNA dapat tidak ditemukan. Adanya defisiensi
komponen komplenen jalur klasik ini menurunkan kemampuan individu untuk
eliminasi kompleks imun.
Pasien dengan defisiensi C3 dapat terjadi secara
primer atau sekunder, contohnya defisiensi inhibitor C3b, seperti faktor I atau
H akan meningkatkan risiko untuk terkena infeksi bakteri rekuren. Individu
biasanya terkena infeksi yang mengancam nyawa, seperti pneumonia, septikemia
dan meningitis.
Terdapat hubungan kuat antara defisiensi C5, C6, C7,
C8 atau properdin dengan infeksi neiseria rekuren. Biasanya pasien mempunyai
infeksi gonokokus rekuren, terutama septikemia dan artritis, atau meningitis
meningokukos rekuren.
Defisiensi inhibitor C1 merupakan defisiensi sistem
komplemen diturunkan yang paling sering dan penyebab angioedema herediter.
Defisiensi imun sekunder
Penyebab sekunder defisiensi imun lebih umum
dibandingkan penyebab primer. Kadar komponen imun yang rendah menunjukkan
produksi yang menurun atau katabolisme (“hilangnya” komponen imun) yang
dipercepat.
Hilangnya protein yang sampai menyebabkan
hipogamaglobulinemia dan hipoproteinemia terjadi terutama melalui ginjal
(sindrom nefrotik) atau melalui saluran cerna (protein-losing enteropathy).
Hilangnya imunoglobulin melalui renal setidaknya bersifat selektif parsial,
sehingga kadar IgM masih dapat normal meskipun kadar IgG serum dan albumin
menurun. Protein juga dapat hilang dari saluran cerna melalui penyakit
inflamatorius aktif seperti penyakit Crohn, kolitis ulseratif dan penyakit
seliak.
Kerusakan sintesis paling nampak pada malnutrisi.
Defisiensi protein menyebabkan perubahan yang mendalam pada banyak organ,
termasuk sistem imun. Kerusakan produksi antibodi spesifik setelah imunisasi,
dan defek pada imunitas seluler, fungsi fagosit dan aktivitas komplemen
dihubungkan dengan nutrisi yang buruk, dan membaik setelah suplementasi diet
protein dan kalori yang cukup.
Pasien dengan penyakit limfoproliferatif sangat rentan
terhadap infeksi. Leukemia limfositik kronik yang tidak diobati umumnya
berhubungan dengan hipogamaglobulinemia dan infeksi rekuren yang cenderung
bertambah berat dengan progresifitas penyakit. Limfoma Non-Hodgkin mungkin
berhubungan dengan defek pada imunitas humoral dan seluler. Penyakit Hodgkin
biasanya berhubungan dengan kerusakan yang nyata dari imunitas seluler, namun
imunoglobulin serum masih normal sampai fase akhir penyakit.
Risiko infeksi pasien dengan mieloma multipel 5-10
kali lebih tinggi dibandingkan kelompok kontrol. Frekuensi infeksi oportunistik
pada pasien dengan keganasan diseminata menandakan adanya defek imun, meskipun
sulit membedakan efek imunosupresif dari penyakit ataupun efek pengobatan. Obat
imunosupresif mempengaruhi beberapa aspek fungsi sel, terutama limfosit dan
polimorf, namun hipogamaglobulinemia berat jarang terjadi. Pasien dengan obat
untuk mencegah penolakan organ transplan juga dapat timbul infeksi
oportunsistik meskipun tidak biasa. Bentuk iatrogenik lain dari defisiensi imun
sekunder adalah yang berhubungan dengan splenektomi.
Infeksi HIV
Infeksi HIV adalah penyakit yang diakibatkan oleh
infeksi virus HIV (Human Immunodeficiency Virus). AIDS adalah penyakit
yang menunjukkan adanya sindrom defisiensi imun selular sebagai akibat infeksi
HIV.
