Sunday 17 May 2015

SKENARIO KASUS A

Anak perempuan usia 8 tahun, terdiagnosa ALL, berulang kali dirawat di rumah sakit untuk mendapatkan terapi. Sekarang sedang menjalani perawatan yang ketiga kali, sudah 23 hari terbaring di tempat tidur.

I.                   IDENTIFIKASI MASALAH

  • Kasus ALL
  • Penatalaksanaan medis 
  • Asuhan keperawatan di RS dan di rumah
  • Dampak hospitalisasi
  • Tumbuh kembang anak normal dengan anak ALL
  • Dukungan sosial
  • Mekanisme koping anak

II. ANALISA MASALAH

·         Anak dengan ALL
·         Mekanisme ALL
·         Tumbuh kembang anak 6-12 tahun
·         Rentan terhadap penyakit (komplikasi)
·         Persiapan kemoterapi
·         Tindakan kemoterapi
·         Informed consent
·         Dukungan sosial
·         Mekanisme koping anak menghadapi hospitalisasi
·         Pencegahan relaps
·         Gangguan kecemasan : gangguan stres paska traumatik
·         Perawatan anak (hospitalisasi) dan perawatan anak ALL dirumah
·         Evaluasi anak sakit di kamar praktek dan klinik


III. TINJAUAN TEORI

  1. Definisi ALL
Acut Limphosityc Leukemia (ALL) adalah proliferasi ganas limphoblast dalam sumsum tulang yang disebabkan oleh sel inti tunggal yang dapat bersifat sistemik (Ngastiyah, 1997; Smeltzer & Bare, 2002).
Paling sering terjadi pada anak-anak, dengan laki-laki lebih banyak dibanding perempuan, dengan puncak insidensi pada usia 4 tahun. Setelah usia 15 tahun, ALL jarang terjadi.

  1. Etiologi ALL
Penyebab Acut Limphosityc Leukemia (ALL) sampai saat ini belum jelas, diduga kemungkinan karena virus (virus onkogenik) dan faktor lain yang mungkin berperan, yaitu:
1.      Faktor eksogen
a.       Sinar x, sinar radioaktif.
b.      Hormon.
c.    Bahan kimia seperti: bensol, arsen, preparat sulfat, chloramphinecol, anti neoplastic agent).
2.      Faktor endogen
a.    Ras (orang Yahudi lebih mudah terkena dibanding orang kulit hitam)
b.    Kongenital (kelainan kromosom, terutama pada anak dengan Sindrom Down).
c.    Herediter (kakak beradik atau kembar satu telur).
(Ngastiyah, 1997)

  1. Manisfestasi Klinis ALL
Gejala tersering yang dapat terjadi adalah rasa lelah, panas tanpa infeksi, purpura, nyeri tulang dan sendi, macam-macam infeksi, penurunan berat badan, dan sering ditemukan suatu massa abnormal. Pada pemeriksaan fisik didapatkan splenomegali (86%), hepatomegali, limfadenopati, nyeri tekan tulang dada, ekimosis, dan perdarahan retina ( Arif Mansjoer, 2001).



  1. Patofisiologi/Mekanisme ALL
Sel kanker menghasilkan leukosit yang imatur/abnormal dalam jumlah yang berlebihan. Leukosit imatur ini menyusup ke berbagai organ, termasuk sumsum tulang dan menggantikan unsur-unsur sel yang normal. Limfosit imatur berproliferasi dalam sumsum tulang dan jaringan perifer sehingga mengganggu perkembangan sel normal. Hal ini menyebabkan hematopoesis normal terhambat, akibatnya terjadi penurunan jumlah leukosit, sel darah merah dan trombosit. Infiltrasi sel kanker ke berbagai organ menyebabkan pembesaran hati, limpa, limfodenopati, sakit kepala, muntah, dan nyeri tulang serta persendian. Penurunan jumlah eritrosit menimbulkan anemia, penurunan jumlah trombosit mempermudah terjadinya perdarahan (echimosis, perdarahan gusi, epistaksis, dan lain-lain). Adanya sel kanker juga mempengaruhi sistem retikuloendotelial yang dapat menyebabkan gangguan sistem pertahanan tubuh, sehingga mudah mengalami infeksi. Adanya sel kanker juga mengganggu metabolisme sehingga sel kekurangan makanan. (Ngastiyah, 1997; Smeltzer & Bare, 2002).

  1. Gambaran Klinis ALL
Gejala yang khas berupa pucat (dapat terjadi mendadak), panas, dan perdarahan disertai splenomegali, dan kadang-kadang hepatomegali serta limfadenopati. Perdarahan dapat didiagnosa ekimosis, petekia, epistaksis, perdarahan gusi, dan lain-lain.
Gejala yang tidak khas ialah sakit sendi atau sakit tulang yang dapat disalah artikan sebagai penyakit rematik. Gejala lain dapat timbul sebagai akibat infiltrasi sel leukemia pada alat tubuh seperti lesi purpura pada kulit, efusi pleura, kejang pada leukemia serebral.

  1. Klasifikasi/Kategori Leukimia
Menurut Smeltzer & Bare (2002), leukimia diklasifikasikan menjadi beberapa macam, diantaranya yaitu:
a.    Leukemia Mielogenus Akut (LMA)
LMA mengenai sel stem hematopoetik yang kelak berdiferensiasi ke semua sel myeloid; monosit, granulosit (basofil, netrofil, eosinofil), eritrosit, dan trombosit. Semua kelompok usia dapat terkena; insidensi meningkat sesuai dengan bertambahnya usia. Merupakan leukemia nonlimfositik yang paling sering terjadi.
b.    Leukemia Mielogenus Krinis (LMK)
LMK juga dimasukkan dalam sistem keganasan sel stem mieloid. Namun lebih banyak sel normal dibanding bentuk akut, sehingga penyakit ini lebih ringan. LMK jarang menyerang individu dibawah 20 tahun. Manifestasi mirip dengan gambaran LMA tetapi dengan tanda dan gejala yang lebih ringan. Pasien menunjukkan tanpa gejala selama bertahun-tahun, peningkatan leukosit kadang sampai jumlah yang luar biasa, limpa membesar.

c.    Leukemia Limfositik Kronis (LLK)
LLK merupakan kelainan ringan mengenai individu usia 50-70 tahun. Manifestasi klinis pasien tidak menunjukkan gejala. Penyakit baru terdiagnosa saat­­­­ pemeriksaan fisik atau penanganan penyakit.

d.   Leukemia Limfositik Akut (LLA)
LLA dianggap sebagai proliferasi ganas limfoblast. Sering terjadi pada anak-anak, laki-laki lebih banyak dibandingkan perempuan. Puncak insiden usia 4 tahun, setelah usia 15 tahun. LLA jarang terjadi. Limfosit immatur berproliferasi dalam sumsum tulang dan jaringan perifer sehingga mengganggu perkembangan sel normal.

  1. Komplikasi ALL
1. Gagal sumsum tulang
2. Infeksi
3. Hepatomegali
4. Splenomegali
5. Limfadenopati

  1. Pemeriksaan Diagnostik
Pemeriksaan diagnostik yang lazim dilakukan pada anak dengan Acut Limphosityc Leukemia (ALL) antara lain yaitu:
1.      Pemeriksaan sumsum tulang (BMP / Bone Marrow Punction):
a.       Ditemukan sel blast yang berlebihan
b.      Peningkatan protein
2.      Pemeriksaan darah tepi
a.       Pansitopenia (anemia, lekopenia, trombositopneia)
b.      Peningkatan asam urat serum
c.       Peningkatan tembaga (Cu) serum
d.      Penurunan kadar Zink (Zn)
e.       Peningkatan leukosit dapat terjadi (20.000–200.000/µl) tetapi dalam bentuk sel blast/sel primitive
3.      Biopsi hati, limpa, ginjal, tulang untuk mengkaji keterlibatan / infiltrasi sel kanker ke organ tersebut
4.      Fotothorax untuk mengkaji keterlibatan mediastinum
5.      Sitogenik:
50-60% dari pasien ALL dan AML mempunyai kelainan berupa:
a.       Kelainan jumlah kromosom, seperti diploid (2n), haploid (2n-a), hiperploid (2n+a)
b.      Bertambah atau hilangnya bagian kromosom (partial delection)
c.       Terdapat marker kromosom, yaitu elemen yang secara morfologis bukan komponen kromosom normal dari bentuk yang sangat besar sampai yang sangat kecil