Infeksi HIV menyebabkan terganggunya fungsi sistem
imun alamiah dan didapat. Gangguan yang paling jelas adalah pada imunitas
selular, dan dilakukan melalui berbagai mekanisme yaitu efek sitopatik langsung
dan tidak langsung. Penyebab terpenting kurangnya sel T CD4+ pada
pasien HIV adalah efek sitopatik langsung. Beberapa efek sitopatik langsung
dari HIV terhadap sel T CD4+ antara lain:
- Pada
produksi virus HIV terjadi ekspresi gp41 di membran plasma dan budding
partikel virus, yang menyebabkan peningkatan permeabilitas membran plasma
dan masuknya sejumlah besar kalsium yang akan menginduksi apoptosis atau
lisis osmotik akibat masuknya air. Produksi virus dapat mengganggu
sintesis dan ekspresi protein dalam sel sehingga menyebabkan kematian sel.
- DNA
virus yang terdapat bebas di sitoplasma dan RNA virus dalam jumlah besar
bersifat toksik terhadap sel tersebut.
- Membran
plasma sel T yang terinfeksi HIV akan bergabung dengan sel T CD4+ yang
belum terinfeksi melalui interaksi gp120-CD4, dan akan membentuk multinucleated
giant cells atau syncytia. Proses ini menyebabkan kematian
sel-sel T yang bergabung tersebut. Fenomena ini banyak diteliti in vitro,
dan syncytia jarang ditemukan pada pasien AIDS.
4. Klasifikasi
Defisiensi
2.4.1 Defisiensi imun primer
a. Defisiensi imun humoral (sel B)Hipogamaglobulinemia
x-linked (hipogamaglobulinemia kongenital) Hipogamaglobulinemia transien
(pada bayi) Defisiensi imun tak terklasifikasi, umum, bervariasi
(hipogamaglobulinemia didapat)
|
||
b. Defisiensi imun selular (sel T)Aplasia
timus kongenital (sindrom DiGeorge)Kandidiasis mukokutaneus kronik
dengan atau tanpa endokrinopati)Defisiensi sel
T berhubungan dengan defisiensi purin nukleosid fosforilase
|
||
c. Defisiensi imun gabungan
humoral (sel B) dan selular (sel T)Defisiensi imun berat gabungan
(autosom resesif, x-linked, sporadik)Defisiensi imun selular dengan gangguan
sintesis imunoglobulin (sindrom Nezelof)Defisiensi imun dengan ataksia
teleangiektasis
|
||
d. Disfungsi fagositPenyakit
granulomatosis kronikDefisiensi glukosa-6-fosfat dehidrogenase Defisiensi
mieloperoksidase
|
||
(Dikutip dari AJ Amman, 1991)
Penyebab defisiensi antibodi primer
Usia (tahun)
|
Anak
|
Dewasa
|
< 2
|
Transient hypogammaglobulinaemia
of infancyX-linked agammaglobulinaemiaHyper-IgM with immunoglobulin
deficiency
|
Dapat terjadi, namun jarangDapat terjadi, namun
jarang
|
3-15
|
Selective antibody
deficienciesCommon variable immunodeficiencySelective IgA deficiency
|
|
16-50
|
Selective antibody
deficienciesCommon variable immunodeficiencySelective IgA deficiency
|
|
> 50
|
Antibody deficiencies with thymoma
|
2.4.2 Defisiensi imun sekunder
Penyebab sekunder defisiensi imun lebih umum
dibandingkan penyebab primer. Kadar komponen imun yang rendah menunjukkan
produksi yang menurun atau katabolism “hilangnya” komponen imun) yang
dipercepat. Hilangnya protein yang sampai menyebabkan hipogamaglobulinemia dan
hipoproteinemia terjadi terutama melalui ginjal (sindrom nefrotik) atau melalui
saluran cerna (protein-losing enteropathy). Hilangnya imunoglobulin
melalui renal setidaknya bersifat selektif parsial, sehingga kadar IgM masih
dapat normal meskipun kadar IgG serum dan albumin menurun. Protein juga dapat
hilang dari saluran cerna melalui penyakit inflamatorius aktif seperti penyakit
Crohn, kolitis ulseratif dan penyakit seliak.
Kerusakan sintesis paling nampak pada malnutrisi.