  1. Penatalaksanaan Medis dan Prognosis
Menurut Smeltzer & Bare (2002), terapi ALL telah mengalami kemajuan, sekitar 60% anak mencapai ketahanan hidup sampai 5 tahun. Bentuk terapi utama adalah kemoterapi dengan kombinasi vincristine, prednisone, daunorubicin, dan asparaginase untuk terapi awal dan dilanjutkan dengan kombinasi mercaptopurine, menthotrexate, vincristine, dan prednisone untuk pemeliharaan. Radiasi untuk daerah kraniospinal dan ikjeksi intratekal obat kemoterapi dapat membantu mencegah kekambuhan pada sistem saraf pusat.
Menurut Arif Mansjoer (2001), sebaiknya penatalaksanaan pasien LLA dirujuk ke spesialis penyakit dalam (Sub Bagian Hematologi) untuk penatalaksanaan lebih lanjut. Prognosis LLA pada anak-anak baik; lebih dari 95% terjadi remisi sempurna. Kira- kira 70-80% dari pasien bebas gejala selama 5 tahun. Apabila terjadi relaps, remisi sempurna kedua dapat terjadi pada sebagian besar kasus. Para pasien merupakan kandidat untuk transplantasi sumsum tulang, dengan 35-65% kemungkinan hidup lebih lama.

  1. Tindakan Kemoterapi
Untuk mengatasi pertumbuhan sel-sel yang abnormal dan  mencegah penyebaran sel-sel abnormal ke sistem saraf pusat.
Ø  Tiga fase pelaksanaan kemoterapi:
1. Fase Induksi
Dimulai 4-6 minggu setelah diagnosa ditegakkan. Pada fase ini diberikan terapi kortikosteroid (prednison), vineristin, dan L-asparaginase. Fase induksi dinyatakan berhasil jika tanda-tanda penyakit berkurang atau tidak ada dan di dalam sumsum tulang ditemukan jumlah sel muda kuurang dari 5%.
2. Fase profilaksis sistem saraf pusat
Pada fase ini diberikan terapi methotrexate, cytarabine, dan hydrocortison melalui intratekal untuk mencegah invasi sel leukemia ke otak. Terapi irradiasi kranial dilakukan hanya pada pasien leukemia yang mengalami gangguan sistem saraf pusat.
3. Konsolidasi
Pada fase ini, kombinasi pengobatan dilakukan untuk mempertahankan remisis dan mengurangi jumlah sel-sel leukemia yang beredar dalam tubuh. Secara berkala, dilakukan pemeriksaan darah lengkap untuk menilai respon sumsum tulang terhadap pengobatan. Jika terjadi supresi sumsum tulang, maka pengobatan dihentikan sementara atau dosis obat dikurangi.
Ø  Persiapan dan Syarat kemoterapi.
1.      Persiapan
Sebelum pengotan dimulai maka terlebih dahulu dilakukan pemeriksaan yang meliputi:
a.       Darah tepi; Hb, Leuko, hitung jenis, Trombosit.
b.      Fungsi hepar; bilirubin, SGOT, SGPT, Alkali phosphat.
c.       Fungsi ginjal; Ureum, Creatinin dan Creatinin Clearance Test bila serim creatinin meningkat.
d.      Audiogram (terutama pada pemberian Cis-plastinum)
e.       EKG (terutama pemberian Adriamycin, Epirubicin).
2.      Syarat
a.       Keadaan umum cukup baik.
b.      Penderita mengerti tujuan dan efek samping yang akan terjadi, informed consent.
c.       Faal ginjal dan hati baik.
d.      Diagnosis patologik
e.       Jenis kanker diketahui cukup sensitif terhadap kemoterapi.
f.       Riwayat pengobatan (radioterapi/kemoterapi) sebelumnya.
g.      Pemeriksaan laboratorium menunjukan hemoglobin > 10 gram %, leukosit > 5000 /mm³, trombosit > 150 000/mm³.
Ø  Efek samping kemoterapi
Umumnya efek samping kemoterapi terbagi atas :
1. Efek samping segera terjadi (Immediate Side Effects) yang timbul dalam 24 jam pertama pemberian, misalnya mual dan muntah.
2. Efek samping yang awal terjadi (Early Side Effects) yang timbul dalam beberapa hari sampai beberapa minggu kemudian, misalnya netripenia dan stomatitis.
3. Efek samping yang terjadi belakangan (Delayed Side Effects) yang timbul dalam beberapa hari sampai beberapa bulan, misalnya neuropati perifer, neuropati.
4. Effek samping yang terjadi kemudian (Late Side Effects) yang timbul dalam beberapa bulan sampai tahun, misalnya keganasan sekunder.