Defisiensi protein menyebabkan perubahan yang mendalam pada banyak organ,
termasuk sistem imun. Kerusakan produksi antibodi spesifik setelah imunisasi,
dan defek pada imunitas seluler, fungsi fagosit dan aktivitas komplemen
dihubungkan dengan nutrisi yang buruk, dan membaik setelah suplementasi diet
protein dan kalori yang cukup. Bentuk iatrogenik lain dari defisiensi imun
sekunder adalah yang berhubungan dengan splenektomi
5. Prognosis
Prognosis penyakit defisiensi imun untuk jangka pendek
dipengaruhi oleh beratnya komplikasi infeksi. Untuk jangka panjang sangat
tergantung dari jenis dan penyebab defek sistem imun. Tetapi pada umumnya dapat
dikatakan bahwa perjalanan penyakit defisiensi imun primer buruk dan berakhir
fatal, seperti juga halnya pada beberapa penyakit defisiensi imun sekunder
(AIDS). Diperkirakan sepertiga dari penderita defisiensi imun meninggal pada
usia muda karena komplikasi infeksi. Mortalitas penderita defisiensi imun
humoral adalah sekitar 29%. Beberapa penderita defisiensi IgA selektif
dilaporkan sembuh spontan Sedangkan hampir semua penderita defisiensi imun
berat gabungan akan meninggal pada usia dini.
Defisiensi imun ringan, terutama yang berhubungan
dengan keadaan fisiologik (pertumbuhan, kehamilan), infeksi, dan gangguan gizi
dapat diatasi dengan baik bila belum disertai defek imunologik yang menetap.
6. Manifestasi Klinis
dan Diagnosis
Dalam penegakan diagnosis defisiensi imun, penting
ditanyakan riwayat kesehatan pasien dan keluarganya, sejak masa kehamilan,
persalinan dan morbiditas yang ditemukan sejak lahir secara detail. Walaupun
penyakit defisiensi imun tidak mudah untuk didiagnosis, secara klinis Sesuai
dengan gejala dan tanda klinis tersebut maka dapat diarahkan terhadap
kemungkinan penyakit defisiensi imun.
Defisiensi antibodi primer yang didapat lebih sering
terjadi dibandingkan dengan yang diturunkan, dan 90% muncul setelah usia 10
tahun. Pada bentuk defisiensi antibodi kongenital, infeksi rekuren biasanya
terjadi mulai usia 4 bulan sampai 2 tahun, karena IgG ibu yang ditransfer
mempunyai proteksi pasif selama 3-4 bulan pertama. Beberapa defisiensi antibodi
primer bersifat diturunkan melalui autosom resesif atau X-linked.
Defisiensi imunoglobulin sekunder lebih sering terjadi dibandingkan dengan
defek primer.
Pemeriksaan laboratorium penting untuk diagnosis.
Pengukuran imunoglobulin serum dapat menunjukkan abnormalitas kuantitatif
secara kasar. Imunoglobulin yang sama sekali tidak ada (agamaglobulinemia)
jarang terjadi, bahkan pasien yang sakit berat pun masih mempunyai IgM dan IgG
yang dapat dideteksi. Defek sintesis antibodi dapat melibatkan satu isotop
imunoglobulin, seperti IgA atau grup isotop, seperti IgA dan IgG. Beberapa
individu gagal memproduksi antibodi spesifik setelah imunisasi meskipun kadar
imunoglobulin serum normal. Sel B yang bersirkulasi diidentifikasi dengan
antibodi monoklonal terhadap antigen sel B. Pada darah normal, sel-sel tersebut
sebanyak 5-15% dari populasi limfosit total. Sel B matur yang tidak ada pada
individu dengan defisiensi antibodi membedakan infantile X-linked
agammaglobulinaemia dari penyebab lain defisiensi antibodi primer dengan
kadar sel B normal atau rendah.
7. Gejala Klinis
Defisiensi Imun
a. Gejala yang biasanya dijumpai Infeksi
saluran napas atas berulang Infeksi bakteri yang berat Penyembuhan
inkomplit antar episode infeksi, atau respons pengobatan inkomplit
|
b. Gejala yang sering dijumpai Gagal
tumbuh atau retardasi tumbuhJarang ditemukan kelenjar atau tonsil yang
membesarInfeksi oleh mikroorganisma yang tidak lazimLesi kulit (rash,
ketombe, pioderma, abses nekrotik/noma, alopesia, eksim, teleangiektasi,
warts yang hebat).