  1. Tumbuh Kembang Anak 6-12 Tahun
Anak usia antara 6-12 tahun, periode yang kadang- kadang disebut sebagai masa kanak- kanak pertengahan atau masa laten. Pada usia anak seklolah untuk mengavaluasi diri sendiri dan merasakan evaluasi teman- temannya. Anak- anak usia sekolah dinilai menurut kemampuannya untuk menghasilkan hasil yang bernilai sosial  seperti pekerjaan yang baik. Perkembangan kesehatan membutuhkan peningkatan pemisahan dari orang tua dan kemampuan menemukan penerimaan dalam kelompok yang sepadan serta merundingkan tantangan- tantangan yang berbeda.
1.      Perkembangan Fisik
     Pertumbuhan fisik pada masa ini lambat dan relatif seimbang. Peningkatan berat badan anak lebih banyak dari pada panjang badannya. Peningkatan berat badan anak terjadi terutama karena bertambahnya ukuran sistem rangka, otot dan ukuran beberapa organ tubuh lainnya.


2.      Perkembangan Motorik
     Perkembangan motorik pada usia ini menjadi lebih halus dan lebih terkoordinasi dibandingkan dengan masa bayi. Anak – anak terlihat lebih cepat dalam berlari dan pandai meloncat serta mampu menjaga keseimbangan badannya. Untuk memperhalus ketrampilan – ketrampilan motorik, anak – anak terus melakukan berbagai aktivitas fisik yang terkadang bersifat informal dalam bentuk permainan. Disamping itu, anak – anak juga melibatkan diri dalam aktivitas permainan olahraga yang bersifat formal, seperti senam, berenang, dll.
Ciri-ciri tahap pekembangan usia 6-12 tahun
-        Kecepatan dan kehalusan aktivitas motorik meningkat
-        Mampu menggunakan peralatan rumah tangga
-        Ketrampilan lebih individual
-        Ingin terlibat dalam sesuatu
-        Menyukai kelompok dan mode
-        Mencari teman secara aktif.

3.    Perkembangan Kognitif
        Dalam keadaan normal, pada periode ini pikiran anak berkembang secara berangsur – angsur. Jika pada periode sebelumnya, daya pikir anak masih bersifat imajinatif dan egosentris, maka pada periode ini daya pikir anak sudah berkembang ke arah yang lebih konkrit, rasional dan objektif. Daya ingatnya menjadi sangat kuat, sehingga anak benar-benar berada pada stadium belajar.

4.    Perkembangan Memori
        Selama periode ini, memori jangka pendek anak telah berkembang dengan baik. Akan tetapi, memori jangka panjang tidak terjadi banyak peningkatan dengan disertai adanya keterbatasan – keterbatasan. Untuk mengurangi keterbatasan tersebut, anak berusaha menggunakan strategi memori (memory strategy), yaitu merupakan perilaku disengaja yang digunakan untuk meningkatkan memori.

5.    Perkembangan Pemikiran Kritis
        Perkembangan Pemikiran Kritis yaitu pemahaman atau refleksi terhadap permasalahan secara mendalam, mempertahankan pikiran agar tetap terbuka, tidak mempercayai begitu saja informasi-informasi yang datang dari berbagai sumber serta mampu befikir secara reflektif dan evaluatif.

6.    Perkembangan Kreativitas
        Dalam tahap ini, anak-anak mempunyai kemampuan untuk menciptakan sesuatu yang baru. Perkembangan ini sangat dipengaruhi oleh lingkungan, terutama lingkungan sekolah.

7.    Perkembangan Bahasa
Selama masa anak-anak awal, perkembangan bahasa terus berlanjut. Perbendaharaan kosa kata dancara menggunakan kalimat bertambah kompleks. Perkembangan ini terlihat dalam cara berfikir tentang kata-kata, struktur kalimat dan secara bertahap anak akan mulai menggunakan kalimat yang lebih singkat dan padat, serta dapat menerapkan berbagai aturan tata bahasa secara tepat.

8.    Perkembangan Psikosial
Pada tahap ini, anak dapat menghadapi dan menyelesaikan tugas atau perbuatan  yang dapat membuahkan hasil, sehingga dunia psikosial anak menjadi semakin kompleks. Anak sudah siap untuk meninggalkan rumah dan orang tuanya dalam waktu terbatas, yaitu pada saat anak berada di sekolah. Melalui proses pendidikan ini, anak belajar untuk bersaing (kompetitif), kooperatif dengan orang lain, saling memberi dan menerima, setia kawan dan belajar peraturan – peraturan yang berlaku. Dalam hal ini proses sosialisasi banyak terpengaruh oleh guru dan teman sebaya. Identifikasi bukan lagi terhadap orang tua, melainkan terhadap guru. Selain itu, anak tidak lagi bersifat egosentris, ia telah mempunyai jiwa kompetitif sehingga dapat memilah apa yang baik bagi dirinya, mampu memecahkan masalahnya sendiri dan mulai melakukan identifikasi terhadap tokoh tertentu yang menarik perhatiannya.

9.    Perkembangan Pemahaman Diri
Pada tahap ini, pemahaman diri atau konsep diri anak mengalami perubahan yang sangat pesat. Ia lebih memahami dirinya melalui karakteristik internal daripada melalui karakteristik eksternal.

10.  Perkembangan Hubungan dengan Keluarga
Dalam hal ini, orang tua merasakan pengontrolan dirinya terhadap tingkah laku anak mereka berkurang dari waktu ke waktu dibandingkan dengan periode sebelumnya, karena rata-rata anak menghabiskan waktunya di sekolah. Interaksi guru dan teman sebaya di sekolah memberikan suatu peluang yang besar bagi anak-anak untuk mengembangkan kemampuan kognitif dan ketrampilan sosial.

11.  Perkembangan Hubungan dengan Teman Sebaya
Berinteraksi dengan teman sebaya merupakan aktivitas yang banyak menyita waktu. Umumnya mereka meluangkan waktu lebih dari 40% untuk berinteraksi dengan teman sebaya dan terkadang terdapat duatu grup/kelompok. Anak idak lagi puas bermain sendirian dirumah. Hal ini karena anak mempunyai kenginan kuat untuk diterima sebagai anggota kelompok.