|
c. Gejala yang jarang dijumpaiBerat
badan turunDemamPeriodontitis
|
(Dikutip dari Stiehm, 2005)
8. Pemeriksaan Lanjutan
a. Defisiensi Sel Bv Uji
Tapis: Kadar IgG, IgM dan IgA, Titer isoaglutinin, Respon antibodi
pada vaksin (Tetanus, difteri, H.influenzae)
v Uji lanjutan:
Enumerasi sel-B (CD19 atau CD20), Kadar subklas IgG,
Kadar IgE dan IgD, Titer antibodi natural (Anti Streptolisin-O/ASTO, E.coli,
Respons antibodi terhadap, vaksin tifoid dan pneumokokus, Foto faring lateral
untuk mencari kelenjar adenoid
v Riset:
Fenotiping sel B lanjut, Biopsi kelenjar, Respons
antibodi terhadap antigen khusus misal phage antigen, Ig-survival in
vivo, Kadar Ig sekretoris, Sintesis Ig in vitro, Analisis aktivasi sel,
Analisis mutasi
|
b. Defisiensi sel Tv Uji
tapis:Hitung limfosit total dan morfologinya, Hitung sel T dan sub
populasi sel T : hitung sel T total, Th dan Ts, Uji kulit tipe lambat (CMI) :
mumps, kandida, toksoid tetanus, tuberculin, Foto sinar X dada : ukuran timus
vUji lanjutan:
Enumerasi subset sel T (CD3, CD4, CD8), Respons
proliferatif terhadap mitogen, antigen dan sel alogeneik, HLA typing,
Analisis kromosom
v Riset:
Advance flow cytometr, Analisis
sitokin dan sitokin reseptor, Cytotoxic assay (sel NK dan CTL), Enzyme
assay (adenosin deaminase, fosforilase nukleoside urin/PNP), Pencitraan timus
dab fungsinya, Analisis reseptor sel T, Riset aktivasi sel T, Riset
apoptosis, Biopsi, Analisis mutasi
|
c. Defisiensi fagositv Uji
tapis:Hitung leukosit total dan hitung jenis, Uji NBT (Nitro blue
tetrazolium), kemiluminesensi : fungsi metabolik neutrofil, Titer IgE
v Uji lanjutan:
Reduksi dihidrorhodamin, White cell turn over, Morfologi
special, Kemotaksis dan mobilitas random, Phagocytosis assay, Bactericidal
assays
v Riset:
Adhesion molecule assays
(CD11b/CD18, ligan selektin), Oxidative metabolism, Enzyme assays
(mieloperoksidase, G6PD, NADPH), Analisis mutasi
|
c. Defisensi komplemenv Uji
tapis:Titer C3 dan C4, Aktivitas CH50
v Uji lanjutan:
Opsonin assays, Component assays,
Activation assays (C3a, C4a, C4d, C5a)
v Riset:
Aktivitas jalur alternative, Penilaian fungsi(faktor
kemotaktik, immune adherence)
|
9. Pengobatan
Sesuai dengan keragaman penyebab, mekanisme dasar, dan
kelainan klinisnya maka pengobatan penyakit defisiensi imun sangat bervariasi.
Pada dasarnya pengobatan tersebut bersifat suportif, substitusi, imunomodulasi,
atau kausal.
Pengobatan suportif meliputi perbaikan keadaan umum
dengan memenuhi kebutuhan gizi dan kalori, menjaga keseimbangan cairan,
elektrolit, dan asam-basa, kebutuhan oksigen, serta melakukan usaha pencegahan
infeksi. Substitusi dilakukan terhadap defisiensi komponen imun, misalnya
dengan memberikan eritrosit, leukosit, plasma beku, enzim, serum
hipergamaglobulin, gamaglobulin, imunoglobulin spesifik. Kebutuhan tersebut
diberikan untuk kurun waktu tertentu atau selamanya, sesuai dengan kondisi
klinis.
Pengobatan imunomodulasi masih diperdebatkan
manfaatnya, beberapa memang bermanfaat dan ada yang hasilnya kontroversial.
Obat yang diberikan antara lain adalah faktor tertentu (interferon), antibodi
monoklonal, produk mikroba (BCG), produk biologik (timosin), komponen darah
atau produk darah, serta bahan sintetik seperti inosipleks dan levamisol.