  1. Dukungan Sosial
Ada tiga fase reaksi emosional penderita ketika diberitahu bahwa penyakit yang dideritanya adalah kanker yang sudah lanjut. Fase pertama, penderita akan merasakan shock mental, kemudian diliputi oleh rasa takut, dan depresi. Muncul reaksi penolakan dan kemurungan, terkadang penderita menjadi panik, melakukkan hal-hal yang tidak berarti dan sia-sia. Setelah fase ini berlalu, akhirnya penderita akan sadar dan menerima kenyataan bahwa jalan hidupnya telah berubah.
Stress yang dialami oleh pasien kanker, cenderung membuat cara berpikir menjadi tidak akurat. Hal itu membawa individu menjadi tidak resilien dalam menghadapi masalah, dalam hal ini adalah penyakit kanker. Stress membahayakan sistem kekebalan, yang memungkinkan individu menjadi lebih sering sakit. Individu dengan resiliensi yang baik mampu menghadapi masalah dengan baik, mampu mengontrol diri, mampu mengelola stress dengan baik dengan mengubah cara berpikir ketika berhadapan dengan stress. Resiliensi memungkinkan individu untuk tetap fokus pada persoalan yang sesungguhnya, dan tidak menyimpang ke dalam perasaan dan pikiran yang negatif, sehingga individu bisa mengatasi resiko depresi dan banyak tantangan. Pikiran dan perasaan adalah inti dalam memahami individu dalam rangka meningkatkan resiliensi. Sejumlah fakta menunjukkan bahwa terapi kognitif yang berbasis aspek-aspek dari resiliensi sangat efektif dalam mengatasi depresi.
Hal-hal yang perlu diberikan dalam dukungan sosial :
·      Informasikan pada anak dan keluarga tentang dukungan sosial kemasyarakatan bagi perawatan jangka-panjang.
·      Minta dukungan pihak sekolah
·      Kelompok orang tua dengan permasalahan yang sama. Orangtua membutuhkan teman senasib sepenanggungan dalam satu wadah organisasi. Sehingga, para orangtua merasa mendapat dukungan, tidak sendirian, bisa curhat maupun berbagi ilmu/tips dalam membesarkan buah hati mereka. Tidak sedikit yang mengakui, dengan ikut komunitas seperti ini, orangtua tambah pintar dan semakin peduli.
Dengan ini kondisi anak-anak mereka pun mengalami kemajuan hingga memberi harapan untuk bisa lebih baik dan lebih baik lagi.

  1. Mekanisme Koping Anak Menghadapi Hospitalisasi
Mekanisme koping yang dimaksud disini adalah kemampuan anak dalam mengatasi hal-hal yang dirasakan akibat dari hospitalisasi. Dalam hal ini mekanisme koping yang terbentuk akan sangat membantu anak dalam mengatasi masalah-masalahnya seperti cemas, takut, khawatir dan lain sebagainya.

  1. Pencegahan Relaps
Prognosis LLA pada anak-anak baik; lebih dari 95% terjadi remisi sempurna. Kira- kira 70-80% dari pasien bebas gejala selama 5 tahun. Apabila terjadi relaps, remisi sempurna kedua dapat terjadi pada sebagian besar kasus. Para pasien merupakan kandidat untuk transplantasi sumsum tulang, dengan 35-65% kemungkinan hidup lebih lama. Sebaiknya pasien dirujuk di spesialis penyakit dalam (sub bagian hemetologi) untuk penetalaksanan lebih lanjut.

  1. Gangguan Kecemasan : Gangguan Stres Paska Traumatik
Gangguan kecemasan ini telah m,endapat perhatian besar terhadap kecemasan dalam jangka waktu pendek dan panjang pada anak, remaja dan dewasa. GSPT akibat dari trauma eksterna dirasakan oleh anak atau remaja sebagai bahaya. Situasi- situasi yang mengancam jiwa yang menimbulkan srtes besar memberikan kecenderung anak pada GSPT. Faktor- faktor yang memberikan kecebderungna meliputi tingkat kecemasan individu sebelum trauma.
Penanganan GPST: harus diarahkan pada beratnya trauma, kerentanan anak terhadap trauma dan reaksi anak terhadap trauma. Tujuan penanganan meliputi: dukungan ego dan fungsi uji realitas membantu anak untuk mengantisipasi , memahami dan menatalaksana pengingat setiap hari. Terapi keluarga dan konsultasi sekolah sering membantu. Farmakoterapi dirancang untuk merubah perilaku yang muncul yang dapat merupakan pengobatan tambahan yang penting.  