Terapi kausal adalah upaya mengatasi dan mengobati
penyebab defisiensi imun, terutama pada defisiensi imun sekunder (pengobatan
infeksi, suplemen gizi, pengobatan keganasan, dan lain-lain). Defisiensi imun
primer hanya dapat diobati dengan transplantasi (timus, hati, sumsum tulang)
atau rekayasa genetik.
Tatalaksana defisiensi antibodi
Terapi pengganti imunoglobulin (immunoglobulin
replacement therapy) merupakan keharusan pada anak dengan defek produksi
antibodi. Preparat dapat berupa intravena atau subkutan. Terapi tergantung pada
keparahan hipogamaglobulinemia dan komplikasi. Sebagian besar pasien dengan
hipogamaglobulinemia memerlukan 400-600 mg/kg/bulan imunoglobulin untuk
mencegah infeksi atau mengurangi komplikasi, khususnya penyakit kronik pada
paru dan usus. Imunoglobulin intravena (IVIG) merupakan pilihan terapi,
diberikan dengan interval 2-3 minggu. Pemantauan dilakukan terhadap
imunoglobulin serum, setelah mencapai kadar yang stabil (setelah 6 bulan),
dosis infus dipertahankan di atas batas normal.
Tatalaksana defek imunitas seluler
Tatalaksana pasien dengan defek berat imunitas seluler,
termasuk SCID tidak hanya melibatkan terapi antimikrobial namun juga penggunaan
profilaksis. Untuk mencegah infeksi maka bayi dirawat di area dengan tekanan
udara positif. Pada pasien yang terbukti atau dicurigai defek sel T harus
dihindari imunisasi dengan vaksin hidup atau tranfusi darah. Vaksin hidup dapat
mengakibatkan infeksi diseminata, sedangkan tranfusi darah dapat menyebabkan
penyakit graft-versus-host.
Tandur (graft) sel imunokompeten yang masih
hidup merupakan sarana satu-satunya untuk perbaikan respons imun. Transplantasi
sumsum tulang merupakan pilihan terapi pada semua bentuk SCID. Terapi gen
sedang dikembangkan dan diharapkan dapat mengatasi defek gen.
Tatalaksana pada penderita HIV
Pada penderita HIV atau yang terpapar HIV harus lengkap,
meliputi pemantauan tumbuh kembang, nutrisi, imunisasi, tatalaksana
medikamentosa, tatalaksana psikologis dan penanganan sisi social yang akan
berperan dalam kepatuhan program pemantauan dan terapi. Pemberian imunisasi
harus mempertimbangkan situasi klinis, status imunologis serta panduan yang
berlaku. Panduan imunisasi WHO berkenaan dengan anak pengidap HIV adalah,
selama asimtomatik, semua jenis vaksin dapat diberikan, termasuk vaksin hidup.
Tetapi bila simtomatik, maka pemberian vaksin polio oral dan BCG sebaiknya
dihindari.
Pengobatan penting adalah pemberian antiretrovirus
atau ARV. Riset mengenai obat ARV terjadi sangat pesat, meskipun belum ada yang
mampu mengeradikasi virus dalam bentuk DNA proviral pada stadium dorman di sel
CD4 memori. Pengobatan infeksi HIV dan AIDS sekarang menggunakan paling tidak 3
kelas anti virus, dengan sasaran molekul virus dimana tidak ada homolog
manusia. Obat pertama ditemukan pada tahun 1990, yaitu Azidothymidine (AZT)
suatu analog nukleosid deoksitimidin yang bekerja pada tahap penghambatan kerja
enzim transkriptase riversi. Bila obat ini digunakan sendiri, secara bermakna
dapat mengurangi kadar RNA HIV plasma selama beberapa bulan atau tahun.
Biasanya progresivitas penyakti HIV tidak dipengaruhi oleh pemakaian AZT,
karena pada jangka panjang virus HIV berevolusi membentuk mutan yang resisten
terhadap obat.
Virus HIV dalam darah diproduksi oleh sel T CD4+
yang terinfeksi dan sebagian kecil oleh sel lain yang terinfeksi. Terapi obat
dikembangkan untuk menghambat semua produksi HIV yang terdeteksi untuk beberapa
tahun. Penurunan viremia sebagai efek pemberian ARV dibagi dalam 3 fase. Fase
pertama adalah penurunan jumlah virus dalam plasma secara cepat dengan waktu
paruh kurang dari 1 hari. Penurunan ini menunjukkan bahwa virus diproduksi oleh
sel yang hanya hidup sebentar (short-lived) yaitu sel T CD4+
yang merupakan reservoir utama (93 – 97% dari seluruh sel T) dan sumber virus.
Fase kedua penurunan HIV plasma dengan waktu paruh 2
minggu menyebabkan jumlah virus dalam plasma berkurang hingga di bawah ambang
deteksi. Hal ini menunjukkan berkurangnya reservoir virus dalam
makrofag. Fase ketiga yang sangat lambat menunjukkan terdapat penyimpanan virus
di sel T memori yang terinfeksi secara laten. Karena masa hidup yang panjang
dari sel memori, diperlukan berpuluh-puluh tahun untuk menghilangkan reservoir
virus ini.
imunoglobulin intravena (IVIG) merupakan produk darah
intravena. Ini berisi IgG menggenang (imunoglobulin (antibodi) G) diekstraksi
dari plasma lebih dari seribu donor darah. IVIG’s terakhir antara 2 minggu dan
3 bulan efek. Hal ini terutama digunakan sebagai pengobatan dalam tiga kategori
utama:
▪ kekebalan kekurangan seperti agammaglobulinemia
X-linked, hypogammaglobulinemia (defisiensi imun primer), dan diperoleh
dikompromikan kondisi kekebalan (defisiensi imun sekunder) menampilkan tingkat
antibodi yang rendah.
▪ autoimmune penyakit mis Immune trombositopenia ITP
dan penyakit inflamasi misalnya Kawasaki penyakit. Infeksi akut.
IVIG diberikan sebagai terapi plasma protein pengganti
(IgG) untuk pasien kekurangan kekebalan tubuh yang telah menurun atau
dihapuskan kemampuan produksi antibodi. Pada pasien kekurangan kekebalan tubuh,
IVIG diberikan untuk mempertahankan tingkat antibodi yang cukup untuk mencegah infeksi
dan menganugerahkan kekebalan pasif. Pengobatan diberikan setiap 3-4 minggu.
Dalam kasus pasien dengan penyakit autoimun, IVIG diberikan dengan dosis tinggi
(biasanya 1-2 gram IVIG per kg berat badan) untuk mencoba mengurangi keparahan
penyakit autoimun seperti dermatomiositis. IVIG berguna dalam beberapa kasus
infeksi akut seperti infeksi HIV pediatrik dan sindrom Guillain-Barre.
Mekanisme yang tepat di mana IVIG menekan peradangan berbahaya belum definitif
dibentuk namun diyakini melibatkan reseptor Fc penghambatan. IVIG dapat bekerja
melalui model multi-langkah dimana bentuk disuntikkan pertama IVIG jenis
kompleks kekebalan pada pasien. Setelah imun kompleks ini terbentuk, mereka
berinteraksi dengan mengaktifkan reseptor Fc pada sel dendritik yang kemudian
menengahi anti -inflamasi efek membantu untuk mengurangi keparahan penyakit
autoimun atau negara inflamasi. IVIG juga blok reseptor antibodi pada sel-sel
kekebalan tubuh (makrofag), yang menyebabkan kerusakan menurun oleh sel-sel,
atau peraturan dari fagositosis makrofag. IVIG juga dapat mengatur respon imun
dengan mereaksikan dengan sejumlah reseptor membran pada sel-sel T, sel B, dan
monosit yang berkaitan dengan autoreactivity dan induksi toleransi diri.
III. KESIMPULAN
Defisiensi sistem imun merupakan penyebab utama
menurunnya pertahanan tubuh terhadap antigen. Defisiensi sistem imun dapat
disebabkan karena infeksi virus, hipersensitivitas, mutasi genetik pada sistem
imun, faktor psikologis dan usia. Gangguan pada sistem imun meliputi
gangguan limfosit B dan T, gangguan makrofag (inflamasi), gangguan sistem
komplemen, maupun gangguan imunitas sistemik. Dan salah satu penyakit yang umum
diderita terkait dengan infeksi gastrointestinal adalah HIV/AIDS
0 komentar:
Post a Comment