  1. Perawatan Anak (Hospitalisasi)
Perawatan anak didefinisikan sebaagai perawatan yang diberikan oleh suatu individu diluar anggota keluarga atau pada tempat yang terpisah.pengaruh perawatan anak pada perkembangan anak tergantung pada sejumlah faktor yang saling berhubungan termasuk sifat- sifat anak keadaan perawatan dan keluarga. Contoh perawatan anak di Rumah Sakit misalnya: perawatan terhadap penyakit, perawatan psikologis anak dirumah sakit melului terapi bermain untuk menurunkan dampak hospitalisasi pada anak.

  1. Perawatan Kritis Anak
Ditentukan oleh adanya situasi dimana segala sumber daya manusia dan teknis dikosentrasikan untuk memberikan perawatan canggih biasanya di unit perawatan intensif dan yang paling penting adalah persamaan gambaran proseulai stabilisan metasi ds penyakit yang mengakibatkan keadaan kritis. Diharapkan semua tenaga medis yang mengelola anak mampu mengenali tanda penyakit yang potensial mengancam jiwa, mampu mengevaluasi beratnya menifestasi dan memulai stabilisasi anak. Masalah mengancam jiwa yang sering dialami anak adalah distres pernafasan, gangguan perfusi perifer dan perubahan kesadaran.

  1. Evaluasi Anak Sakit di Kamar Praktek dan Klinik
Tujuan utama kunjungan anak sakit adalah mengidentifikasi anak sakit berat yang memerlukan intervensi terapeutik yang agresif. Mengenali anak yang sakit ALL dengan penyakit yang serius ditegakkan dengan pengamatan yang cermat, anamnesis, pemeriksaan fisik, pengetahuan mengenai umur dan suhu sebagai faktor resiko dan uji skrining laboratorium. Berdasarkan data yang didapat tenaga medis dapat mengambil keputusan yang memberitahukan mengenai kebutuhan terhadap uji laboratorium dan nasehat pemasukan ke Rumah Sakit. Komponen-komponen ini diitegrasikan pada evaluasi anak sakit ALL
Pengamatan merupakan faktor penting dalam evaluasi anak dengan masalah ALL terhadap kemungkunan sakit berat.anak harus diamati untuk bukti tertentu adanya penyakit serius. Namun kebanyaakan data observasi yang dikumpulkan oleh tenaga medis selama penyakit ALL harus bervokus pada penilaian respon anak terhadap rangsaangan.

  1. Penatalaksanaan Keperawatan Pre Kemoterapi
Sebelum pengotan dimulai maka terlebih dahulu dilakukan pemeriksaan yang meliputi:
1.      Darah tepi; Hb, Leuko, hitung jenis, Trombosit.
2.      Fungsi hepar; bilirubin, SGOT, SGPT, Alkali phosphat.
3.      Fungsi ginjal; Ureum, Creatinin dan Creatinin Clearance Test bila serim creatinin meningkat.
4.      Audiogram (terutama pada pemberian Cis-plastinum).
5.      EKG (terutama pemberian Adriamycin, Epirubicin).

  1. Penatalaksanaan Keperawatan Post Kemoterapi
Ondansetron dan Deksametason efektif untuk mengatasi peristiwa emesis pada anak yang terkena ALL.

  1. Inform Consent
Menurut PerMenKes No.290/MenKes/Per/III/2008 dan UU No.29 Tahun 2004 Pasal 45 serta Manual Persetujuan Tindakan Kedokteran KKI tahun 2008, maka informed consent adalah persetujuan tindakan kedokteran yang diberikan oleh pasien atau keluarga terdekatnya setelah mendapatkan penjelasan secara lengkap mengenai tindakan kedokteran yang akan dilakukan terhadap pasien tersebut. Menurut Lampiran SKB IDI No. 319/P/BA./88 dan Permenkes no 585/Men.Kes/Per/IX/1989 tentang Persetujuan Tindakan Medis Pasal 4 ayat 2 menyebutkan dalam memberikan informasi kepada pasien/keluarganya, kehadiran seorang perawat/paramedik lainnya sebagai saksi adalah penting.
Persetujuan yang ditanda tangani oleh pasien atau keluarga terdekatnya tersebut, tidak membebaskan dokter dari tuntutan jika dokter melakukan kelalaian.
Tindakan medis yang dilakukan tanpa persetujuan pasien atau keluarga terdekatnya, dapat digolongkan sebagai tindakan melakukan penganiayaan berdasarkan KUHP Pasal 351.
Informasi/keterangan yang wajib diberikan sebelum suatu tindakan kedokteran dilaksanakan adalah:
1.      Diagnosa yang telah ditegakkan.
2.      Sifat dan luasnya tindakan yang akan dilakukan.
3.      Manfaat dan urgensinya dilakukan tindakan tersebut.
4.      Resiko resiko dan komplikasi yang mungkin terjadi daripada tindakan kedokteran tersebut.
5.      Konsekwensinya bila tidak dilakukan tindakan tersebut dan adakah alternatif cara pengobatan yang lain.
6.      Kadangkala biaya yang menyangkut tindakan kedokteran tersebut.

Resiko-resiko yang harus diinformasikan kepada pasien yang dimintakan persetujuan tindakan kedokteran :
1.      Resiko yang melekat pada tindakan kedokteran tersebut.
2.      Resiko yang tidak bisa diperkirakan sebelumnya.

Dalam hal terdapat indikasi kemungkinan perluasan tindakan kedokteran, dokter yang akan melakukan tindakan juga harus memberikan penjelasan (Pasal 11 Ayat 1 Permenkes No.290/Menkes/PER/III/2008). Penjelasan kemungkinan perluasan tindakan kedokteran sebagaimana dimaksud dalam Ayat 1 merupakan dasar daripada persetujuan (Ayat 2).
Pengecualian terhadap keharusan pemberian informasi sebelum dimintakan persetujuan tindakan kedokteran adalah:
1.      Dalam keadaan gawat darurat (emergensi), dimana dokter harus segera bertindak untuk menyelamatkan jiwa.
2.      Keadaan emosi pasien yang sangat labil sehingga ia tidak bisa menghadapi situasi dirinya. Ini tercantum dalam PerMenKes no 290/Menkes/Per/III/2008.




Tujuan Informed Consent:
1.      Memberikan perlindungan kepada pasien terhadap tindakan dokter yang sebenarnya tidak diperlukan dan secara medik tidak ada dasar pembenarannya yang dilakukan tanpa sepengetahuan pasiennya.
2.      Memberi perlindungan hukum kepada dokter terhadap suatu kegagalan dan bersifat negatif, karena prosedur medik modern bukan tanpa resiko, dan pada setiap tindakan medik ada melekat suatu resiko (Permenkes No. 290/Menkes/Per/III/2008 Pasal 3)

Tindakan medis yang dilakukan tanpa izin pasien, dapat digolongkan sebagai tindakan melakukan penganiayaan berdasarkan KUHP Pasal 351 (trespass, battery, bodily assault).
Menurut Pasal 5 Permenkes No 290 / Menkes / PER / III / 2008, persetujuan tindakan kedokteran dapat dibatalkan atau ditarik kembali oleh yang memberi persetujuan, sebelum dimulainya tindakan (Ayat 1). Pembatalan persetujuan tindakan kedokteran harus dilakukan secara tertulis oleh yang memberi persetujuan (Ayat 2).



















0 komentar:

Post a Comment

Sample Text

Popular Posts

Recent Posts

SEMOGA BERMANFAAT BUAT PEMBACA

Text Widget